Pangeran Darsa menggeram. Lalu berteriak lantang, hanya suara teriakan tanpa kata. Sebagai cetusan rasa marah, atas hukuman yang terasa tak adil baginya.
Dibuang ke dunia manusia, dikutuk buruk rupa. Harus tinggal di gubuk yang pasti tak nyaman baginya.
"Arghhhh! Ini tidak adil! Hukuman ini terlalu berlebihan! Wahai pengadilan Kerajaan Halimun, kalian terlalu berlebihan!" pekik Darsa.
"Berlebihan!? Hukuman yang kau terima ini masih ringan, Darsa. Apa kau tidak tahu, betapa sakit hati orang tua yang anak gadisnya sudah kau ambil paksa. Betapa terluka seorang suami yang kau rebut istrinya. Betapa menderita hidup anak-anak yang kau ambil ibunya dari sisi mereka. Apa kau ingin merasakan semua itu? Baiklah, jika kau ingin merasakan juga apa yang mereka rasakan. Wajahmu akan kembali tampan. Namun, ingat, kamu akan menderita karena kehilangan istri, dan anakmu kelak. Kelak kamu juga akan kehilangan ibu, dan adikkmu dengan cara sama, seperti kau merenggut ibu, dan adik orang lain. Hukumanmu tinggal di dunia manusia, juga akan bertambah puluhan kali lipat lamanya. Apa kau setuju!?"
Kedua telapak tangan Darsa mengepal. Tawaran yang tentu saja tak mungkin ia terima. Meski ia jahat pada wanita lain, tapi ia mencintai ibu, dan adiknya.
"Kau gila!"
"Kau yang gila. Kau b***t! Kau pria laknat! Hukuman tak seberapa, masih saja kau mengeluh! Putuskan sekarang juga, Darsa!"
Darsa berteriak, suara itu juga berteriak.
"Huh! Itu bukan pilihan, tapi pemaksaan!" Darsa masih berteriak.
"Satu!" Suara itu mulai menghitung, agar Darsa segera memutuskan.
"Dua!"
"Ti ...."
"Aku pilih tetap buruk rupa!" ujar Darsa akhirnya. Ia harus memilih satu pilihan paling baik, di antara yang buruk.
"Bagus! Ingat jangan melanggar aturan, apalagi pantangan! Selamat menjalani hukuman, Darsa!" Nada suara puas
Darsa terduduk di tepi sungai. Napasnya tersengal. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain menjalani hukuman yang sangat berat baginya.
Darsa mencari bagian sungai yang agak dalam, untuk mengambil air dengan dua buah ember seng yang ia bawa. Setelah terisi penuh, dibawa naik melalui undakan dengan kedua tangannya. Telapak tangannya terasa panas, karena ia tidak pernah bekerja keras. Telapak kakinya juga terasa sakit, tertusuk kerikil, karena kakinya tanpa alas.
Darsa sampai di puncak undakan. Ia meletakkan dua ember air ke tanah. Ia perlu menarik napas sejenak, untuk mengusir lelah, dan penat. Membawa dua ember air dengan jalan menanjak, sungguh membuat tenaganya serasa terkuras, karena tubuhnya yang kurus, tak gagah perkasa seperti saat ia berada di negeri Halimun.
Setelah penat sirna, Darsa membawa ember berisi air, masuk ke dalam rumah, lewat pintu depan. Ia lupa, kalau di di dapur juga ada pintu menuju ke luar.
Darsa meletakkan satu ember di dapur, satu lagi di kamar mandi.
Ia ingin merebus air, tapi tidak tahu cara menyalakan tungku. Seumur hidupnya, saat ingin makan, atau minum, ia tinggal memberi perintah saja. Darsa beranjak ke rak kayu di sudut dapur. Dibuka tirai yang berwarna hijau. Ternyata di sana tersusun rapi beberapa wadah kecil dari tanah. Darsa membuka satu persatu tutup wadah. Yang ia tahu, dari isi wadah kecil itu hanya gula, garam, kopi, dan teh. Sedang wadah lain, yang ia tahu isinya adalah rempah, tapi tak tahu rempah apa namanya.
Darsa mencari-cari korek untuk menyalakan tungku. Ia menemukan korek kayu. Darsa menyusun kayu bakar ke dalam tungku, lalu ia nyalakan batang korek api, namun api tak kunjung menyala. Darsa menyerah setelah berulang kali gagal menyalakan api, akhirnya ia meminum air yang ada di ember.
Darsa duduk di kursi, perutnya mulai minta diisi. Bagaimana ia bisa mengisi perut, kalau menyalakan tungku saja tak mampu. Darsa bangkit, dibuka semua gentong kayu bertutup yang ada di dapur. Ternyata ada beras di dalam salah satu gentong. Darsa kembali duduk, diacak rambutnya karena frustasi. Ia tak bisa menyalakan api di tungku, apa lagi memasak nasi.
Sesaat kemudian, Darsa ingat, ia melihat rimbunnya pohon pisang di belakang rumah, ia berharap bisa menemukan pisang yang bisa ia makan. Darsa mengambil parang, lalu bergegas ke luar dari pintu dapur. Ia mendekati rumpun pisang. Darsa menarik napas lega, ada satu tandan pisang yang mulai menguning buahnya. Darsa menebang batang pisang yang ia inginkan. Butuh waktu cukup lama ia melakukannya. Barulah batang pisang itu roboh, dan bisa diambil pisangnya.
Darsa tersenyum puas. Untuk saat ini pisang sudah cukup untuk mengganjal perutnya yang lapar. Dibawa pisang dengan cara di seret, karena ia tak mampu mengangkat pisang yang cukup besar itu. Ada rasa kesal di dalam hati Darsa, karena kekuatannya ikut lenyap juga. Namun ia tak bisa menggugat, karena bisa saja hukumannya bertambah berat.
Darsa duduk di kursi, menikmati pisang yang sebenarnya belum matang sepenuhnya, tapi Darsa tak peduli, yang penting perutnya terisi.
Suara gedoran di pintu membuat Darsa tersentak. Pintu yang tak terkunci terbuka. Tiga orang berbadan besar, berpakaian hitam, masuk ke dalam rumah. Wajah mereka tak terlihat ramah, justru menyiratkan amarah. Ada golok di tangan mereka bertiga. Darsa bangkit dari duduknya.
"Hay orang baru! Sudah tahu peraturan di daerah ini!?" Bentak salah satu dari mereka. Darsa yang masih kaget hanya diam terpaku.
"Penduduk baru harus setor uang keamanan pada kami. Serahkan uangmu!" Seorang yang lain menodongkan goloknya ke leher Darsa. Darsa benar-benar tak bisa bergerak, atau bersuara. Ia terlalu terkejut, sehingga suara tak bisa melewati tenggorokannya.
"Dia bisu, dan tuli mungkin!" ujar yang tadi membentak Darsa.
"Geledah saja rumahnya!" ujar yang seorang lagi. Dua orang bergerak menggeledah rumah, yang menodongkan golok masih pada posisinya. Darsa tersadar, tapi ia memilih diam saja. Tak ingin membuat masalah di hari pertama tinggal di dunia manusia.
Dibiarkan rumah diobrak abrik, oleh dua orang yang Darsa tak tahu harus disebut rampok atau apa. Ia juga tak mengelak dari golok yang begitu dekat dengan kulit lehernya.
"Gila! Tidak ada barang berharga apapun di rumah ini. Hey, dimana kamu sembunyikan uangmu!" Orang yang pertama membentak Darsa, memegang wajah Darsa dengan kasar . Kukunya yang panjang sedikit menancap di pipi Darsa. Darsa memilih diam saja, biar ketiga orang itu mengira dia bisu, dan tuli sungguhan.
"Orang tak berguna!"
"Apa kita habisi saja?"
"Jangan, setelah dia panen kita datang lagi ke sini."
"Hey dengar ya, kami tidak main-main. Kami akan datang lagi ke sini nanti. Siapkan uang untuk kami!"
Tanpa sadar kepala Darsa menggeleng. Dua tamparan mendarat di pipinya, satu tendangan di perutnya. Darsa tersungkur ke lantai.
"Ingat, jangan coba-coba melawan! Tak akan ada yang bisa membantumu. Ayo kita pergi!"
Setelah masing-masing menghadiahkan satu tendangan di tubuh Darsa, tiga orang pergi meninggalkan rumah.
Darsa meringkuk di lantai tanpa alas. Wajahnya sakit, tubuhnya sakit, tapi hatinya lebih sakit. Harga dirinya terhempas ke jurang paling dalam, karena diperlakukan tak berperikemanusiaan. Ingin melawan, ia sadar tak punya kemampuan.
"Ini tak adil. Kenapa kalian merenggut semuanya dariku. Wajah tampan, tubuh gagah, tenaga yang kuat, kehidupan yang mewah. Ini tidak adil ...." Lirih suara Darsa, karena ia sadar mengeluh adalah perbuatan sia-sia.
BERSAMBUNG