Darsa berusaha bangkit. Ia menyeret langkah ke dalam kamar. Ia berbaring di atas dipan. Sambil memegang perutnya yang terasa sakit, akibat kena tendangan. Namun hatinya lebih sakit, karena harga dirinya terhempaskan. Ia hanya bisa diam, tanpa mampu melawan. Bicara saja tak mampu, apa lagi membela diri, dan melawan. Sungguh tak ada kekuatan, dan kemampuan serta kekuasaan yang tersisa dari dirinya. Semua yang dulu dirinya banggakan, kini tak ada lagi.
Darsa menatap langit-langit kamar, teringat akan masa penuh kesenangan, dan kemewahan. Tinggal tunjuk dengan jari, maka apapun yang ia inginkan akan terkabulkan saat itu juga. Sekarang, ia harus berjuang sendirian, dalam keterbatasan, untuk mengisi perutnya yang saat ini hanya berganjalkan pisang. Darsa mengutuk dirinya sendiri, karena tak mampu menyalakan api, hal yang sangat sepele. Hal yang terlihat sangat mudah, tapi tak bisa ia lakukan. Darsa merasa menjadi orang terbodoh di dunia untuk pertama kali dalam hidupnya.
Darsa memejamkan mata. Saat ini ia merasa sebagai sosok yang tak berguna. Tak ada lagi yang bisa ia banggakan, semua lenyap karena kutukan. Kutukan yang tak adil menurutnya. Semua nikmat terenggut dari hidupnya. Sayangnya tak ada yang bisa ia lakukan, mengeluh tak akan mengembalikan keadaan. Justru akan menambah masa hukuman. Karena pengadilan Negeri Halimun selalu memperhatikan, bahkan mampu mendengarkan keluhannya.
Kenangan berputar dalam benak Darsa, masa indah di dalam istana. Dikelilingi oleh banyak wanita cantik, yang siap kapanpun juga untuk melayaninya. Memberinya kenikmatan surga dunia. Memanjakannya dengan sentuhan, dan rayuannya.
Darsa juga teringat akan kakaknya, Pangeran Darka, yang dijatuhi hukuman mati. Karena kakaknya adalah otak dari pemberontakan mereka. Kakaknya adalah penggagas, sekaligus pemimpin pemberontakan mereka. Darsa sendiri tidak menginginkan tahta, dirinya hanya butuh harta, dan wanita. Itu sudah cukup baginya.
'Bagaimana nasibnya sekarang. Apakah sudah dieksekusi, ataukah masih ada waktu menunggu lagi. Huh! Apa aku harus bersyukur, karena hukumanku bukan hukuman mati? Tapi kalau seperti ini, perlahan aku juga akan mati. Aku tak bisa menyalakan api, bagaimana aku bisa memasak agar perutku bisa terisi. Perlahan, aku juga akan mati, karena kelaparan. Sungguh hukuman yang sangat kejam, membunuhku dengan cara seperti ini.'
Darsa bangun dari berbaring, diseret langkahnya ke luar kamar. Ia menuju dapur, ia bertekad harus bisa menyalakan api. Kalau hal kecil begini saja tak bisa atasi, bagaimana dengan hal yang lebih besar nanti. Darsa sadar, hidup di dunia manusia pasti akan banyak rintangan nantinya, karena ia bukan siapa-siapa di sini. Ia harus belajar menyesuaikan diri. Melakukan pekerjaan rumah sendiri, berkebun agar ia bisa memperoleh uang untuk membeli berbagai keperluan. Di sini ia tak bisa menadahkan tangan, atau berharap bantuan orang lain. Di sini dirinya benar-benar sendirian.
'Harusnya ada seseorang yang bisa mengajariku banyak hal. Seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, membersihkan rumah, dan berkebun. Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa melakukannya tanpa ada yang mengajariku.' batin Darsa berkata.
"Hay penguasa Pengadilan Negeri Halimun. Tidak bisakah aku meminta satu pengawal untuk menemaniku di sini. Membantu setidaknya sampai aku mengerti cara hidup di dunia manusia ini," pinta Darsa seraya mendongakkan kepala.
Tak ada jawaban dari yang ia panggil. Hanya sunyi sepi yang ada.
"Huh! Tidak dijawab! Ayo, Darsa kamu cerdas, masa untuk menyalakan api saja kamu tidak bisa!" Darsa menyemangati dirinya sendiri. Ia tak ingin menyerah pada keadaan, ia bertekad untuk memutar otak, agar bisa melakukan segalanya, tanpa ada yang mengajarinya.
Darsa mengamati sekeliling dapur. Berpikir apa yang bisa ia gunakan untuk menyalakan api. Ia melihat tumpukan sabut kelapa kering di dekat tumpukan kayu bakar. Darsa mengambil sabut kering, lalu meletakkan di atas tungku. Dinyalakan korek api. Api yang menyala di sentuhan ke sabut kering. Sabut kelapa kering perlahan mulai menyala, tanpa sadar, Darsa bersorak gembira, ia sangat senang, bisa melakukan hal yang cukup penting baginya. Lalu diambil kayu bakar, diletakkan di atas api yang menyala. Ia mengulangi hal yang sama, pada saat menyalakan api pada tungku yang satunya. Dua tungku sudah menyala apinya. Siap untuk digunakan memasak apa saja.
Darsa mengambil ceret yang menghitam sisi, dan bagian bawahnya. Diisi dengan air dari sungai yang ia ambil dengan ember tadi. Lalu ia letakkan ceret di atas tungku. Kemudian ia mengambil panci. Dibuka gentong tempat beras. Diisi panci dengan beras satu takar dari takaran batok kelapa yang ada di dalam gentong beras. Kemudian panci ia isi dengan air sampai penuh. Diletakkan panci di atas tungku yang apinya semakin besar.
Darsa menarik napas lega, akhirnya ia bisa merebus air, dan memasak nasi untuk pengisi perutnya.
"Apa aku harus makan dengan nasi saja?" Gumam Darsa sambil menatap sekeliling dapur. Tak ia temukan lauk pauk apapun juga di dapur.
"Apa di belakang ada telur ayam, atau telur bebek yang bisa aku masak. Coba aku cari," gumam Darsa.
Dengan penuh semangat, Darsa menuju pintu belakang, untuk mencari telur yang bisa ia masak sebagai teman nasi nanti. Darsa mencari ke kandang ayam, dan bebek.
Darsa menemukan banyak telur di sana. Ia cukup terkejut, sekaligus sangat gembira melihat telur-telur itu. Darsa kembali ke rumah, ia harus mencari tempat untuk memasukkan telur. Ia menemukan keranjang bambu yang tergantung di dinding dapur.
Darsa kembali ke belakang rumah dengan membawa keranjang bambu itu. Ia memungut semua telur yang ada, dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Ia melakukannya dengan wajah meringis, dan tubuh sesekali bergidik, karena merasa jijik. Telur itu ada yang terkena kotoran ayam, dan bebek. Tapi ia harus membiasakan diri, menahan rasa jijik, demi agar ia tidak kelaparan.
Semua telur sudah ia pungut. Darsa berdiri di depan kandang, ia berpikir, apa makanan ayam, dan bebek. Ayam, dan bebek ini di dalam kandang, berarti mereka tak bisa mencari makan sendiri.
Darsa mengernyitkan hidung, mencium aroma sesuatu yang gosong.
Bergegas Darsa masuk ke dalam rumah. Asal bau gosong jelas tercium dari dapur.
Darsa berusaha mematikan api tungku, ia siram dengan air dari ember, memakai gayung dari batok kelapa.
Asap mengepul, memenuhi rumah. Bau gosong masih tercium. Darsa membuka tutup panci, bukan nasi yang ia dapati, tapi bubur dengan aroma gosong yang menyesakkan hidung. Percobaan pertamanya dalam memasak nasi, gagal total.
Darsa mengambil centong nasi dari kayu. Diaduk nasi jadi bubur di dalam panci. Aroma gosong semakin tercium, jelas bubur di dasar panci berwarna menghitam.
"Salahnya dimana, kenapa nasi bisa menjadi bubur," gumam Darsa sendirian, seraya menatap bubur di dalam panci.
"Ck, sudahlah, yang penting bisa makan. Aku ingin merebus telur dulu untuk teman makan." Darsa akhirnya pasrah saja.
Darsa memindahkan ceret, dan panci ke sisi tungku. Ia tertegun, karena tempat untuk menyalakan api basah bekas ia siram tadi.
"Bodohnya kau, Darsa! Dasar bodoh!" Darsa memaki dirinya sendiri. Karena panik ia tak berpikir panjang lagi. Asal siram saja api yang menyala tadi. Sekarang ia tak bisa memasak, ia harus menunggu tungku kering dulu.
"Huh! Terpaksa makan dengan bubur gosong!"
Darsa mengambil cangkir yang terbuat dari seng, ia isi dengan gula, dan teh. Lalu ia seduh dengan air panas. Selanjutnya ia mengambil piring seng, diisi dengan bubur beraroma gosong.
Darsa duduk di kursi. Disuap bubur di hadapannya. Tak ada sesuatu yang ia rasa, hambar sekali. Darsa termangu, ia bangkit dari duduk. Diambil garam, ia taburkan ke atas bubur yang masih mengepulkan asap. Lalu ia aduk bubur di dalam piring. Ia cicipi, setelah merasa pas rasa garamnya, baru ia nikmati. Lebih enak dari sebelumnya, menurutnya.
"Hari yang luar biasa. Tapi, Darsa seorang Pangeran cerdas, akhirnya aku bisa memecahkan masalah api."
Darsa tersenyum bangga akan dirinya sendiri, karena akhirnya bisa makan nasi meski jadi bubur.
Selesai makan, Darsa menatap telur dalam keranjang, ia berpikir, akan diapakan telur tersebut, tidak mungkin kalau ia makan semua. Dibiarkan, untuk dimakan setiap hari, takut ada yang busuk nantinya.
"Apa bisa dijual ya. Ke mana aku harus menjual? Apa aku harus mengikuti jalan setapak di depan rumah. Hmmm ... kenapa tidak aku coba saja. Aku perlu tahu lingkungan sekitarku seperti apa." Darsa berpikir untuk ke luar dari lingkungan rumahnya. Ia merasa perlu tahu dunia luar juga. Belajar berinteraksi dengan warga desa lainnya. Tidak hanya diam meratapi nasibnya yang berubah drastis. Dari seorang pangeran, berubah menjadi manusia buruk rupa, miskin, dan hanya seorang petani saja.
Darsa mengambil caping yang tergantung di dinding, lalu mengambil dua butir telur bebek dari keranjang, telur ia letakkan di atas piring. Kemudian keranjang berisi telur ia bawa ke luar rumah. Darsa ingin menjual telur yang di dapatnya dari kandang hari ini. Meski ia belum tahu, kemana ia harus menjualnya, tapi Darsa yakin, pasti ada seseorang yang bersedia membeli telurnya, sehingga dengan uang itu ia bisa membeli sesuatu yang berguna untuknya. Dengan meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja, Darsa melangkah meninggalkan rumahnya, mengikuti jalan setapak, dengan harapan bertemu orang yang bersedia membeli telurnya.
BERSAMBUNG