Sekitar 30 menit setelah melakukan perjalanan, aku tiba di rumah. Rasa heran dan bingung menerpa pikiranku seketika, setelah melihat keadaan rumah yang sepi bahkan hampir kosong.
Ada sesuatu yang aku khawatirkan dan takutkan, yaitu akal bulus papanya Anjar. Otakku sudah terlanjur kotor jika memikirkan tentang beliau, jadi yang aku pikirkan hanya hal-hal yang buruk saja. Dengan langkah lamban, aku berjalan memasuki rumah menuju ke ruang dapur sembari melihat kiri dan kanan.
Hal yang ingin aku lakukan saat ini adalah mencari mbok yang biasanya ada di sekitaran dapur atau kamar tidurnya. Sekitar 10 menit berkeliling di areal dapur dan kamar si mbok, tapi aku masih belum juga dapat menemukannya.
Perasaanku semakin tidak menentu, dengan langkah cepat aku langsung keluar dari dalam rumah dan rasanya tidak ingin masuk lagi. Ternyata aku benar-benar takut dan sangat trauma dengan Papa, ucap ku tanpa suara.
Langkahku sangat cepat kali ini hingga salah seorang satpam yang bekerja mendekati dan menyapaku. "Permisi Nyonya muda, saya hanya ingin menyampaikan bahwa semuanya saat ini sedang berada di Rumah Sakit."
"Ada apa, siapa yang sakit?" tanya ku heran sambil mengatur napas yang sudah berantakan.
"Sekitar 20 menit yang lalu, Nyonya besar bersama supirnya mengalami kecelakaan. Makanya semua orang ada di Rumah Sakit, kecuali saya yang memang ditugaskan untuk menjaga rumah, Nyonya."
"Di Rumah Sakit mana, Pak?"
"Siloam, ruang IGD, Nyonya."
"Apa suamiku sudah tau soal ini?"
"Saya rasa belum, Nyonya."
"Baik kalau begitu. Terimakasih ya, Pak Ahmad."
"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Pak Ahmad langsung kembali ke pos jaga.
Astaga, apa yang aku pikirkan? Otak buruk ku sudah menutup pikiran dan hatiku hingga menimbulkan prasangka yang jahat seperti ini terhadap Papa. Ucap ku di dalam hati sambil berjalan kembali ke dalam rumah.
Penasaran sedih bercampur khawatir, aku segera menelpon Ferry (adik kedua Anjar) untuk memastikan keadaan Mama. Tak lama, Ferry mengangkat telpon dariku dan mengatakan bahwa mama sudah ditindak lanjuti dengan baik, tapi mereka tidak berani mengatakan kepada Anjar dan memintaku untuk melakukannya.
Sekitar dua puluh menit berlalu, Anjar pulang dan langsung menuju ke kamar. "Sayang, buka pintunya!" ujar Anjar sambil mengetuk pintu kamar dan aku pun bergegas untuk membukanya.
"Sayang, lagi apa sih? Kok lama banget buka pintunya?" tanya Anjar tanpa melihat ke arah ku.
"Maaf, Sayang. Aku baru saja selesai mandi, maaf ya."
"Wah pantesan harum banget," ujar Anjar yang langsung saja memelukku dengan erat.
"Anjar ... ." ujar ku dengan suara tenang setengah menolak.
Seperti angsa, Anjar terus saja menyosorku tanpa henti. Ia menggapai bibirku dengan cepat hingga aku tidak mampu untuk berbicara dan mengatakan apa yang terjadi kepada mamanya. Aku berusaha mendorong tubuh Anjar dengan kekuatan ku yang diiringi dengan keinginan ku untuk dicumbu.
Saat aku mulai merasa lemas, Anjar pun melepaskan kecupannya dari bibirku. Lalu dengan hasrat yang hebat, ia melanjutkan semua permainan bibirnya pada leher sembari mendorong tubuhku dengan lembut dan menempelkan nya ke dinding kamar.
"Sayang jangan! Jangan, Anjar! Tunggu dulu, ada yang harus aku katakan padamu," ucap ku dengan nafas yang sudah terbakar api cintanya.
"Nanti saja mengatakannya! Aku sangat ingin kamu, Sayang," ujar Anjar dengan nafasnya yang sudah terengah-engah.
"Kita tidak bisa melakukan ini. Sebaiknya kamu mandi sekarang!"
"Aku tidak bau dan kotor, Cantika. Tenang saja!" sahut Anjar sembari menanggalkan handuk ku.
"Sayang ... ." ucap ku gelisah sambil mendesah, saat Anjar menyentuh buah dadaku dengan genggaman dan permainan tangannya yang sempurna.
"Jangan menolak ku, Sayang!" katanya sembari menikmati kedua ujung buah d**a milikku dengan bibirnya yang lembut.
Aku tidak tau harus melakukan apa. Disisi lain aku harus segera mengatakan kondisi mamanya dan ke rumah sakit, tapi disisi lain aku menginginkan Anjar dan menuntaskan permainan kami.
Anjar mulai menurunkan jarinya hingga ke bagian yang paling sensitif dari tubuhku. Aku sangat terbawa oleh hasratnya. Tapi disaat yang bersamaan, handphone ku berbunyi dan aku yakin itu dari Rumah Sakit.
"Sayang, sebentar! Ini sangat penting."
"Mana yang lebih penting dibandingkan dengan suamimu ini?"
Aku melepaskan tubuhku dari Anjar, lalu bergerak cepat menggapai handphone milikku. Aku membaca chat dari Ferry sambil menhaan kegelisahan akibat sentuhan Anjar yang tidak berhenti.
"Kak, kalau Bang Anjar sudah pulang, tolong segera ke Rumah Sakit ya. Sampai saat ini Mama masih belum sadarkan diri dan kami membutuhkan dia disini. Tolong ya, Kak."
Saat aku sedang fokus membaca chat dari Ferry, Anjar menarik dan membalik tubuhku dan ia mulai kembali mencumbui tubuhku seperti saat pertama kali ia melakukannya. Seakan tidak punya pilihan, aku memeluk tubuh Anjar dengan sangat erat dan mengatakan padanya dengan cepat bahwa mamanya saat ini sedang berada di Rumah Sakit akibat kecelakaan sekitar 50 menit yang lalu.
Seketika gerakan Anjar terhenti, napasnya berangsur-angsur pulih dan Anjar menatap ku cukup lama. "Sayang, kamu nggak sedang ngerjain aku kan?" tanya Anjar yang curiga padaku dan aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Mama butuh kamu Anjar dan dari tadi aku berusaha untuk mengatakannya dengan perlahan, tapi kamu tidak memberikan aku kesempatan. Sekarang biarkan aku mengganti pakaian begitu juga denganmu, kemudian kita segera ke Rumah Sakit!" ucap ku dengan cepat dan tegas kali ini, seolah akulah pemimpinnya.
Anjar terdiam sejenak di atas tubuhku dan aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. "Kenapa tidak ada yang memberitahu ku?"
"Mungkin karena mereka khawatir kamu hilang fokus dalam bekerja. Karna pekerjaan mu itu sangat rawan, Sayang. Mengertilah! Sekarang ayo kita bergerak!" perintah ku sekali lagi.
Aku segera duduk dan mengajak Anjar untuk cepat merapikan dirinya. Setelah siap, kami segera menuju ke Rumah Sakit. Anjar tampak sangat tidak tenang, tapi aku terus berusaha menguatkan dirinya.
40 menit diperjalanan dan kami tiba dengan selamat. Aku dan Anjar langsung bergerak cepat menuju ruang IGD. Saat itu, di sana sudah banyak berkumpul keluarga besar mereka. Aku dan Anjar pun disambut air mata dari keluarga besarnya.
"Bagaimana Mama?"
"Belum sadarkan diri, Kak. Sebaiknya Kakak segera masuk."
Aku dan Anjar masuk secara bersamaan. Ini bukan ruang IGD melainkan ruang ICU. Aku melihat Anjar berjalan lambat dengan air mata yang menggantung di kedua ujung matanya. Aku tahu bagaimana perasaan Anjar saat ini, sama seperti dengan perasaanku saat delapan tahun yang lalu.
"Sayang, sebentar!" ucap ku sambil menarik tangan kiri Anjar. "Lihat aku, Sayang! Kamu harus kuat! Aku sangat mengerti perasaanmu dan kamu harus mampu mengendalikannya!"
"Cantika," sahut Anjar dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Ada aku disini, bersamamu."
"Iya, Sayang."
"Ayo!"
"Baiklah."
Bersambung.