Ken dan Scott saling berpandangan mereka seperti sepakat memberi kesempatan pada Hanna untuk memikirkan semua tawaran Ken untuk menjadi istrinya.
Semenit….
Dua menit….
Tiga menit berlalu tanpa ada jawaban atau tanggapan dari mulut Hanna kecuali berbagai macam reaksi yang timbul tenggelam di wajahnya secara silih berganti.
“Kita memang sudah mengenal dan bersahabat, tetapi hubungan seperti itu tidak bisa menjadi landasan sebuah perkawinan.”
“Aku berpikir justru lebih kuat landasannya dibandingkan hanya berdasarkan nafsu atau cinta saja. Banyak nilai positif untuk menjadikan perkawinan lebih kuat.” Ujar Ken.
“Apa maksudmu? Kau tidak percaya dengan cinta?”
“Bagiku cinta hanya masalah emosi yang mudah berubah di dalam suatu kebersamaan untuk memulai hubungan yang bernama perkawinan. Hanya orang sinting yang akan terus jatuh cinta pada pasangannya ketika mereka tidak dapat lagi hidup bersama. Sementara nafsu, bagiku hanya perasaa dan hasrat sesaat bersifat rendah dan lebih mengarah pada hubungan badani.”
“Jadi kau tidak percaya dengan cinta dan nafsu?”
“Aku punya teman pengacara yang selalu kebagian mengatasi perceraian. Hampir setengah dari jumlah perkawinan yang ada rata-rata dimulai dengan perasaan cinta yang berharap mereka bisa bersatu selamanya diikuti oleh nafsu yang menggelora dan berakhir dengan perkelahian di persidangan dengan sengit. Percayalah aku bukan orang yang akan melakukan pernikahan seperti itu. Aku lebih memilih menikah karena tanggung jawab.”
“Tapi kau juga tidak akan menikah kalau kau tidak mengenal wanita tersebut meskipun kau mengangungkan kata tanggung jawab?” cela Hanna.
“Tanggung jawabku untuk menikah karena aku harus mendapatkan hak atas bela. Tanggung jawab yang aku dapatkan tentu saja harus disesuaikan dengan hak yang menyertainya. Apa kau bisa melakukan tanggung jawab sementara hak yang kau dapatkan bukan yang kau inginkan?”
Mata Hanna menatap tajam Ken. Pikiran tentang Keanu Whittaker bermunculan dan ia mencoba merekam memorinya tentang informasi seorang Ken. Dan…Hanna hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ken bukan lelaki yang dia harapkan untuk menjadi suaminya.
Ken membalas tatapan Hanna lalu berbicara dengan tenang, berusaha tidak terburu-buru di setiap rangkaian kata-katanya.
“Aku adalah lelaki yang tidak percaya cinta apalagi perkawinan, tetapi aku bisa melakukan salah satu di antaranya karena perasaan sayangku terhadap keponakanku yang bukan darah dagingku sendiri. Aku sangat percaya padamu dan berharap kau juga bersedia mempercayai diriku. Demi Bella aku mohon kau menerima permintaanku.”
Sesaat Hanna gamang dengan keputusannya setelah mendengar ungkapan hati Ken, tapi…ada yang tidak bisa dia lakukan saat ini. Dia tidak mungkin menerima Ken karena ada perbedaan yang sangat besar.
“Aku berpikir tidak ada salahnya memulai komitmen diawali dengan persahabatan,” sambung Scott menimpali.
“Beri aku waktu. Aku tidak mungkin bisa berpikir normal dalam keadaan seperti ini, dan jangan mendesakku!”
Ken dan Scott saling memberi pengaruh agar Hanna menerima tawaran Ken, tetapi Hanna tetap pada pendiriannya hingga suara Silla kembali terdengar dari ujung tangga. Sikapnya sudah seperti nyonya besar di rumah keluarga Whittaker.
“Ken…Aunty mau bicara denganmu!” katanya dengan suara lantang.
Mereka bertiga saling berpandangan, sepanjang ingatan Scott tidak ada siapa pun yang berani bersuara seperti yang dilakukan oleh Silla, bahkan Diana yang sepupu terdekat Ken selalu bersikap sopan. Bukan karena kedudukan Ken yang membuatnya dihormati tetapi Ken adalah seorang kepala keluarga paling berpengaruh di lingkungan mereka. Tidak sembarang orang bisa memberi perintah seperti yang baru saja dilakukan oleh Silla.
“Kau yakin, Aunty Rossie tidak melakukan kesalahan dengan membawanya kemari?” tanya Scott tertawa.
“Dan aku tidak akan membiarkan kesalahan mama terus berada di rumahku!”
Suara Ken yang tajam dan dingin menjadi tanda bahwa dia sangat marah akibat ucapan Silla sementara Hanna hanya berdiri mengawasi.
“Siapa sebenarnya Silla dan hak apa yang dia miliki?” kata Hanna yang berjalan mendekati Scott, tapi pria itu hanya tersenyum rahasia.
“Kalian tunggu di sini. Aku masih perlu bantuan kalian,” katanya pada Hanna dan Scott sebelum dia pergi menghampiri Silla.
Senyum Silla mengembang penuh kemenangan. Dia tidak mengira dengan ucapannya sudah mampu membuat Ken meninggalkan 2 orang tamunya yang menurutnya tidak sepadan dengan Ken.
Namun, Silla salah, Ken berjalan bukan untuk menghampirinya tetapi melewatinya untuk menemui ibunya yang sedang duduk bersama dengan Darla.
“Halo Ken, apa Hanna dan Scott sudah pergi?” tanya Rossie ingin tahu sebelum dia melihat wajah putranya yang dingin. “Ada apa?”
“Mereka masih ada di bawah dan pembicaraan kami masih belum menemukan keputusan. Ada apa mama memanggilku?” tanya Ken dingin.
Ken melirik Darla yang menundukkan kepala sebelum dia pergi dengan langkahnya yang pelan. Meninggalkan kedua majikannya berbicara.
“Memanggilmu, untuk apa? Mama tidak mungkin memanggilmu sementara kau masih bersama rekanmu. Kau tidak berpikir kalau mama lancang, kan?”
“Mama memang tidak lancang karena mama sudah tahu siapa aku. Sayangnya seseorang yang merasa dirinya penting justru berpikir kalau dia berhak melakukan apa yang dia inginkan,” ujar Ken dengan suara mendesis.
Rossie belum lagi mengerti maksud dari ucapan putranya ketika pintu terbuka lalu muncul Silla yang berjalan dengan wajah puas. Dia tidak bertanya dulu apakah dia diperbolehkan masuk atau tidak sementara Darla yang sudah lama ikut bersama mereka langsung pergi secara diam-diam.
Sikap manja Silla yang dilakukan dengan cara berlebihan membuat wajah Ken semakin gelap. Mulutnya membentuk garis lurus sementara rahangnya terlihat keras.
“Ada apa Silla?” tegur Rossie tajam.
“Maaf Aunty, aku yang sudah memanggil Ken dengan nama Aunty. Aku melihat Ken sudah terlalu lama meninggalkan Aunty, jadi aku bilang kalau Aunty memanggilnya,” katanya tanpa merasa bersalah.
Wajah Rossie memerah begitu dia mendengar perkataan Silla. Namun, Silla tidak sadar bahwa dirinya sudah membuat kesalahan. Silla memang putri teman dekat Rossie tetapi dia hanya tamu yang datang atas permintaannya sendiri bukan atas undangannya. Dalam hati, Rossie kecewa sudah mengalah dengan bujukan temannya yang meminta dia membawa putrinya bertamu di rumah keluarga Whittaker
“Bagus juga kau melakukannya Silla. Darla…apa kau masih berada di luar?” suara Ken terdengar kencang sampai Darla yang berdiri diluar mendengarnya.
Suara ketukan pintu terdengar diikuti munculnya Darla yang berjalan perlahan menghampiri mereka, tetapi tidak benar-benar dekat.
“Ya Tuan?”
“Kau lihat! Seperti itulah yang harus dilakukan kalau kau mau masuk ke ruangan yang ada orang di dalamnya,” beritahu Ken tajam.
“Tapi aku bukan pelayan. Aku tidak perlu melakukan seperti yang kau katakan,” sahut Silla dengan dagu diangkat.
“Benar, kau bukan pelayan dan seandainya kau melamar menjadi pelayan pun…aku pastikan agar Darla tidak mengijinkanmu masuk. Bahkan dari pintu mana pun. Darla, kau panggil pelayan lain bantu gadis ini berkemas. Rumahku tertutup bagi siapa pun yang tidak aku inginkan. Aku minta maaf mama, tapi kau sudah membuatku kecewa dengan membawa orang masuk ke rumahku tanpa seijinku.”
Ken, tanpa memberi waktu pada mereka yang ada di dalam ruangan segera pergi dengan langkahnya yang tegap menyiratkan bahwa dia menyimpan kemarahan, kecewa serta tidak puas di dalam hatinya.
Keanu Whittaker kembali memperlihatkan siapa dirinya dengan baik. Dia bukan lelaki yang mudah didikte oleh orang lain dan dia juga bukan lelaki yang bisa menerima perbuatan lancang yang dilakukan secara sadar dan tidak bertanggung jawab.
Sifat dan sikap yang diperlihatkan oleh Ken adalah dirinya yang sebenarnya, sifat yang belum diketahui oleh Hanna. Atau mungkin Hanna sudah mengetahuinya ketika Ken mengucapkan kalimat tajam dengan nada menghina yang membuatnya terluka dan sakit hati?
Rossie dan Darla hanya bisa mengangguk. Sebelumnya Rossie berharap Silla bisa memecahkan masalah yang dihadapi oleh Ken. Siapa yang menyangka belum satu jam dia berada di rumahnya Silla sudah membuat masalah. Dan masalahnya tersebut langsung tertuju pada Keanu Whittaker, lelaki paling berkuasa di rumah mereka.
“Aunty…apa maksudnya? Apa aku tidak diinginkan di sini?” rengek Silla pada Rossie.
“Benar. Aku kecewa karena sifatmu tidak secantik wajahmu Silla. Kau baru tiba di rumah ini, tetapi kau tidak bisa menempatkan dirimu dengan baik. Ken adalah kepala keluarga, tidak ada seorang pun yang bisa memberi perintah padanya.”
“Tapi Aunty, aku hanya tidak suka kalau Ken terlalu lama….”
“Apa hak yang kau miliki Silla? Kau bukan siapa-siapa? Ken bahkan tidak kenal denganmu sementara dengan mereka yang saat ini sedang berbicara dengannya? Mereka sudah lama saling mengenal,” ujar Rossie tegas.
Dalam hati Rossie mengeluh, dia sama sekali tidak menduga kalau gadis yang awalnya bersikap sopan ternyata tidak lebih dari seorang gadis lancang yang tidah tahu aturan.
“Aunty…aku mohon ijinkan aku tinggal di rumah ini. Aku janji akan melakukan yang terbaik asalkan bisa berdekatan dengan Ken,” bujuk Silla mencoba merayu Rossie dengan manja.
“Rumah ini adalah milik Ken, bagaimana aku bisa memberimu ijin kalau pemiliknya sudah menutup pintunya,” jawab Rossie tersenyum.
“Tapi Aunty, aku adalah putri teman dekat aunty, aku yakin aunty memiliki hak mengijinkan siapa pun untuk tinggal di sini.”
Rossie tidak akan mengambil resiko untuk menerima Silla di rumahnya sementara gadis itu sudah membuat masalah. Di masa lalu Rossie sudah melakukan kesalahan hingga Ken menderita dan dia tidak akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.
“Sekali lagi aku harus mengingatkan kalau rumah ini adalah rumah Ken. Kau tentu saja bisa tinggal di rumahku, tapi rumahku tidak berada di kota ini.”