Kamar tidur yang semula rapi kini mulai berantakan. Dengan handuk yang membungkus tubuh Bella, Ken berjalan keluar dari kamar mandi tidak peduli pakaiannya yang basah dan meneteskan air membuat karpet di kamar Bella menjadi basah.
Tidak bisa melakukannya dengan sempurna, Ken segera memanggil pelayan perempuan agar segera membantunya melalui intercom yang berada di kamar.
“Kau cepat ke kamar Bella untuk memakaikan pakaiannya!” perintah Ken pada pelayan perempuan yang menerima panggilan intercomnya.
Ken tidak memerlukan jawaban karena perintah dia harus segera dipenuhi dan tidak ada alasan pelayannya memberikan jawaban menolak.
Ken sudah mengeringkan tubuh Bella sementara anak kecil itu masih saja terus menangis. Melihat jam di tangannya belum waktunya bagi Bella untuk menyusu apalagi makan.
“Apa sih yang bikin anak ini menangis terus,”katanya berusaha membuat Bella diam.
Suara ketukan pintu kembali terdengar begitu Bella berhenti menangis. Dengan wajah menahan kesal dia berjalan menuju pintu dan melihat pelayannya berdiri dengan wajah menunduk.
“Cepat masuk dan kamu pakaikan baju Bella!” perintahnya memberi ruang pada pelayan yang tidak dia ketahui namanya untuk masuk dan mulai memberikan perhatian pada anak yang sepertinya sudah lelah untuk menangis.
Ken tidak tahu apakah dia harus tertawa atau marah melihat pelayan perempuan yang mulai bersenandung agar Bella tenang sambil memakikan pakaian yang begitu merepotkan karena Bella tidak bisa diam dan menerima orang lain memberinya kenyamanan.
“Kau langsung pakaikan Bella popoknya saja sementara bajunya pakai kaos saja,” perintah Ken.
Dia tidak bisa melakukannya sendiri dan tidak siap di tinggal sendirian dengan balita yang mulai membutuhkan perhatian. Tidak ada cara lain yang harus dilakukan oleh Ken selain menelepon ibu dan Darla, pelayan yang menjaga Bella untuk segera pulang.
“Mom…bisa langsung pulang, kan? Aku kewalahan mengurusnya,” katanya langsung membuat Rossie tertawa.
“Mom akan segera pulang, tapi kau tahu kalau perjalanan ini memerlukan waktu. Kenapa kau tidak menghubungi Hanna saja? Mom yakin dia bersedia membantumu sebelum kami pulang,” Rossie memberi saran menarik.
Ken yakin saran yang diberikan oleh ibunya adalah yang terbaik. Dia tidak mungkin menunggu ibunya tiba di rumah dalam waktu 2 jam sementara Bella masih mengeluarkan lengkingan suaranya yang lebih mirip suara peluit kereta.
Mata Ken memperhatikan pelayan perempuan yang masih berusaha menenangkan Bella sementara dia mulai mencari nomor kontak Hanna. Dengan wajah berbinar dia mulai menghubunginya, tetapi ponsel Hanna tidak bisa dihubungi dan kegagalannya tersebut membuat dia prustasi.
“Kenapa sih ponselnya tidak aktif, tidak tahu apa kalau aku sedang kacau begini,” omelnya tidak jelas.
“Kira-kira…Scott bisa tidak ya mencari atau menghubungi Hanna, bagaimana pun dia adalah rekan seprofesi.”
Mencoba mencari tahu, akhirnya Ken menghubungi Scott. Dari wajahnya menyiratkan kalau dia mulai tidak sabar karena Scott tidak langsung menjawab panggilannya.
“Scott ini kemana, sih!” katanya mulai mengomel kembali sementara wajah pelayan yang belum pernah menangani anak-anak begitu pasrah bila dirinya harus menerima omelan dari Ken.
“Kau jaga Bella sebentar, aku akan ganti pakaian,” perintah Ken dengan langkah cepat meninggalkan kamar Bella menuju kamarnya sendiri sementara ponselnya masih melakukan panggilan telepon kepada Scott.
Bukan tanpa alasan Scott tidak buru-buru menjawab panggilan Ken, saat ini dia begitu repot dengan barang belanjaan yang ada di tangannya akibat dia lupa mengambil keranjang belanja sementara Hanna yang berjalan di sampingnya berusaha membantu.
“Aku tidak percaya kalau kau sangat pelupa Scott kalau tidak mau dikatakan pikun. Aku mengajakmu ke sini untuk melihat-lihat bukan untuk belanja, tapi yang kau lakukan justru mengambil semua barang yang ada dalam pikiranmu,” omel Hanna dengan wajah menahan tawa.
Tidak ada dalam pikiran Hanna bahwa Scott sangat berminat belanja mengalahkan dirinya. Dengan semua barang belanjaan yang ada diantara mereka berdua, Scott kesulitan untuk menerima panggilan telepon.
“Di sana ada keranjang kosong sebaiknya kau segera mengambilnya!” perintah Hanna begitu matanya melihat ada keranjang belanja yang di tinggalkan entah oleh siapa, tetapi bagi Hanna suatu keberuntungan bagi mereka berdua.
Semua belanjaan yang awalanya berada di tangan mereka kini sudah berpindah tangan. Belum lagi Hanna bersuara untuk memberikan komentarnya pada Scott agar menerima panggilan di ponselnya, dia sudah melotot galak pada layar ponselnya.
Seandainya Hanna tidak menyadari dimana mereka berdiri saat ini, maulah rasanya dia tertawa keras. Tindakan yang dilakukan oleh Scott sama sekali tidak masuk akal, memangnya ponsel bisa membalas yang dilakukan olehnya?
Menghormati privasinya, Hanna berjalan di depan sementara Scott mengikutinya sambil berbicara melalui ponselnya.
“Ya ada apa?” tanya Scott setelah ia menjawa panggilan Ken.
“Kau berada dimana? Aku tidak menyimpan nomor kontak Hanna.”
“Lalu?”
“Aku ingin kau menghubunginya. Keadaan di sini sangat kacau. Ibu dan Darla sudah keluar dari rumah sejak 4 jam yang lalu atau 1 jam setelah Hanna pulang,” beritahu Ken sembari melepaskan pakaian basah yang membuatnya terganggu.
“Bagaimana kalau dia tidak bisa?”
“Coba bujuk dia. Katakan bahwa aku sangat membutuhkan bantuannya.”
“Tapi dia tidak tahu kalau kau adalah majikannya.”
“Hari ini dia akan mengetahuinya, Tidak mungkin pula aku terus menerus tidak menyapanya di rumahku sendiri,” jawan Ken membuat Scott tertawa. Pada akhirnya Ken akan memperlihatkan diri.
“Baiklah. Aku akan katakan padanya bahwa lelaki yang sudah membuatnya sakit hati memerlukan bantuannya,” sahut Scott yang langsung memutuskan sambungan telepon.
Dalam hatinya dia tertawa. Wajahnya begitu puas membayangkan Ken yang sibuk berpikir arti dari kata-katanya sementara dengan Hanna…dia harus mengatakan dengan jujur mengapa dia tidak mengatakan bahwa Hanna sebenarnya bekerja pada Ken dan balita yang dia asuh adalah anak Lenna yang bernama Bella.
Seperti yang sudah diduga oleh Scott, Ken mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan perkataan temannya itu. Apa yang sudah dia katakan hingga membuat Hanna sakit hati? Dia bahkan belum mengutarakan keinginannya pada wanita yang sejak awal berjumpa di Jakarta beberapa tahun lalu selalu menganggapnya sebagai seorang kakak.
Ken masih berdiri di depan cermin memperhatikan dirinya, apakah dia sudah terlalu tua bagi Hanna apabila dia bermaksud mengutarakan keinginannya yang berhubungan dengan Bella? Lalu bagaimana keluarga Hanna akan menanggapinya? Apakah dia akan ditentang oleh keluarga Hanna yang merupakan keluarga perwira.
“Barengsek. Saat ini bukan waktunya aku berpikir apa reaksi Hanna karena ada yang lebih penting yang harus aku tangani sebelum dia kehabisan suara karena menangis,” katanya bergegas keluar dari kamar begitu ia mendengar suara lengkingan Bella. Namun, langkah kakinya berhenti mendadak karena dia nyaris bertabrakan dengan pelayan yang sedang menggendong Bella.
“Ya Tuhan…kamu bisa tidak berjalan pelan dan hati-hati? Siapa nama kamu? Sudah berapa lama kamu bekerja disini, hah?” hardik Ken marah. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila pelayan di depannya melakukan tindakan ceroboh yang bisa membahayakan semua orang.
“Maaf Tuan…saya baru kerja seminggu di sini,” katanya lirih. Sementara Ken sudah mengambil Bella dari gendongannya.
“Siapa namamu?”
“Carly, Tuan.”
“Sekarang kau kembali ke belakang dan katakan pada Elma agar mengajarkan lagi agar dirimu lebih dulu sebelum kau melakukan sesuatu,” perintahnya yang mendapat perhatian sangat besar dari Carly.
Ken tidak dapat memutuskan apa yang akan dia lakukan karena pelayan wanita yang bernama Carly langsung pergi begitu cepat meninggalkan dirinya bahkan sebelum dia selesai bicara.
Wajah ketus dan mata tajamnya seolah-olah menarik perhatian Bella. Anak balita yang memiliki waktu bertemu dengannya sangat terbatas kini mulai menaruh perhatian pada pria tinggi besar dengan rambut pendek yang dipotong rapi.