"Ra... Kapan mau konsul ke dr Isnaeni?" Tanya Agni sahabat Rara yang psikolog, ketika mereka bertemu siang ini. Satu-satunya sahabat yang tahu apa yang sudah dialami Rara tiga tahun lalu.
"Besok."
"Maaf aku gak bisa anterin. Disuruh mama ke bandara jemput mas Banyu."
"Iya gak papa. Ayah sama umi mau anterin kok." Sahut Rara lagi.
"Nanti aku dikabari hasilnya ya. Jadi aku bisa bikin program tambahan buatmu.
"Beresss.." kata Rara lagi.
"Ra..."
"Mmm.. apalagi siih? Mie gorengnya jadi dingin niih."
"Kamu ntar aku kenalin ke mas Banyu ya. Dia baik loh. Udah mapan pula. Kan kita bisa jadi sodara beneran kalau kamu jadian sama mas Banyu." Terang Agni berbinar.
Rara menghentikan kegiatan mengunyahnya. Dia menatap tajam Agni. Agni dan segala niatan mak comblangnya yang selalu gagal karena ditolak.
"Nie, kamu tahu kan siapa aku? Kalau mas Banyu memang baik, dia juga berhak mendapat pendamping yang baik. Yang suci. Yang cantik. Yang sempurna untuk mendampingi mas Banyu-mu itu." Terang Rara tajam.
Rara tidak pernah suka kalau Agni sudah mulai punya program perjodohan.
"Aaah Ra.. kamu tuh kurang apa sih? Kamu cantik, baik, pintar, sopan. Pokoknya kriteria jadi kakak iparku ada di kamu semua deh."
"Nie, kamu tahu masa laluku. Aku tak pantas buat mas-mu. Sudahlah... kita makan aja yuk. Aku jadi gak lapar kalau harus menjawab semua pertanyaanmu itu." Ajak Rara dengan suara lembut.
"Tapi kalau mas Banyu sudah datang tetep mau kenalan ya. Setidaknya kalian bisa berteman."
"Ra.. aku ingin melihatmu seperti dulu lagi. Ceria, hepi, kamu membawa pelangi ke lingkungan di sekitarmu Ra. Aku kangen Rara yang seperti itu. Saatnya kamu membuka diri Ra." Kata Agni lembut sambil memegang tangan Rara.
Rara mengangguk agar Agni segera diam dan menghabiskan makan siang kami.
---
Rara membaca plang tempat praktik dr Is.
dr Isnaeni Garini Sp Kj
- dengan perjanjian -
Beliau psikiatri referensi Agni untuk membantu Rara melewati masa suram.
Sudah hampir 8 bulan Rara tidak konsultasi ke beliau. Selain karena biaya yang cukup lumayan, juga malas harus minum obat-obatan.
Untunglah dr Is mengerti itu. Beliau menyarankan agar Rara semakin mendekatkan diri ke Ilahi.
"Halooo mbak Rara.. Apa kabar? Sudah lama tidak ketemu. Ada keluhan apakah? Masih yang lama?" Tanya dr Is lembut.
Rara diam sejenak. Berusaha mencari posisi duduk ternyaman untuk mulai bercerita. Sementara umi memegang tangannya erat, Rara pun mulai cerita hal-hal yang dia alami beberapa hari ini.
Mengapa mimpi buruk itu datang lagi ketika Rara pikir itu sudah berakhir?
Mengapa bayangan kejadian itu semakin lama semakin sering menghantui?
Mengapa siluet laki-laki itu semakin tertanam di otak?
Dan segudang mengapa lainnya, yang membuat Rara kembali meneteskan air mata.
Seketika dr Is dengan simpati mendengar dan memberikan nasehat pada. Kata dr Is untuk sementara Rara dijauhkan dari berita p*********n yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Dan semakin gencar diberitakan di tv. Alam bawah sadar Rara secara tidak langsung merespon hal itu dan mengirimkan sinyal gelisah ke otak.
Akhirnya dr Is hanya memberikan obat penenang untuk Rara.
Melihat obat ini seketika Rara teringat Melati. Rara memegang perutnya yang tiba-tiba terasa mulas tanpa tahu penyebabnya. Sepertinya perutnya bereaksi lagi atas kenangan pahit yang dia ingat.
Ya Melati.
Anakku.
Darah dagingku.
Janin yang ada di rahimku karena p*********n biadab yang aku sendiri tidak tahu siapa pelakunya.
Janin yang hanya 4 bulan berada di rahim Rara. Padahal akhirnya dia bisa menerima suratan takdir itu, menerima janin itu ada di rahimnya setelah dua bulan ia berada di rahimnya. Selama dua bulan itu Rara hanya menangisi dan menyesali keberadaannya.
Menyesali kenapa ia mesti hadir tanpa dia inginkan terlebih dulu.
Menyesali kenapa ia hadir tanpa ada pernikahan yang suci.
Menyesali kenapa ia hadir bukan dari laki-laki yang Rara cintai, yang dia harap dengan sangat akan menjadi suami tercintanya.
Dan sederet penyesalan lainnya. Hingga akhirnya ayah dan umi berhasil menyadarkannya bahwa janin yang ada di rahimnya itu tidak berdosa.
Dia suci. Bayi itu suci.
Kebiadaban laki-laki itulah yang berdosa.
Rara teringat keluh kesahnya ke umi tiga tahun lalu.
"Aku tidak menginginkan bayi ini umi. Aku benci diaaa. Aku benciiii.." tangis Rara meraung sambil meremas perutnya kencang.
"Nduk.. istighfar yaaa.. bagaimanapun juga janin itu anakmu. Darah dagingmu. Tanggung jawabmu."
"Tapi dia anak haram umi. Aku gak mau mengandung bayi ini. Aku mau menggugurkan dia!"
"Astagfirullah Ra.. istighfar Ra.."
"Tidak ada anak haram di dunia ini Larasati." Geram ayah pada Rara.
"Semua bayi yang dilahirkan ke dunia ini adalah suci. Tidak berdosa. Kalau bayi itu bukan berasal dari pernikahan yang sah, maka itu menjadi dosa orangtuanya."
"Pertahankan janin itu. Jangan pernah lagi berpikiran untuk menggugurkannya!" Tegas ayah pada Rara. Yang membuat tangisnya semakin menjadi di pelukan umi.
"Sssshhh.. sudahlah berhenti nangis nduk." Bujuk umi.
"Rara.. ayah dan umi tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat dosa. Jikalau memang ini takdir yang harus kita jalani, kita akan jalani bersama. Anak yang kamu kandung adalah cucu ayah - siapapun ayahnya. Tidak usah pikirkan apa kata orang lain. Pikirkan kesehatan dirimu dan kandunganmu." Tegas Pak Prasodjo.
Akhirnya dengan awal terpaksa Rara menerima janin ini semakin membesar di rahimnya. Belajar untuk menerimanya.
Belajar untuk mencintainya.
Menerima dan mencintai janin yang ada di rahimnya tanpa tahu siapa ayahnya.
~~~
"Yah.. nanti sebelum pulang mampir dulu ke makam Melati ya yah. Sudah lama kita gak ke sana." Pinta Rara ke ayahnya dalam perjalanan dari dr Is ke rumah.
"Iya."
Sesampainya di makam, Rara membersihkan sebuah nisan kecil yang menandakan bahwa yang dikuburkan di situ adalah seorang bayi.
Tertulis
Melati Azzahra binti Larasati Prasodjo.
Wafat 7 Jan 2014
Yaa nasabnya tertulis nama Rara. Karena dia lahir tanpa pernikahan.
Karena Rara sendiri pun tak tahu siapa ayahnya. Lelaki itu. Yang membuat Rara mengandung anak di luar pernikahan.
Di agama Rara nasab seorang anak tanpa pernikahan akan mengikuti nasab dari ibunya.
"Maafkan bunda ya nak. Sudah lama bunda tidak kemari. Tapi dalam setiap doa bunda pasti ada namamu tersebut. Jikalau nanti hari akhir datang, tuntun bunda ke surga dengan tanganmu ya nak. Tanganmu yang masih suci tanpa dosa yang Insya Allah akan membimbing bunda."
"Bunda sayang kamu." Bisik Rara lirih sambil kembali memegang perutnya yang tiba-tiba terasa perih.
Melati Azzahra, anakku.
----
Nasab kurang lebih artinya garis keturunan. Di Islam ditandai dengan bin untuk laki-laki, dan binti untuk perempuan