BAB 5

1120 Words
“Iya. Besok kamu nikah, Ken,” jawab Pak Budi pelan. “Apa?! Gimana ceritanya, Pak? Kok bisa tiba-tiba besok nikah? Kenzo ‘kan nggak menghamili anak orang, Pak.” Kenzo terkejut dengan bola mata membulat sempurna. “Bapak tahu, Ken. Kalau nggak besok, kapan? Keburu tua nggak laku loh kamu nanti,” ujar Pak Budi. “Hadeh ... Bapak ini. Sabar dong, Pak. Kenzo kan masih nyari calon istri,” balas Kenzo sembari duduk di tepi tempat tidurnya. “Nggak usah nyari lagi. Pokoknya besok kamu tinggal ijab kabul saja. Semuanya sudah siap kok. Dari calon istri, surat-surat, seserahan, mahar. Pokoknya kamu tinggal hafalkan ini. Pakai bahasa arab saja, gampang,” sahut Pak Budi seraya menyerahkan lembaran kertas yang berisi tulisan ijab kabul yang diambilnya dari atas meja. Kenzo menerima kertas itu lalu membacanya sekilas. “Memangnya siapa calon istri Kenzo, Pak? Apa Kenzo kenal?” tanya Kenzo seraya menatap Pak Budi. “Anaknya Pak Cahyo. Namanya Ayana. Dia anak gadis Pak Cahyo satu-satunya, Ken. Bapak jamin kamu nggak akan kecewa. Anaknya cantik dan pintar,” jawab Pak Budi seraya duduk di samping Kenzo. “Apa harus, Kenzo menikahi anak Pak Cahyo besok, Pak? Kenzo belum siap. Kenapa mendadak begini sih?” gerutu Kenzo. “Iya, harus! Semuanya sudah siap, masa harus dibatalkan? Mau ditaruh di mana muka Bapak dan Pak Cahyo, Ken?” balas Pak Budi sambil menunjuk mukanya sendiri. “Kalau Kenzo nggak mau?” tanya Kenzo. “Bapak coret kamu dari KK. Jangan pernah pulang ke rumah ini lagi,” balas Pak Budi penuh dengan ancaman. “Idih ... Bapak kok gitu sih. Ya udah, kalau gitu Kenzo pamit ya, Pak. Kenzo pergi,” ucap Kenzo lalu menarik tangan Bapaknya untuk salim. “Kenzo!” seru Pak Budi marah. Kenzo menahan tawa ketika melihat Bapaknya yang tiba-tiba murka. “Canda, Pak. Ya ampun ... sampai segitunya pengen punya mantu. Iya-iya, besok Kenzo nikahi anaknya Pak Cahyo,” ucap Kenzo dengan tersenyum. Pak Budi pun merasa lega. Ia sempat merasa khawatir kalau seandainya Kenzo tidak mau menikah besok. Kenzo terpaksa patuh. Bagaimana pun ia tidak mau menjadi anak durhaka. Kesuksesannya saat ini adalah berkat doa dan dukungan kedua orang tuanya. Sampai kapan pun, ia akan berbakti kepada orang tuanya. * Keesokan harinya Usai salat subuh, Ayana menghampiri Ibunya yang tengah berkutat di dapur. “Buk ..., apa nggak bisa pernikahan ini ditunda? Kira-kira sampai Ayana lulus kuliah gitu, Buk,” tanya Ayana berharap pernikahan ini batal dengan mata berkaca-kaca. Ia benar-benar belum siap untuk menjadi seorang istri. Keinginannya saat ini hanyalah kuliah dan main sama teman. “Nggak bisa. Semuanya sudah siap kok minta dibatalkan. Kamu kira biaya pernikahan sederhana ini apa nggak pakai uang? Udah jangan negosiasi terus. Ibuk capek dengar rengekan kamu beberapa hari ini, Ay!” jawab Bu Retno sambil memasak. Ayana pun kembali ke kamarnya dengan bibir cemberut menahan tangis. Tidak ada satu orang pun yang bisa membantu dan membelanya kali ini. Bu Retno memang sempat berbicara pada Pak Cahyo agar tidak menyuruh Ayana menikah sekarang. Namun, Pak Cahyo tetap kekeh pada pendiriannya. Selain nggak enak sama Pak Budi, ia juga khawatir dengan Ayana jika jadi kuliah di luar kota. Satu-satunya cara agar Ayana ada yang menjaga adalah dengan menikahkannya. Tidak hanya itu. Dengan menikahkan Ayana dengan Kenzo, otomatis Pak Cahyo juga tidak perlu membayar kos Ayana, uang jajan, dan uang kuliah. Semua itu akan menjadi tanggung jawab suaminya. Mendengar penjelasan itu, Bu Retno pun akhirnya setuju dengan rencana perjodohan itu. * Pukul delapan pagi, Ayana sudah didandani MUA di dalam kamarnya. Terlihat sekali kalau ia habis menangis sedari tadi. Matanya memerah dan sedikit bengkak. Untungnya MUA yang mendandaninya sudah berpengalaman dan jam terbangnya sudah tinggi. Sehingga bisa menutupi mata bengkak Ayana. Tidak lama kemudian Mala, Rere, dan Wulan datang. Mereka bertiga masuk ke dalam kamar Ayana. Hanya mereka bertiga yang diundang Ayana lantaran merasa malu baru lulus sudah langsung nikah. “Cantiknya yang mau nikah,” puji Mala ketika MUA sudah selesai mendandani Ayana. Ayana tersenyum paksa. Ingin sekali ia menangis saat ini, tapi takut make up nya berlepotan. Mala, Rere, dan Wulan duduk di tepi tempat tidur Ayana. Sedangkan Ayana duduk di kursi meja belajarnya. Tidak lama kemudian terdengar huru hara di luar rumah. Wulan pun beranjak bangkit dari duduknya lalu mengintip ke jendela kamar Ayana karena penasaran ada apa di luar sana. “Ay, rombongan keluarga Pak Budi sudah datang, Ay,” ujar Wulan usai mengetahui apa yang terjadi di luar. Jantung Ayana pun tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia berusaha menenangkan dirinya dengan menghela napas panjang beberapa kali. ‘Ya Allah ... apakah ini nyata? Jika memang mimpi, segera bangunkan hamba ya Allah,’ mohon Ayana dalam hati. Sementara itu di luar rumah, Pak Cahyo dan Bu Retno menyambut keluarga Pak Budi dan calon menantunya. “Kenzo ..., masyaa Allah ... gantengnya,” ucap Pak Cahyo saat bersalaman dengan Kenzo. Kenzo hanya bisa tersenyum dan menunduk. Saat ini ia memakai pakaian pengantin berwarna putih yang senada dengan Ayana. Kalung dari bunga sedap malam melingkar di lehernya. Pak penghulu sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Kenzo pun segera dipersilakan duduk di depan pak penghulu untuk memulai acara akad nikah. “Ayo, Ay, keluar!” seru Bu Retno seraya membuka pintu kamar Ayana. Ayana pun bangkit dari duduknya. Ia menatap ketiga sahabatnya yang juga menatapnya. “Genks ...,” rengek Ayana enggan untuk keluar kamar. “Semangat, Ay!” ujar Rere, Wulan, dan Mala hampir bersamaan. “Ayo, Ay! Cepetan!” sertj Bu Retno seraya menarik tangan Ayana agar segera keluar dari kamar. Ayana berjalan dengan menundukkan kepala. Ia takut tersandung karena sangat susah berjalan lantaran menggunakan jarik yang rapat. Bu Retno pun menuntun dan membantunya berjalan agar tidak terjatuh. “Jangan nangis. Malu dilihat orang!” bisik Bu Retno di dekat telinga Ayana. Seketika bibir Ayana pun cemberut mendengar ancaman Ibunya. Semua mata tertuju pada Ayana yang baru saja keluar dari ruang tamu. Termasuk Kenzo yang sejak kemarin penasaran dengan rupa Ayana. Kini Ayana sudah duduk di samping Kenzo. Jantung mereka pun sama-sama berdegup kencang. Namun, tidak ada yang berani menatap satu sama lain. “Sudah bisa dimulai sekarang?” tanya Pak penghulu. “Monggo, Pak!” sahut Pak Cahyo. Tangan Pak Cahyo pun berjabat tangan dengan Kenzo di atas meja. Sedangkan pak penghulu menuntun Pak Cahyo agar mengikuti kata-katanya. “Qobiltu nikahaha watajwijaha bil mahril madzkur!” sahut Kenzo dengan lantang usai Pak Cahyo mengucapkan ijab. “Bagaimana para saksi?” tanya Pak penghulu. “Sah!” sahut semua orang yang hadir dengan serempak. Hati Ayana terasa berdenyut nyeri. Sesak sekali. Ia ingin menangis, tapi ditahannya sebisa mungkin. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gemetar. Tangannya mengepal kuat di atas pangkuannya. Pak penghulu pun memanjatkan doa berkah dan selamat.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD