25. Rabian Andreas

1009 Words
Deru mesin motor menggema di penjuru gang kecil perumahan kumuh itu. Asapnya mengepul meninggalkan jejak yang tak bertahan lama. Hanya dengan mendengar mesin motor pun warga di sana sudah dapat mengenal siapa laki-laki di balik helm hitam itu. Motor itu kini sudah berada di ujung gang menuju jalan raya. Di ujung gang ia melihat beberapa anak laki-laki seumurannya yang sedang menggerakkan tangan kanan dan kirinya mengintrupsi kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali meniupkan priwitan di mulut mereka. Setelah motor itu berada di ujung gang hendak menyebrang, ia membuka kaca helmnya tanpa membuka masker yang menutupi sebagian wajah. "Wetseh! Pelajar tauladan kita!" ujar salah satu anak yang tadi meniup priwit. "Cepet aja udah berhentiin itu, gue dah terlambat ini," balas laki-laki pengendara itu. "Oke, bos." Lantas anak itu langsung memberhentikan kendaraan yang sedang berjalan untuk memberika jalan untuk pengendara yang baru keluar dari gang itu. Suasana jalan raya ibukota selalu seperti ini. Ramai dan padat, dengan skill mengendaranya laki-laki itu menerobos macetnya lalu lintas dengan melewati celah-celah kecil antara kendaraan yang sedang mengantri macet. 06.50 Motor itu sudah melewati gerbang sekolahnya menuju parkiran sekolah. Setelah memastikan motornya sudah terparkir dengan aman, ia melangkah menuju ruang kelas. "Sepuluh menit lagi Rabian!" seru salah satu guru laki-laki paruh baya yang memiliki kumis tebal. "Eh, Pak Mahmud. Iya dong, Pak, sebagai murid tauladan itu nggak boleh terlambat 'kan," ucapnya dengan sikap sok bijak. "Bagus-bagus, meskipun tinggal beberapa menit lagi tapi ada peningkatan." "Ya udah, Pak, kalo begitu, daripada saya malah terlambat. Saya ke kelas dulu, Pak," ujar laki-laki itu sambil meraih punggung tangan gurunya seraya mencium tangan. Ketika anak itu berlalu, Pak Mahmud baru mengingat satu hal. "Rabian! Kamu terlambat lima puluh menit!" Ia baru ingat jika saat ini, jadwal pendalaman materi yang dimulai jam enam pagi. *** Rabian Andreas Siswa tengil, petakilan, jail, tetapi pintar. Hal terakhir yang membuat semua guru hanya dapat mengelus d**a untuk menahan amarah. Rabian siswa tengil dengan IQ 150 merupakan aset berharga yang dimiliki sekolah itu. "Halo, class!" "Jam berapa woy, anak pinter mah beda," kata Ardi murid rajin yang sayangnya peringkat ia satu tingkat di bawah Rabian. "Nggak pendalaman materi juga nilai kimia paling tinggi." Kali ini Shafa, siswi bertubuh pendek yang sering dipanggil "Sapi" oleh Rabian. "Apaan sih. Gue ngedukun ini," jawab asal Rabian lalu mendaratkan bokongnya di kursi paling belakang. Rabian terdiam melihat papan tulis yang berisi coretan materi yang dia ketahui bekas pendalaman materi berlangsung. Sebenarnya alasan ia terlambat bukan karena malas atau sengaja terlambat. Keadaan yang membawanya seperti ini. "Sst, sst, Nisa!" Annisa siswi pintar yang selalu mendapat peringkat satu di kelasnya. Ia termasuk murid pendiam. "Gue nanti pinjem catetannya, ya." Annisa hanya mengangguk, itu sudah merupakan kebiasaan Rabian jika ia terlambat mengikuti pelajaran. Rabian tersenyum senang. "Makasih, Nis." Kini perhatiannya kembali ke buku yang sudah ia letakkan di atas meja. Sedangkan Annisa, gadis itu masih menatap Rabian lalu tersenyum tipis. "Sama-sama," gumamnya sangat pelan yang hanya dapat didengar olehnya. *** "Rabian! Woy, malah tidur lo," kata Arya sambil menggerak-gerakkan bahu Rabian. "Ekhem!" deheman keras dari Bu Suhan, guru PKN yang memiliki tubuh kurus dan suara senyaring toak masjid. "Rabian!" teriaknya dengan frekuensi suara yang mampu membangunkan beruang yang sedang berhibernasi. Sontak Rabian terbangun dari tidur tampannya. "Ada apa, Bu? Aduh kasian ini telinga saya, kalo saya jadi caplang gimana? Kan, jadi tambah mirip chanyeol." "Kenapa kamu malah tidur," gertak Bu Suhan. "Kalo kamu merasa nggak perlu belajar keluar dari kelas ini!" Wanita paruh baya itu mulai melangkahkan kakinya mendekati anak muridnya yang memperlihatkan mata ngantuknya. "Jangan mentang-mentang kamu pinter bisa seenaknya," ucap Bu Suhan dengan nada rendah yang tajam. Pandangan seluruh siswa hanya terpaku pada satu orang yang masih memasang wajah santainya. "Cepat keluar!" Rabian membuka mulutnya dan mengeluarkan suara menguap. Dengan terpaksa ia beranjak dari kursinya lalu keluar kelas. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah. Lorong ini sangat sepi, tanda bahwa seluruh siswa sedang melakukan aktifitasnya di dalam kelas. Sesampainya di taman ia mendaratkan bokongnya di kursi panjang taman itu. "Eh, Mas Rabian!" Merasa namanya dipanggil cowok itu menoleh ke sumber suara. "Pak Ahmad." Pak Ahmad adalah tukang kebun sekolah sekaligus tetangganya. "Kok di sini?" ucapnya sembari ikut mendudukan diri di samping Rabian. Rabian tersenyum miring. "Mau nemenin Bapak di sini." Pak Ahmad terkekeh sambil menggeleng kecil mendengar jawaban Rabian. "Ini, saya ada makanan, kamu belum makan, toh." Pak Ahmad menyodorkan sebungkus nasi uduk kepada Rabian. Rabian tersenyum tipis, "Saya nggak bakal bisa nolak, kan." Itu pernyataan bukan pertanyaan. *** Rabian berjalan santai menelusuri lorong-lorong ruang kelas. Selama diperjalanan dia selalu menyapa dan menebarkan pesonanya kepada para siswi yang lewat atau berpapasan. "Ijah! Wah makanan apa tuh?" Faizah yang selalu dipanggil Ijah oleh Rabian itu mendengus kesal melihat tingkah Rabian yang langsung mengambil makanan yang ia bawa dari kantin. "Makanan yang lo minta setiap hari!" jawabnya sarkas kemudian berlalu meninggalkan Rabian yang sedang terkekeh. "Eh, emang ya? Bukannya itu makanan limited edition?" Makanan limited edition yang dimaksud adalah cimol yang sering ia makan. Bahkan tetangganya saja ada yang jualan cimol. Ia kembali berjalan. Tujuan sebenarnya adalah warung kopi Teteh--tempat tongkrongan bersama teman-temannya--yang berada dekat sekolah. Di kejauhan ia melihat satu korban lagi yang sedang membawa segelas es teh. "Bila, itu minuman apa?" Bila yang sudah mengetahui niat Rabian langsung memutar tubuhnya. "Aih, lo mau ke mana?" Rabian berjalan cepat mengejar Bila. "Bagi dong, say, abang haus, nih." Kini langkah Bila sudah terhalang oleh badan tegap Rabian. "Apaan sih lo, Yan!" Bila memutar matanya ketika Rabian sudah menyedot es itu lalu membuang sedotannya. "Eh, udah lo minum, belum?" tanya Rabian setelah membuang sedotan itu. "Udah!" jawab ketus Bila karena es teh yang baru ia beli sudah berkurang setengahnya. "Wah, berarti sama aja gue nyium elo dong?" Cowok itu menutup mulutnya mendramatisir. Ucapannya itu berhasil membuat pipi Bila merona. "Terima kasih, Say." Ia berlalu dari hadapan Bila yang masih salah tingkah dengan perlakuan Rabian. "Ton," sambungnya yang membuat Bila tersadar dari kemeronaannya. Sayton? Setan, dong? pikirnya. "Sialan lo, Rabian!" pekik Bila yang dibalas acungan jempol oleh Rabian yang sedang berjalan membelakanginya tanpa mau membalikan tubuh atau wajah. Seharusnya Bila sadar siapa Rabian itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD