46. Persiapan Semi Final

1021 Words
"Lo ngapain ke atas tadi?" tanya Tobias sambil mengekori Hana yang tengah memilih barang yang ingin ia miliki. Hana mengambil headset berkuping kelinci itu dan mencobanya ke ponsel. "Gue mau nyamperin lo ke ruang OSIS tadi." Cewek itu melihat pantulan dirinya dari kaca. "Gue boleh beli berapa barang?" "Satu," jawab Tobias singkat. "Pertama, gue disuruh nunggu selama itu. Kedua, gue diomelin sama lo. Ketiga, lo nggak percaya sama gue—" "Oke tiga atau nggak sama sekali!" potong Tobias. Hana tersenyum lebar. Ia menyimpan kembali headset itu ke tempatnya. "Oke, berarti gue harus bener-bener berpikir mulai detik ini. Barang yang nggak akan gue sesali." Hana berjalan menuju rak tas selempang kecil. "Bagusan ini atau ini?" tanya Hana kepada Tobias. Menyodorkan dua tas dengan warna sama, tetapi bentuk yang berbeda. Tobias menunjuk yang kanan. Tas berbahan rajut berwarna cokelat tua. Hana melihat pantulan dirinya di kaca. Ia bergeleng dan menaruh kembali tas itu. "Ini aja deh." Hana memilih tas kulit berwarna avocado krem. Kemudian beralih ke rak lain. Tobias memandang tak percaya punggung Hana. "Fungsi nanya itu apa ya?" Acara belanja-belanja itu tak terasa menghabiskan waktu tiga jam. Tobias duduk di kursi panjang di depan toko itu. Memijat kakinya yang terasa pegal padahal hanya mengikuti cewek itu mondar-mandir mengelilingi mall saja. Rasanya ia lebih baik berlatih voli ketimbang menemani Hana berjalan. "Tobias, kaki lo kenapa?" Cowok itu menghela napas lelah. Hana berjongkok melihat kaki panjang Tobias lebih dekat. "Pegel ngikutin lo milih barang. Akhirnya lo beli apa aja tuh?" "Nih, headset, tas, sama binder. Padahal gue masih ragu perlu binder apa enggak. Lo nggak sabaran banget," gerutu Hana. "Ngelilingin tuh toko tiga jam masih bilang nggak sabaran?" "Tiga jam?" Mata Hana membulat. Ia langsung melihat jam di pergelangan tangannya. "Ah, iya." Tobias mengambil belanjaannya lalu mengajaknya pulang. Posisi mereka saat ini membuat Hana teringat satu hal. "Kita udah nggak lama belanja kayak gini lagi, ya?" Rasanya sudah lama sejak ia ditraktir Tobias. Mendengar itu, Tobias berbalik dan menyodorkan belanjaan itu kepada Hana kembali. "Ini sebagai permintaan maaf karena udah marahin lo tadi." Lantas Tobias berbalik dan berjalan dengan langkah lebar. Meninggalkan Hana di belakang. Dua sudut bibir Hana tertarik ke atas. Tobias tidak sepenuhnya berubah. Dia hanya berusaha berubah. Entah apa alasan cowok itu. *** "Gue dua hari lagi tanding." Hana turun dari motor Tobias. Ia merapikan roknya yang kusut. "Boleh nonton?" "Lo nanti buat surat dispensasi. Dibolehin kok." Cewek itu mengangguk. Jam sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Udara sore itu berembus menyapa kulit Hana. Hari sudah mulai menggelap. "Makasih, ya, udah dibeliin ini." Hana mengangkat belanjaannya. Tobias mengangguk. Tangannya sudah berada di stang, tetapi ia seperti tidak berniat menggasnya. Hana menyapukan pandangannya ke sekeliling. Beberapa penjual gerobak lewat di depan rumahnya. Dari tukang roti keliling hingga bakso. "Mau makan bakso dulu?" tanya Hana. "Gue yang nraktir." Tobias menoleh, menatap mata bulat milik Hana. "Oke," katanya lalu mematikan mesin motornya. Kalau dipikir-pikir baru kali ini Hana mengajaknya makan sekaligus membayar makanannya itu. *** Tinggal satu hari menuju semi final. Bohong kalau Tobias tidak merasakan kegugupan itu. Cowok itu mengedarkan pandangannya ke teman-temannya yang sedang duduk sambil mengobrol ringan. Dari sikap mereka seperti tidak ada beban sama sekali. Tobias di timnya memiliki posisi sebagai middle blocker bersama dengan Kak Radit dan Chandra. Posisi di mana mereka bertugas untuk menghalau serangan lawan. Ia tadi sudah mengukur tinggi loncatan. Bisa dibilang Tobias terendah di antara Kak Radit dan Chandra. Lalu ada Kak Farhan berposisi sebagai Libero. Orang yang pernah menolong Hana. Ia memiliki tingkat reflek yang tinggi. Matanya sangat lincah untuk melihat arah bola terjatuh. Sang penyelamat timnya. Kemudian pandangan Tobias beralih ke Kak Ricki, Ace tim Galena. Memiliki serangan yang cepat dan tajam. Cowok yang digandrungi oleh cewek-cewek dari SMA lain. Tidak heran, karena Kak Ricki memiliki tubuh yang atletis dan wajah yang rupawan. Fajri, setter tim mereka. Orang berhati baik, tetapi bisa berubah menjadi cowok ambis yang tidak terima kekalahan. Kalau Fajri sudah berada di mode itu. Bahkan ia bisa dipandang menjadi lawan yang menyeramkan. Setter bertugas untuk mengatur serangan tim. Orang yang memberi umpan kepada penyerang. Mata dan penilaian Fajri sangat tajam. Ia juga terkenal sangat peka tidak hanya di lapangan, bahkan dalam pergaulan juga. Yang Tobias tahu, di sekolahnya banyak sekali yang menyukai Fajri dalam diam. Ah, itu ia dengar dari Kak Farhan. Terakhir, Kak Dika kapten tim sekaligus berposisi sebagai wing spiker. Tangan kiri Dika sangat tajam, tapi bukan berarti tangan kanannya mati. Sebagai kapten, Tobias memiliki penilaian kalau Dika itu orang yang bijak dan dewasa. Dia bukan tipe orang yang berambisi hingga menekan teman-temannya. Karena Dika sudah menyadari timnya sudah memiliki jiwa ambisi yang kuat hingga keberadaannya lebih seperti obat dan pengontrol kalau teman-temannya sudah hilang akal. Berada di tim ini beberapa bulan sudah menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi Tobias. Kekeluargaan dan kesetiakawanan tim voli Galena membuat cowok itu merasa menyesal baru bergabung tidak dari lama. Kak Radit menghampirinya memberikan sebotol air untuknya. "Thanks, Kak." Tobias mengambil botol itu. Kak Radit juga berposisi sebagai wakil kapten. "Gimana rasanya? Pertama kali di depan net?" "Gugup, seneng, takut, excited. Campur." Tobias menggaruk tengkuknya. Radit ini meskipun sebagai wakil, ia juga memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Namun, herannya Radit dan Dika tidak pernah bertengkar. Mereka seperti saling melengkapi untuk memimpin timnya. "Lo bisa ajak temen deket lo atau pacar lo nonton besok. Siapa tuh namanya?" "Hana?" Alis Tobias terangkat satu. "Ah, iya, itu!" "Tapi itu bukan pacar saya, Kak. Itu teman." "Temen tapi mesra?" Radit menggoda. Ia menepuk bahu Tobias sambil terkekeh. "Santai aja kali. Nggak usah malu sama gue. Di tim kita ini nggak ada rahasia-rahasiaan asal lo tau," bisik Radit kepada Tobias. "Tapi emang bener, Kak," kilah Tobias. "Gue sama dia udah temenan lama. Jadi udah kayak saudara aja." Radit mengangguk kecil. "Dari SMP?" Tobias meneguk kembali minumnya. Ia menggeleng sebagai jawaban. Radit berdehem, berusaha menebak lagi. "Dari SD?" "Dari TK," jawab Tobias. Mulut Radit membentuk o. "Kak Radit sendiri udah punya pacar?" tanya Tobias balik. Radit tergagap. Tak menyangka dia akan diserang balik. Menurut rumor yang beredar, Radit sedang menjalankan hubungan backstreet dengan salah satu tim voli putri. Radit menyugar rambutnya. "Kita udah kelamaan ngobrol kayaknya. Ayo latihan lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD