45. Bujuk

1013 Words
Tobias dan Hana sontak menoleh ke arah Rabian. Hana melempar kerupuk dari piringnya ke arah Rabian. "Nggak usah mulai mode buayanya. Nggak mempan sama gue." Tobias sedikit terkejut karena kerupuk yang melayang di depan matanya. "Lo liat nih, Bi. Dia kebiasaan banget ngegodain gue gini. Nggak usah didengerin." Tobias tersenyum miring. Tampaknya Rabian belum mengenal Hana. The Queen of Kencan Buta digombalin, nggak akan mempan! pikir Tobias. Setelah menyelesaikan makannya. Hana menaruh nampannya di kotak yang sudah disediakan disusul dengan Tobias dan Rabian. "Lo ada latihan hari ini?" tanya Hana ke Tobias. "Nggak ada. Tapi gue disuruh rapat sama anggota OSIS buat ngebahas promosi sekolah." Perempuan itu berdecak. "Jadi sibuk kan lo? Udah gue bilang apa." "Nggak apa-apa sih gue suka." "Gue tadinya mau pulang bareng." "Sama gue aja." Rabian menyela. Hana sudah menyipitkan matanya hendak mencak-mencak lagi, tetapi Rabian sudah keburu memotongnya. "Gue nggak maksud gombal sumpah. Beneran kalau lo mau, bareng gue. Gue bawa motor." "Tadi lo lari-lari sama gue." Hana menampilkan wajah tak percaya. "Motor gue, gue taro di warung depan sekolah." "Kenapa taro di situ?" Alis Hana terangkat satu. Rabian menjadi gemas sendiri. Ia mengacak rambut Hana. "Banyak nanya lo." Melihat itu, Tobias menepis tangan Rabian dari kepala Hana. "Nggak perlu pake begitu," kata Tobias lalu berjalan cepat meninggalkan Rabian dan Hana. Perempuan berambut gelombang itu menatap punggung Tobias dengan senyum tipisnya. "Tuh orang sensi banget." Hana melipat kedua tangannya. "Iya, emang dia gitu. Dia udah kayak saudara gue. Jadi lo jangan macem-macem sama gue," kata Hana berbangga diri. Mendengar ucapan Hana, membuat Rabian menyadari satu hal. "Gue bener-bener masih punya kesempatan, ya," gumamnya. Kemudian ia memasukan kedua tangan ke dalam saku dan berjalan mendahului Hana. *** "Han!" panggil Tobias. Hana menoleh, mendapati Tobias melempar kunci kepadanya. Untung saja Hana memiliki reflek cukup baik. "Tungguin gue," kata Tobias sambil berjalan menuju ruang OSIS. "Kebiasaan lo mah, nitip kunci ke gue." Seakan untuk menjadi jaminan kalau Hana akan pulang bersamanya. Rabian yang baru keluar kelas hanya mengerutkan kening saat Hana terlihat tidak mengikutinya. "Nggak jadi bareng?" Cewek itu menggoyangkan kunci yang ada di tangannya. "Gue bareng pemilik kunci ini." Rabian tersenyum miring. Jadi begini cara mainnya, pikir Rabian. "Padahal lo udah janji sama gue tadi." "Sorry," kata Hana sambil menampilkan sederet gigi putihnya. "Kapan-kapan deh, ya. Makasih sebelumnya udah nawarin." Ia menepuk bahu Rabian. Bagaimana pun juga Hana akan lebih memilih Tobias daripada siapa pun. Menurut Hana ini adalah kesempatan ia dan Tobias dapat sedekat dulu lagi. Apa lagi Tobias sudah meminta seperti itu. Hana tidak akan bisa menolaknya. Kalau dulu mungkin alasannya karena akan takut dimarahi ayahnya. Namun, saat ini mungkin bukan itu alasannya. Karena sudah terbiasa. Hana berjalan menuju ruang OSIS. Sebelum akhirnya Rabian kembali memanggilnya. "Kenapa?" "Biar gue temenin lo." Mata Hana membulat. Namun, detik kemudian ia mengangguk dan kembali berjalan. Dia tidak bodoh, jika sikap Rabian yang sefrontal itu tidak dapat ia pahami. Hana dapat menyadari kalau Rabian tengah berusaha menaklukannya. Namun, Hana bukan tipe cewek yang seperti itu. Justru sifat seperti Rabian ini adalah list terakhir cowok yang akan ia hindari. Hindari di sini bukan secara harfiah, tetapi dia tidak akan membiarkan hatinya untuk tersentuh sama sekali perkataan yang diucapkan cowok itu. "Temen yang lo maksud waktu itu, Tobias, kan?" Langkah mereka berhenti pada lapangan outdoor. "Iya. Ketauan juga." Hana terkekeh. Di lapangan sudah ada anak basket yang berlatih. "Lo suka olahraga apa?" "Apa aja. Gue multitalenta kalau lo nggak tau," ucap Rabian menyombongkan diri. Hana memutar matanya. Ekspresi tak percaya. "Serius. Gue suka basket, voli, sepak bola, renang." "Tapi di antara itu nggak ada yang lo geluti." "Cukup gue suka dan gue bisa. Nggak perlu sampe gue geluti." "Coba kapan-kapan tanding voli sama Tobias," tantang Hana. "Boleh." Sebuah bola nyasar hampir mengenai jidat Hana. Kalau saja Rabian tidak sigap untuk menangkapnya. Cowok itu mendrible bola di tangannya. Ia meletakkan telapak tangan di samping bola dan sedikit ke belakang. Lalu jari-jari kedua tangannya berada dalam keadaan yang berjarak. Sementara posisi ibu jari berada di paling dekat dari tubuh. Rabian menghitung dari satu sampai tiga kemudian meng-shoot. Three point Mulut Hana sedikit terbuka. Rabian mendudukan kembali tubuhnya. Saat ia melihat ke samping, wajahnya sedikit terkejut. Padahal ia tidak ada niatan untuk menyombongkan diri awalnya. Namun, melihat ekspresi takjub Hana ia jadi tersenyum bangga. "Apa gue bilang. Gue bisa dalam segala hal." Hana mengibaskan tangannya. "Itu lo lagi hoki aja kali." Rabian terkekeh. "Gue jadi penasaran tanding voli sama Tobias. Jangan jangan gue bisa ngalahin dia," kata Rabian sambil menaikturunkan alisnya. Ia benar-benar jadi penasaran untuk bertanding melawan Tobias. Orang yang disebut-sebut sebagai salah satu pemain voli terbaik yang dimiliki Galena. Sehebat apa memangnya? *** Tobias tak menyangka kalau Hana sedang duduk bersama Rabian. Kenapa orang nggak jelas itu masih di sana? pikir Tobias. Celsi menepuk bahunya membuat Tobias menoleh ke belakang. Cewek berambut lurus yang ditunjuk juga sebagai duta itu menjulurkan tangannya. "Tempat pensil lo ketinggalan." "Oh, iya, thanks." "My pleasure." Setelah menerima barang miliknya itu, Tobias kembali melihat ke arah lapangan. Hana sudah tidak ada di sana. Melihat itu, membuat Tobias berlari menuju lapangan. Tidak mungkin kan Hana memutuskan pulang bersama Rabian. Bagaimana pun juga kuncinya ada bersama cewek itu. Tidak berhasil menemukan Hana membuat Tobias segera menelepon cewek itu. Dalam dering ke dua, teleponnya diangkat. "Lo pulang duluan? Terus kunci gue lo bawa, gue pulang gimana? Kan udah gue suruh tunggu!" cerca Tobias. "Apaan sih, Bi. Kok ngomel-ngomel sama gue." "Ya lo. Baru kenal Rabian tapi udah sok deket sama dia. Ya gue terserah sih lo mau deket sama siapa. Tapi mikir dong ngerugiin orang apa enggak!" "Emang gue ngerugiin!" "Iya jelas! Ini buktinya, kunci motor gue lo bawa pergi." Tepat setelah Tobias mengatakan itu sebuah benda cukup keras mendarat di kepalanya. Tobias mengaduh. Benda itu terjatuh ke tanah. Ia menunduk untuk mengambil benda itu. Kunci motornya. Tobias mendongakan wajahnya ke atas. Hana sudah menaikan satu jari tengahnya. Tobias menghela napas. Oke. Dia sudah salah paham. Sudah dapat dipastikan kali ini ia harus berusaha keras membujuk cewek itu jika tidak mau keadaan semakin parah. "Lo belum makan kan? Nanti mau mampir ke mana dulu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD