9. Bola Biru Kuning

1412 Words
Gadis kecil berumur lima tahun itu menenteng boneka beruangnya ke dalam kamar milik temannya. Sedikit berjinjit untuk meraih kenop pintu. Sang pemilik kamar paling tidak suka jika pintunya tidak ditutup. Seperti yang ia duga, pemilik kamar tengah asyik dengan game stick-nya. “Hana mau main juga.” Anak laki-laki itu melirik ke sumber rengekan. “Itu mainan.” Matanya mengarah pada boneka beruang. “Nggak mau bosen.” Hana melepas mainannya. “Mau yang itu.” Telunjuk kecilnya mengarah pada benda yang anak laki-laki itu pegang. “Tobias main ini aja. Kita tukeran.” Anak laki-laki bernama Tobias itu mendesah pasrah. Ia menyodorkan mainannya seraya berkata, “Ini, kita ganti-gantian, ya, mainnya.” Hana mengangguk girang. Tidak seperti di rumahnya, Hana bisa bebas bermain di dalam rumah Tobias. Terdapat kotak anyaman besar tempat Tobias menyimpan mainannya. Di lantai satu Tobias memiliki tenda kecil, mobil yang bisa dinaikki, dan sepeda. Bagai taman bermain Hana selalu ingin mendatangi rumah Tobias. Bahkan ia pernah berucap kepada ibunya bahwa ia ingin tinggal bersama Tobias, yang jelas permintaan itu ditolak. Untungnya, Tobias tidak pernah mempermasalahkan itu. Bahkan saat Hana mengambil salah satu mainannya sekalipun. *** Hari minggu pagi, hari di mana Tobias akan diajak jalan oleh ayahnya. Awalnya Hana sudah dilarang oleh orang tuanya untuk tidak ikut. Namun, bukan Hana namanya jika tidak mempunyai cara licik. Ia merayu Tobias untuk mengajaknya. Membuat Tobias pada akhirnya mengatakan langsung kepada ayah Hana untuk memperbolehkan anak perempuannya ikut. “Hana nggak minta apa-apa kok. Cuma mau ikut jalan,” kata Hana kepada ayahnya. “Awas, ya, kalo minta macem-macem ke Om Irwan.” Nasehat ayahnya yang selalu diberikan kepada Hana. Anak perempuan itu menggunakan baju selutut dengan celana bahan semata kaki. Ia berjalan bersisian dengan lelaki berbaju spiderman. Tangannya bergandengan dengan anak laki-laki itu. Salah satu pesan dari orang tuanya. “Jangan lari-larian! Jalannya deket Tobias, jangan jalan sendiri nanti hilang.” Sampailah mereka pada rak besar berisi berbagai bentuk mobil-mobilan. Hana memperhatikan dalam diam. Irwan menyodorkan dua mainan kepada anaknya. Tobias memilih mobil berwarna hitam. “Tobias juga suka warna merah,” kata Hana ketika Irwan hendak menyimpan kembali mainan berwarna merah. “Oh, gitu, Nak?” Irwan bertanya kepada Tobias. “Suka warna merah?” “Iya.” Tobias mengangguk. “Tapi beli satu ini aja.” “Nanti Tobias nyesel kalo beli satu.” Hana kembali nyeletuk. “Iya, bener kata Hana. Soalnya minggu depan Papa udah ke luar kota lagi. Nggak bisa ke toko mainan.” “Beli yang ini aja.” “Beli dua aja,” sanggah Hana. Irwan tersenyum, tangannya terjulur untuk mengelus pucuk rambut anaknya. “Papa beliin dua aja.” Hana di sampingnya tersenyum lebar. Kalau Tobias membeli dua ia bisa memainkan salah satunya, pikir Hana. Hana berjalan di antara rak mainan. Semua ditata rapi. Rak-rak tinggi itu membuat Hana harus mendongak untuk melihat bagian atasnya. Berbagai model boneka membuat Hana ngiler. Di sebelahnya rak berisi berbagai model kendaraan. Hana berdecak kagum. Membayangkan tangannya memegang salah satu mainan itu membuat mata Hana berbinar. Lalu matanya yang asyik mengabsen terhenti pada benda bulat berwarna kuning-biru. “Ve-o vo i-i i.” “Itu L,” koreksi Tobias. “Kayak i.” “El-i li. Voli,” ucap Tobias membantu Hana mengeja. Mulut Hana membulat. “Kayak yang dimainin ibu-ibu pas agustusan kemaren, ya.” Tobias mengangguk. “Ayo, pulang.” Tangannya menarik lengan Hana. “Beli itu, Bi. Hana mau.” “Beli aja sendiri.” Hana melepas pegangan tangannya. “Hana nggak punya uangnya.” Dengan wajah datarnya Tobias menatap lurus Hana. Perempuan itu menyuruhnya membeli bola. “Om Irwan!” Hana berseru. “Tobias mau beli bola voli.” Tobias tidak mengelak. Ia membuntuti Hana dari belakang. Sedangkan gadis itu sudah berlari menuju ayahnya. “Tobias suka voli?” tanya Irwan saat Tobias sudah berdiri di dekatnya. Tobias hanya mengangguk. “Bisa mainnya?” Kali ini ia menggelengkan kepala. Irwan terkekeh. “Nggak bisa, tapi mau beli. Ya, udah, nanti Papa yang ajarin.” Irwan lantas berjalan menuju keranjang bola. Mengambil salah satunya lalu membayarnya di kasir. Hana menepuk tangannya senang. Rencananya berhasil. “Nanti main bareng-bareng, ya, Bi.” Tobias mengangguk pelan. Memang seperti itu, ‘kan? Dia yang membeli, Hana yang memainkan. *** Hana duduk bersila di pinggir lapangan. Melihat Tobias di tengah lapangan yang sedang belajar voli dengan ayahnya. “Kaki yang kiri di depan, kanan di belakang.” Irwan memberi instruksi kepada Tobias. “Bolanya dipegang sama tangan kiri. Tangan kanan udah siap-siap mukul, ya.” Irwan mempraktikan cara menyervis bola bawah kepada anaknya. “Pukul!” titah Irwan. Bola berhasil dipukul Tobias. Irwan bertepuk tangan bangga. Di pinggir lapangan Hana berjingkrak-jingkrak girang. Ia sudah tidak sabar ingin mencoba juga. Ekor mata Irwan menangkap raut ketertarikan di wajah Hana. “Tobi main sama Hana sana. Papa mau masuk ke rumah dulu.” Tobias mendesah. Sedikit tak terima karena ia masih ingin bermain bersama ayahnya. Hana berlari mendekatinya. Tangannya menengadah, dua sudut bibirnya tertarik ke atas. “Mau coba.” Dengan berat hati Tobias memberikan bola barunya. “Emang bisa, sini Tobi ajarin.” “Enggak!” Tangan Hana menghadang tangan Tobias yang hendak meraih bolanya kembali. “Hana udah ngerti. Sekarang Tobi di sana tangkep bolanya.” Perasaan Tobias sudah tidak enak. Hana mendorong dirinya untuk berdiri agak menjauh. “Hana nggak gitu cara—!” Bug! Bola itu sukses mendarat di muka Tobias. Hana menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Tobi!” jerit Hana kemudian. Tobias menunduk. Hana memegang kedua bahu laki-laki itu sambil menggoyang-goyangkan. “Tobi, Hana minta maaf.” Hana sedikit menunduk untuk melihat ekspresi Tobias saat ini. Hana takut Tobias menangis. Laki-laki itu mengangkat wajahnya. Awalnya Hana merasa lega karena Tobias tidak menangis. Namun, matanya sukses membulat kala darah segar mengalir dari satu lubang hidung Tobias. “Darah!” Tobias mengusap hidungnya. Bercak merah mewarnai telunjuknya. Rasa takut menyelimuti Tobias. Tanpa bisa dihalau, anak itu menangis membuat Hana seketika panik. Ia menutup mulut Tobias rapat-rapat. “Jangan nangis, Tobias, nanti aku disalahin.” Ucapan Hana sukses membuat Tobias tambah menangis kejer. “Tobi, ih, jangan nangis, nanti aku dimarahin Ayah.” Cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata gadis itu. Tobias masih tidak berhenti menangis membuat Hana dengan rasa takut dimarahi ikut menangis. Tangisan kedua anak kecil itu berhasil membuat pembantu di rumah Tobias keluar rumah. Mendapati anak majikannya sudah mimisan membuat Bu Rumi segera menggendongnya. Hana terduduk lemas di tengah lapangan. Ia yakin bahwa setelah ini ia tidak akan boleh bermain dengan Tobias. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, kemungkinan negatif itu membuatnya terus terisak tanpa bisa berhenti. *** Irwan mengelus punggung Tobias menenangkan. “Nggak apa-apa jagoan Papa.” Bu Rumi tergopoh-gopoh menghampiri majikannya dengan membawa sekotak tisu. Irwan sedikit menundukkan kepala Tobias. Membuat gulungan tisu kecil untuk menyumbat lubang hidung Tobias yang mengeluarkan darah. Kemudian ia memencet pelan hidung anaknya selama sepuluh menit. “Coba Papa lihat.” Tobias mendongak. Sudah tidak ada darah yang mengalir di hidungnya. Irwan mengembuskan napas lega. “Masih kerasa sakit?” Tobias menggelengkan kepalanya. “Kalau ada sakit bilang, ya?” “Iya,” cicit Tobias. Irwan menyapu sekelilingnya. Menyadari ketidakhadiran seseorang. “Hana udah pulang?” Bu Rumi terkesiap, teringat bahwa anak perempuan itu tadi menangis di tengah lapangan. “Kayaknya masih di lapangan, deh, Pak.” “Lho, bawa masuk kalo gitu,” perintah Irwan yang diiyakan oleh Bu Rumi. Tobias masih di pangkuang Irwan. Tampak enggan beranjak dari duduknya. “Nggak mau samperin Hana?” Tobias bergeleng lemah. “Dia nangis, tuh, ketakutan kamu kenapa-napa. Samperin sana.” Tobias terdiam. Irwan mendudukkan anak lelakinya di sofa. “Papa ke ruang kerja dulu, ya.” Kemudian Irwan meninggalkan Tobias sendiri di ruang keluarga. Di balik tembok, kepala Hana menyembul. Kata Bu Rumi, Tobias sudah tidak apa-apa, membuat Hana penasaran. Ia mengintip, tidak berani menghampiri Tobias. Takut-takut kalau Tobias balas memukulnya hingga berdarah. Dari kaca ruang keluarga, Tobias dapat melihat pantulan bayangan Hana. Ia memilinkan jemarinya. Ragu memutuskan sikapnya. Apa ia harus marah atau langsung memaafkan. “Hana minta maaf!” Suara Hana terdengar. “Hana pulang dulu, ya. Kalo kita masih temenan besok samperin Hana main, ya.” Hana memilin ujung bajunya. Ia takut kalau besok Tobias tidak mendatanginya. “Hana!” Tobias memanggil namanya. Ia membalikkan badannya pelan. Harap-harap cemas semoga Tobias tidak memarahinya. “Ayo, main lagi. Tapi, Tobi ajarin dulu caranya.” Raut mengerut Hana seketika menjadi cerah. Sepasang senyum terbit di wajahnya. Tobias memaafkannya. “Ayo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD