10. Alasannya Bukan Aku

1234 Words
“Sekian pelajaran kita untuk hari ini. Sampai jumpa di pertemuan akan datang.” Ketua kelas memberi aba-aba untuk mengucapkan salam. Semua murid berdiri mengikuti instruksi. Setelah guru mereka keluar, para murid sibuk dengan urusan masing-masing. Tobias merapikan peralatan tulisnya ke dalam tas. Usai menutup ritsleting tasnya, ia mencangkelkannya ke bahu. Sekilas melirik ke arah Hana sebelum akhirnya ia keluar kelas. Tidak banyak peralatan tulis yang Hana rapikan. Hanya buku satu dan pulpen satu. “Minggir,” kata Hana kepada Gani yang tengah merebahkan sebagian tubuhnya ke atas meja. “Sabar.” Gani cepat beranjak tidak ingin kena tabrak Hana. Tobias menyandarkan punggungnya di dinding luar kelas. Dengan satu tangan ia masukkan ke dalam saku, lelaki itu menunggu kehadiran perempuan berambut sebahu. Hana yang tidak menyadari kehadiran Tobias cuek saja melengos. Lelaki itu menarik ujung ransel Hana. Membuat Hana sedikit terhuyung ke belakang. Tubuhnya menabrak d**a Tobias. “Anjir!” Alisnya bertaut kesal. “Ngapain, sih?” Ia menegakkan tubuhnya dan berbalik. Wajahnya mendongak menyorotkan aura permusuhan. Tobias memandang datar Hana. “Gue ada latihan voli, dan lupa bawa bola. Bola gue masih ada di lo, ‘kan?” “Gue nggak ada ngambil bola lo!” sanggah Hana. “Wah, bener-bener nggak beres.” Hana bergeleng-geleng sambil mengurut keningnya. “Bola yang gue beli pertama kali. Waktu itu, ‘kan, lo bawa pulang.” Mata Hana sukses membulat. Tidak menyangka Tobias akan mengungkit kejadian dua belas tahun yang lalu. “Seriusan? Lo nagih bola yang pas kita umur lima tahun?” “Waktu itu lo bilangnya minjem, tapi belum dibalikin sampe sekarang.” Hana tergelak, rautnya berubah jenaka. “Lo mau ngelawak, ya? Lucu kok, lucu.” Tangannya menepuk bahu Tobias singkat. “Udah hilang?” Mata Tobias tertuju pada tangan Hana di bahunya. “Apa?” Lalu pandangannya beralih pada mata bulat perempuan itu. “Bolanya.” “Lo, seriusan nagih?” “Keliatannya cuma bercanda, ya?” Hana terdiam. Memperhatikan raut wajah Tobias yang masih datar. “Oke. Udah hilang.” “Gantiin.” Tangan Hana refleks terangkat untuk menjitak Tobias. Lelaki itu sudah tahu arah gerakan Hana langsung menangkap tangan kecil itu. “Kalo nggak bisa gantiin langsung lo bisa nyicil.” “Nggak mau,” tukas Hana. Dengan kasar ia menarik tangannya. Tobias mengendikan bahunya. “Terserah, sih, gue bisa minta langsung ke bokap lo.” “Ngancem?” Emosi Hana tersulut. Ia berjinjit untuk menyamakan wajahnya dengan wajah Tobias. “Silakan, emang gue takut—“ Telunjuk Tobias mendarat pada dahi Hana. Seperti ada tombol on off Hana langsung terdiam. Sedikit mendorong wajah Hana ke belakang sembari berkata, “Nggak bisa ngelunasin sekarang nggak apa-apa. Mungkin lo bisa melakukan yang lain buat gantinya.” Tobias melewati tubuh Hana. “Bawa bola yang ada di kamar gue ke sini dalam waktu.” Tobias melirik jam tangannya. “Setengah jam.” Baru saja Hana hendak menolak, tangan kanan Tobias melambai. “Atau lo mau gue bilang ke bokap lo.” Hana memaki lelaki itu dalam hati. Baru kali ini Tobias berani mengancamnya. Ia melirik jam tangannya. Hana berdecak lalu berteriak. “Mana cukup anjir, Tobias!” *** Pak Trisno mengerutkan dahinya kala seorang anak perempuan berlari masuk tanpa salam sapa. Ia menyipit untuk melihat pelaku yang menyelonong masuk ke rumah majikannya. Rambu pendek bergelombang dengan tubuh mungil bertinggi 155 cm. “Hati-hati Mba Hana!” seru Pak Trisno saat mengetahui pelaku itu adalah Hana. Melewati ruang tamu, Hana melihat Bu Rumi tengah menyapu. “Kamar Tobi dikunci nggak, Bu?” Bu Rumi mengangguk. “Kalau ada perlu bisa ambil kunci cadangan di laci di dapur.” Tanpa mendengar penjelasan lebih, Hana langsung berlalu ke arah dapur. Ada banyak kunci dengan bentuk yang hampir sama di dalam satu laci. “Kuncinya yang mana, Bu?” teriak Hana. Bu Rumi menghampiri, mengambil alih laci yang ada di hadapan Hana. Setelah ketemu, kunci itu ia tunjuk ke depan wajah Hana. “Tadi Bu Rum belum selesai main asal lari aja.” Hana terkekeh, dengan pelan ia mengambil kunci itu. “Mianhe.” Kemudian Hana kembali berlari ke kamar Tobias. Sudah lebih dari setengah jam, waktu yang ditentukan Tobias. Perempuan itu menggerutu. “Bodo amat terlambat. Siapa suruh nggak mikir, dikira gue bisa terbang.” Matanya dengan mudah menemukan bola kesayangan Tobias. Teringat masa di mana ia dulu menyuruh Tobias membeli bola itu. “Tobi, kita tukeran mainan, yuk. Aku ambil bola, kamu ambil boneka aku.” Saat itu Hana sebenarnya tahu kalau Tobias menolak. Namun, ucapan lelaki itu lain. Walau sorot wajahnya tidak terima, tetapi ucapannya mengiyakan permintaan Hana. Ada rasa tidak enak dalam hati Hana, tetapi melihat barang yang ia inginkan berada di tangannya membuat Hana menepis perasaan tidak enak itu. Lagipula Tobias anak orang kaya. Sewaktu-waktu ia bisa meminta dibelikan itu lagi oleh ayahnya. Entah, sikap seperti itu dapat ia lakukan sekarang ini atau tidak. Tobias sudah berbeda. *** Bum! Bunyi debuman keras hingga decitan yang berasal dari gesekan sepatu dan lantai menyapa pendengaran Hana. Lehernya terjulur untuk mencari sang pemberi titah. “Nyari siapa, Dek?” Seorang perempuan berbaju olahraga menghampirinya. Hana pikir ia dapat menitipkannya pada siswi itu. “Ini teman saya ikut latihan, tapi nggak bawa bola.” Hana menyodorkan bola di tangannya. “Ini saya bawain.” Perempuan itu melipat bibirnya ke dalam seperti menahan tawa. “Di sini udah disediain bola. Nggak perlu bawa dari rumah.” Ia menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan sekeranjang besar yang berisi bola. Hana tertawa getir, dia dibodohi oleh Tobias. Dalam hati ia bertekad untuk membalas Tobias. Awalnya, Hana mau langsung pergi saja dengan melempar bola kesayangan Tobias ke dalam sampah. Namun, ketika sebuah bola hampir mendarat di wajahnya, Hana terkesiap. Untungnya, ada siswa bertinggi sekitar 165 cm menghalau bola itu. Hana tak berkedip, bahkan ia menahan napas. Gadis itu tersadar saat sebuah tepukan mendarat di bahunya. “Lo ngapain di sini? Udah siap kena hajar bola?” Hana tergagap, matanya berkedip-kedip. Dia masih selamat. Tubuhnya tidak ada yang sakit. Tobias menyentil dahinya. Membuat Hana tersentak. “Aw!” Hana memukul lengan Tobias. “Lo bohongin gue, ya! Itu bola udah banyak ngapain lo nyuruh gue lari-larian ke rumah lo.” Tobias meringis, tangannya terangkat untuk mengusap bekas pukulan Hana. “Tumben lo nurutin mau gue,” ucap Tobias. Hana kesal ia melempar asal bola Tobias ke atas. Lelaki itu loncat, dengan satu gerakan ia berhasil menangkap bola yang dilempar Hana. “Untung lo ditolongin Kak Farhan.” Oh, nama lelaki yang menolongnya tadi Farhan. “Dia libero yang waktu itu kita tonton pas SMP.” Pandangan Tobias terlempar ke dalam lapangan. Melihat teman-temannya tengah latihan servis membuat senyumnya sedikit terangkat. Hanya sedikit, tetapi mampu menjelaskan kepada Hana bahwa kini lelaki itu sedang senang. “Dari awal gue nyuruh lo masuk tim voli. Kenapa baru sekarang masuknya?” dumel Hana. Tobias berdehem dengan mata yang masih memandang lurus, ia berkata, “Karena ada sesuatu yang mengharuskan gue ke sini saat ini.” Jantung Hana sedikit berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Sesuatu? Apa? Apa ada hubungannya dengan perubahan lelaki itu? Yang jelas bukan Hana alasannya. Karena kalau Hana alasannya seharusnya Tobias masuk tim voli dari awal perempuan itu menyarankan. “Han, lo mau dikenalin sama Kak Radit?” Dagu Tobias menunjuk laki-laki bertubuh tinggi. Hana menyipit ke arah Tobias menunjuk, middle blocker yang ia lihat saat itu. Lalu pandangan Hana beralih kepada Tobias. ‘Apa yang terjadi sama lo, Tobi?’ batin Hana bertanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD