30. Yang Datang

1028 Words
Selama ini ia tidak pernah merasa terganggu oleh apa pun. Justru sebaliknya, orang sekelilingnya lah yang merasa terganggu olehnya. Namun, saat ini. Untuk pertama kalinya suara langkah kaki di belakangnya sangat mengganggu indra pendengarannya. Ayunan kaki cewek itu berhenti mendadak. Tangannya mengepal untuk menahan agar jin di dalam dirinya tidak keluar. "Lo ngapain ngikutin gue," geramnya tertahan. Rabian, cowok yang sedari tadi mengintil di belakang Hana itu hanya mengangkat bahunya singkat. "Gue kan anak baru di sekolah ini." Cowok itu berdehem sambil menaruh kedua tangannya di dalam saku. "Lo tau kan sekolah ini luas banget." Rabian menggeser dirinya untuk berdiri di depan cewek itu. "Kalau nih gue asal jalan aja tanpa didampingi orang yang udah hapal sama sekolah ini. Gue bisa tersesat." Cowok itu menundukkan wajahnya agar sejajar dengan Hana. "Lo nggak kasian sama gue?" Perempuan berambut gelombang itu bergidik. Ia mendorong pipi Rabian ke samping dengan jarinya. "Gue nggak peduli." "Oke, oke." Rabian tidak mau menyerah. "Anterin gue sampe kelas aja. Abis tuh lo terserah mau ke mana. Gue nggak akan ngikutin." Suara helaan napas kasar terdengar oleh telinga Rabian. Membuat cowok itu mengulum senyumnya. "Awas lo ngikutin gue lagi," ancam Hana. Hana memutuskan untuk mengantar Rabian ke kelas sebelum ia menuju tujuannya. "Tuh ada tulisan gede sebelas IPA F. Jangan bilang lo nggak bisa baca." Telunjuk Hana mengarah ke ruangan yang berada di ujung lorong. "Lo mau ke mana?" tanya Rabian. Senyum Hana mengembang. "Bukan urusan lo." Tangannya mengibas seperti mengusir. "Huss sana huss pait pait pait. Sesuai janji. Lo nggak akan ngikutin gue lagi." Kemudian ia berjalan mundur sambil memantau Rabian agar tidak mengikutinya lagi. *** Untung saja Rabian tidak mengikutinya. Hana jadi bisa leluasa melihat Tobias di ruang olahraga. Ternyata benar kata teman-temannya kalau anak voli itu jiwa ambisiusnya tinggi. Tobias yang tidak pernah ia lihat latihan sekeras ini pun sudah menjadi buktinya. Keringat sudah membasahi seragam cowok itu. "Tobias!" Hana meneriaki. Membuat lelaki yang dipanggil namanya itu menoleh. "Minum dulu." Tangan Hana mengangkat botol minum tinggi-tinggi. Meskipun Hana mengangkat tangannya. Tobias tetap bisa mengambil botol itu. "Ngapain ke sini." Hana memiringkan wajahnya untuk melihat ekspresi cowok itu. "Ketus banget nadanya." Tobias hanya mengacuhkan Hana sambil menegak minumannya. "Gue cari lo di mana-mana nggak ada. Jadi gue tebak lo di sini." Lelaki itu mengangguk kecil. "Gimana udah bilang ke bokap lo buat malam minggu?" Kepala Hana bergeleng. "Belum. Belum sempet ngomong karena Ayah pulang malam banget." "Oh." Hana menatap wajah Tobias yang sudah dipenuhi dengan keringat itu. "Kenapa?" tanya Tobias karena risih dilihat terus oleh Hana. "Kalau mau ngomong, ya ngomong aja sih." "Anu emm itu." Hana menggaruk tengkuknya. "Lo nggak ada niat duduk bareng gue lagi?" tanyanya dengan nada hati-hati. "Kenapa emangnya?" Cewek itu menundukkan wajah untuk melihat ujung kakinya. "Ya, gue risih aja duduk sama orang yang nggak dikenal." Tobias paham maksud Hana. Alis Tobias terangkat satu. "Bukannya udah kenal? Gue tadi liat kalian udah makan di kantin bareng." Wajah perempuan itu terangkat. Matanya menyipit tajam ke arah Tobias. "Itu dia yang nyamperin, gue nggak deket sama dia." Melihat Tobias yang hanya mengendikkan bahunya membuat Hana mengacak rambutnya frustrasi. "Ck. Bukan itu maksudnya." "Gani ke mana emangnya?" Decakan lolos dari mulut Hana. "Alesannya sih sakit." "Berarti besok masuk tunggu aja," kata Tobias sambil menutup botol minumannya. Hana melihat jam di pergelangan tangannya. "Sepuluh menit lagi masuk." Hana berdiri di atas kursi. Meraih wajah cowok itu untuk mengelap keringatnya. "Lo nggak bawa baju ganti, ya? Pak Roy bisa marah kalau lo masuk basah kuyup gini." Hana terus mengoceh sambil mengelap keringat Tobias sampai ke lehernya. Tobias terdiam melihat ekspresi wajah Hana yang tampak serius mengelapnya. "Gue tau kalian mau tanding, tapi nggak usah sampe segininya juga kali. Udah kayak orang mandi lo—" ucapan Hana terpotong karena cowok itu mendekat. Lalu melingkarkan tangannya di pinggang cewek itu. Hana terkesiap karena tindakan tiba-tiba lelaki itu. Jantungnya seketika berdegup kencang karena wajah Tobias sangat dekat dengannya. Genggaman tangannya pada handuk kecil mengendur. Membuat handuk itu terjatuh. Dengan sekali hentakan, Tobias menurunkan tubuh Hana dari kursi itu. "Ayo masuk kelas. Ngapain naik-naik kursi sih," kata Tobias sambil berlalu melewati tubuh yang tengah membeku itu. "Woy!" seru Tobias dari ambang pintu. "Cepet sebentar lagi masuk." Hana tersadar dari lamunannya. "Eh, iya tungguin." *** "Wajah lo kenapa." Hana menahan tangan Rabian yang hendak menyentuh pipinya. "Apa?" Matanya membulat kaget. "Lo demam." Tangan Rabian yang lain berhasil menyentuh dahi Hana. "Enggak panas sih. Tapi muka lo kok bisa merah gitu." Hana mendelik sambil mengempaskan tangan besar itu dari wajahnya. "Nggak usah nyentuh-nyentuh wajah gue. Sekinker gue mahal." Tawa kecil lolos dari mulut lelaki itu. "Sinting nih orang," gumam Hana sambil memutar wajahnya ke papan tulis. "Han," Rabian berbisik. "Gurunya yang ini galak nggak? Gue mau tidur." "Tidur aja. Paling lo di suruh keluar kelas." Hana tersenyum. "Terus nggak ada yang gangguin gue lagi." "Ah, ya udah gue melek deh." Rabian menepuk pipinya agar kembali segar. Cewek di sampingnya hanya berdecih. Pak Roy di depan kelas sedang menjelaskan materi trigonometri. Kebiasaan guru itu adalah menulis asal di papan tulis. Muridnya harus mempunyai fokus yang ekstra untuk melihat urutan mana saja yang guru itu tulis. Dulu saat pertama kali masuk kelas Pak Roy, Hana sempat tidak memedulikan guru itu ketika tengah memberikan catatan rumus di papan tulis. Namun, yang terjadi adalah guru itu meminta buku catatannya untuk diperiksa. Dari situlah murid-murid yang lain tidak ada yang berani melepas pandangan mereka pada papan tulis ketika Pak Roy tengah menjelaskan. "Anjirlah nulis rumus sin di pojok kanan atas. Sekarang menclok di pojok kiri bawah." Hana dapat mendapat gerutuan teman-temannya di bangku belakang. Cewek itu kini tengah berusaha memfokuskan dirinya pada apa yang ditulis dan diucapkan oleh Pak Roy. Namun, konsentrasi Hana terpecah saat sebuah kepala jatuh di bahunya. "Sialan," maki Hana berbisik. Tangannya mendorong kepala Rabian menjauh. Membuat cowok itu terbangun karena terkejut. "Lo kalau mau tidur ke kamar sana. Ngapain di sini," omel Hana pelan. "Emang di sini ada kamar?" tanya Rabian sok polos. Tanpa mau meladeni Rabian, Hana kembali melayangkan pandangannya ke papan tulis. Namun, sialnya ia jadi ketinggalan dan tidak tahu urutan mana saja yang harus ia tulis dari papan tulis. "Sudah disalin di buku anak-anak?" tanya Pak Roy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD