29. Pertemuan yang tak diinginkan

1073 Words
"Kayaknya kalian sudah pada tahu, ya, kalau hari ini kita kedatangan murid baru dari Galena Terbuka." Beberapa murid sudah saling melirik dan berbisik. "Ayo. Silakan masuk." Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dengan menggunakan seragam yang berbeda memasuki kelas mereka. Mereka melemparkan tatapan yang berbeda. Ada yang melihatnya penasaran, tatapan suka, bahkan ada yang merasa aneh karena melihat tampilan lelaki itu yang sedikit berantakan. Sedangkan Hana, cewek itu membeku untuk beberapa detik. "Hai, teman-teman. Perkenalkan nama gue Rabian Andreas. Bisa dipanggil Rabian. Semoga kita bisa menjadi teman sekelas yang solid, ya. Mohon bantuannya." Rabian tersenyum dan membungkuk sedikit. Sial, cowok itu! Yang menendangnya kemarin! Hana buru memajukan rambut-rambutnya ke depan. Sedikit menunduk agar wajahnya tak dikenali Rabian. Perempuan itu tidak menyangka bahwa ia akan sekelas sama orang yang ingin sekali ia hindari. Hana merasakan mejanya bergeser. Dari balik helaian rambutnya Hana bisa melihat kedatangan seseorang dan duduk di sebelahnya. Cewek itu mendongak. Matanya membeliak mendapati Rabian sudah duduk di sampingnya. "Lo i-ini kursi temen gue." Tangan Hana menarik ujung kursi yang di tempati Gani. "Tapi kursi ini kosong," kata Rabian melepas tangan Hana yang menancap pada kursinya. "Ya temen gue nggak masuk hari ini." Hana kembali memegang kursi itu. Satu tangannya mendorong bahu Rabian agar berdiri. "Ya udah." Rabian kembali melepas tangan Hana di bahu dan kursinya. "Berarti gue di sini dulu." "Siapa yang nyuruh lo di sini." "Bu Rahma." Hana menelan salivanya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Sekarang lo pindah ini kursi temen gue." Rabian bergeleng. "Gue mau di sini. Kalau di belakang gue nggak keliatan papan tulis." Rabian membuka tasnya. Kemudian mengeluarkan buku dan tempat pensil untuk ditata di atas meja. Melihat sikap Rabian yang seenaknya, membuat kepala Hana mendidih. "Lo, pindah dari sini!" geram Hana. "Hana Lovira," tegur Bu Rahma. "Kamu mau ganggu jam pelajaran saya?" "E-enggak, Bu." Hana menundukkan wajahnya. "Kalau tidak bisa tenang silakan keluar." "Maaf, Bu. Ibu bisa lanjut. Saya nggak akan berisik." Melihat kondisi kelasnya sudah tenang, Rahma pun melanjutkan pembelajarannya. "Halo teman baru," bisik Rabian di telinga Hana. Membuat cewek itu setengah mati menahan diri untuk tidak menggebuknya. *** Jam pelajaran pertama sudah selesai. Setelah Bu Rahma keluar kelas, Hana baru bisa bernapas lega. "Sekarang lo pindah—" Kalimat Hana menggantung. Cowok di sebelahnya tengah tertidur di atas meja. Ide jail pun Hana dapatkan. Ia berencana tidak akan membangunkan cowok itu sampai Pak Iqbal datang. Kebetulan jam pelajaran kedua nanti mata pelajaran fisika. "Selamat siang semuanya." Pak Iqbal datang dengan satu buku di tangannya. Seperti biasa. Karena baru datang, Pak Iqbal belum sempat melihat ke arah Hana. Hana berencana akan memberitahunya saat Pak Iqbal mulai mengajar. Kalau sampai Pak Iqbal tahu ada murid yang tidur di kelasnya. Hana sudah tersenyum lebar membayangkannya. "Pak!" Cewek itu mengangkat tangannya. Ia mulai beraksi. "Orang di sebelah saya tidur. Dari tadi saya bangunin, tapi dia nggak bangun, Pak." Pak Iqbal menurunkan kacamatanya. Senyum Hana sedikit mengembang. Rencananya hampir berhasil. "Itu siapa?" "Rabian, Pak. Anak baru dari Galena Terbuka," jawab Hana. Pak Iqbal melangkahkan kakinya menuju meja perempuan itu. Ia mengetuk meja yang ditempati Rabian cukup keras. Membuat cowok yang tengah menelungkupkan wajahnya itu terlonjak. "Kamu kalau mau tidur di kamar, bukan di kelas saya." Dengan mata merah, Rabian menyapukan sekelilingnya yang tengah menatapnya. "Sekarang kerjakan tugas yang saya berikan di papan." "Dikerjain di buku, Pak?" "Di papan tulis! Maju sana." Hana hampir tertawa geli kalau saja ia tak menahannya dengan merapatkan bibir. Setelah ini Rabian akan disuruh berdiri di depan kelas atau disuruh pindah tempat duduk. "Sudah, Pak." Kening Hana mengerut. Tidak pernah ada murid yang bisa mengerjakan soal Pak Iqbal secepat itu. Lalu netra Hana tertuju pada Tobias. "Bahkan Tobias nggak pernah secepet ini." "Haha paling ngasal." Hal yang tidak Rabian tahu, kalau Pak Iqbal paling tidak suka murid yang mengerjakan soalnya asal-asalan. "Oke, benar. Kamu boleh duduk. Tapi kalau kedapatan tidur lagi. Kamu saya beri hukuman." Sontak teman-teman sekelasnya pada berbisik takjub. Hana mengerjapkan kelopak matanya. Udah? Cuma kayak gitu? Nggak ada hukuman? Rabian kembali duduk di samping Hana. "Itu guru killer di sini, ya? Tatapannya galak banget," komentar Rabian. Hana menggeser duduknya dan memalingkan wajahnya dari Rabian. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Saat ini yang ia harap hanyalah, Rabian tidak mengenali dirinya. *** "Temen lo kenapa nggak masuk?" Rabian bertanya sambil memiringkan wajahnya untuk melihat Hana. Sedangkan cewek itu makin menjauhkan mukanya. "Nggak tau. Pokoknya besok lo harus udah pindah." Rabian mengangguk kecil. "Nama lo siapa?" Hana tidak menjawab membuat Rabian akhirnya membaca pada nametag milik Hana. "Hana Lovira." Hana reflek menutup dadanya. "Ngapain lo." "Gue manggilnya Love atau Han?" Dasar cowok buaya! Hana tidak menanggapi. Usai menyalakan ponselnya yang ia matikan. Hana beranjak dari duduknya. "Eh, lo mau ke mana? Gue mau ke kantin tapi nggak tau letaknya," ujar Rabian sambil menyejajarkan langkahnya dengan Hana. Hana terkekeh sinis. "Nggak tau, bukannya lo kemaren abis muterin ini sekolah." "Kok lo tau?" Langkah kaki Hana berhenti mendadak. Sialan. Dia keceplosan. Ia menggeram kesal. Tangannya mengepal kemudian berbalik menghadap Rabian. "Lo bisa nggak, nggak usah ikutin gue. Tanya kek ke orang lain kalo lo mau ke kantin. Di kelas kita ada tiga puluh dua murid. Di sekolah ini ada lima ratusan lebih. Lo tanya aja mereka." "Tapi gue kan temen sebangku lo." "Siapa juga yang mau sebangku sama lo!" sulut Hana kemudian berbalik pergi. Berjalan cepat berharap Rabian tidak mengikutinya lagi. Di kantin, Hana langsung mengambil nampan dan masuk ke antrean. Bola hitamnya bergerak mencari kehadiran seseorang yang bahkan belum bertegur sapa dengannya hari ini. Namun, bukannya orang itu yang kembali tertangkap matanya justru cowok berambut acak-acakan yang kini melambai ke arahnya. Hana meringis. "Gila, kenapa dia nongol lagi sih." Setelah mengambil makan siangnya Hana menunduk dan mencari tempat duduk terpojok. Berharap cowok bernama Rabian itu tidak mengikutinya. "Lo jauh juga ngambil tempat duduknya." Hana yang baru ingin menyuap makanannya membeliak. "Lo lagi." Hana menahan dirinya untuk tidak berteriak. "Ngapain lo ngikutin gue!" "Gue nggak kenal siapa-siapa di sini. Kebetulan ada lo. Terus ini kursinya juga nggak ada yang nempatin." Hana menghirup udara di sekitarnya dengan rakus lalu mengembuskannya. Oke, dia akan membiarkan cowok itu duduk di depannya. Setidaknya sampai detik ini cowok itu belum mengenalinya. Hana kembali menyuap makanannya. Yang ia perlu lakukan saat ini hanyalah mengacuhkan kehadiran cowok itu. "Oh, iya, lo kemaren belum terima kasih ke gue. Gue udah nemuin kunci motor yang lo cari." Rabian terkekeh geli. "Maaf juga ya udah buat lo nyungsruk kemaren. Lo sampe sebegini keselnya sama gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD