23. Kekesalan tak Beralasan

1033 Words
Perempuan bermata monolid itu terus mengintip rumah di depannya melalui jendela kamar. Menunggu anak dari pemilik rumah pulang. Terhitung ini sudah yang ke dua puluh satu kalinya ia melongok dari balik gorden. "Halo, Ma." Akhirnya ia tak tahan juga. "Kita jadi makan malam sama keluarga Tobias, kan?" "Jadi, sayang. Emangnya kenapa?" Gadis itu bergeleng, walaupun orang di seberang sana tidak bisa melihatnya. "Nggak, Ma. Cuma mastiin aja. Tobias nggak akan lupa, kan, kalau ada undangan dari kita?" "Mana Mama tau. Pokoknya Om Irwan udah jawab iya, berarti acara makan malam bersama kita jadi." Viola, perempuan yang kini terlihat gelisah itu hanya mengangguk kecil sambil menggigit bibir bawahnya. "Kalau kamu penasaran. Coba ke rumah Tobias aja. Sekalian ingetin dia. Tapi Mama yakin Tobias nggak lupa." Ide mamanya benar juga. Sebuah senyum tercetak di wajahnya. "Oh, iya, Ma. Viola nanti ke rumah Tobias. Siapa tau dia lupa." Viola mengerjapkan matanya. Nadanya terdengar sangat bersemangat. "Eungh ... arghh, padahal Vio mau rebahan di rumah. Tapi Mama nyuruh ke rumah Tobias apa boleh buat. Oke, Ma, Vio akan lakuin perintah Mama." "He? Gimana maksudnya? Mama nggak ada nyu—" "Udah dulu, ya, Ma. Mama semangat kerjanya. Love you." Viola buru mematikan sambungan telepon itu. Kakinya melangkah lebar menuju meja rias. Mengambil sebuah sisir untuk merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. "Mau ketemu tetangga harus rapih. Nggak ada maksud apa-apa kok," katanya sambil menaruh kembali sisir itu. *** "Turun." Pelukan di perut Tobias terasa semakin kencang. "Nggak mau." Lelaki itu dapat merasakan gelengan cepat Hana di punggungnya. "Gue, kan, bilang mau main ke rumah lo. Ngapain lo bawa gue pulang." Saat ini mereka berdua sudah berada di depan rumah Hana. Namun, sedari tadi lebih tepatnya kurang lebih sepuluh menit yang lalu Hana tidak kunjung turun dari jok belakang motor Tobias. "Gue teriakin ibu lo kalo lo masih nggak mau turun juga." Hana tersenyum di punggung lelaki itu. "Coba aja teriak." Perempuan itu tahu bahwa Tobias tidak akan melakukan sesuatu yang akan memalukan dirinya sendiri. "Han, lo mau ngapain sih ke rumah gue." "Numpang wifi, bantu ngurangin beban kulkas lo juga. Gue tau buah-buahan di kulkas lo belum habis, bentar lagi kan tanggal muda, Bi. Kasian Bu Rumi nanti dia mau belanja bulanan pasti kesusahan karena kulkasnya masih penuh." Tobias berdecak kesal. Ia kembali berusaha melepaskan tautan tangan Hana yang melingkar di perutnya. Cewek itu jelas tidak mau kalah. Dengan sekuat tenaga ia memperkuat tautannya. "Bi, ish, nggak mau!" Karena Tobias makin keras melepasnya, Hana pun makin merapatkan tubuhnya kepada Tobias. Cowok itu tersentak merasakan dua buah benda asing menempel pada punggungnya erat. Jantungnya berdegup lebih cepat, tubuhnya bagaikan tersengat sesuatu. Dengan susah payah ia menelan salivanya. "Ha-Hana, le-lepasin." Bahkan untuk berbicara pun ia gugup. "Nggak!" "I-iya ke rumah gue tapi lepas!" sentak Tobias. Dia harus bisa mengontrol tubuh dan pikirannya agar tetap waras. Di balik punggung lelaki itu, Hana mengangkat satu alisnya. "Janji?" "I-iya janji. Tapi cepetan lepas!" "Nah, gitu dong." Hana pun mengangsurkan pelukannya. Sial, Hana hampir membuatnya kehilangan kewarasan. Padahal perempuan itu sering melakukan itu juga. Namun, ia baru merasakan keanehan itu sekarang. Tampaknya Tobias baru menyadari bahwa mereka sudah bukan lagi anak kecil. "Itu Viola bukan?" Pertanyaan Hana membuyarkan pergulatan batin Tobias. Cowok itu menyipitkan matanya untuk melihat objek yang ditunjuk cewek di belakangnya ini. Motor Tobias berhenti tepat di depan perempuan berambut lurus itu. "Viola? Ada apa?" Perempuan itu terdiam. Melihat bergantian Tobias dan Hana seperti orang kebingungan. "Vio ...," panggil Hana. "Kalian mau belajar bareng lagi?" "Eungh? Bu-bukan, itu euh apa sih namanya." Viola tiba-tiba kehilangan kata-katanya. "Anu apa? Anunya siapa?" jawab Hana. "Bu-bukan anu yang anu. Duh, tapi anu gitu—" "Hah? Gimana maksudnya?" Tobias memotong ucapan Viola. Pikirannya jadi ikutan nge-blank karena kalimat ambigu Viola. "Eh, coba pelan-pelan. Tarik napas, keluari," ucap Hana memberi instruksi. "Sekarang, lo ngapain ke sini?" Viola mengikuti saran Hana, menarik dan mengeluarkan napasnya perlahan. "Aku mau ngingetin itu ke Tobias buat nanti malam. Ah, makan malam keluarga." Kerutan di dahi Tobias perlahan menghilang. "Oh, itu! Iya, nanti gue dateng." Sekarang gantian, Hana yang mengerutkan keningnya. Makan malam keluarga? "Iya, kalau gitu aku pamit dulu ya, bye Hana," kata Viola melambaikan tangannya kepada Hana. "Hehe, bye juga!" Hana membalas lambaian tangan Viola. Usai menyelesaikan percakapan yang 'ruwet padahal aslinya tidak' itu, Tobias mengendarai motornya masuk ke dalam pagar rumahnya. "Bukannya nunggu di sini," celetuk Tobias menunjuk teras rumahnya. Daripada memikirkan posisi menunggu Viola yang tepat. Pikiran Hana terfokus dengan kata makan malam bersama yang dilontarkan Viola. "Lo nanti mau ada acara sama keluarga Viola?" Tobias membuka helmnya dan masuk ke dalam rumah diikuti oleh Hana. "Bukan gue. Keluarga gue." "Ya lo juga kan?" "Namanya juga keluarga gue diundang ya jelas gue ikutlah. Kan gue termasuk keluarga ini juga," balas Tobias sambil menginjakkan kaki menuju lantai dua. Hana berdecih. "Sama Thom—" Kalimat Hana menggantung di udara. Dia tidak boleh mengucapkan nama terlarang itu, karena dirinya dan Tobias baru berbaikan. Tobias membuka pintu kamarnya. Tapi, dirinya malah melengos ke arah ruangan lain. "Lo mau ke mana?" "Mau nyari sesuatu. Lo masuk duluan aja sana." Hana mencebik, sambil berlalu masuk. Melempar tasnya asal kemudian menerjunkan dirinya ke atas kasur besar milik Tobias. Perempuan itu mengeluarkan ponselnya. Memposisikan diri tengkurep sambil menumpukan dagunya di atas bantal. Tobias masuk dengan menenteng setelan jas hitam dan sepatu pantofel senada. Membuat fokus Hana tertarik ke arahnya. "Lo pake itu? Serapih itu? Ke rumah depan doang?" Tobias menaruh jas dan sepatunya di atas meja. "Acaranya formal dikit. Lagian ini gue disuruh bokap." "Tetep aja lebay banget," komentar Hana. "Sana protes ke Pak Irwan," balas Tobias sebelum ia menghilang di balik pintu kamar mandi. Hana berdecih, Tobias tidak pernah serapi itu kalau makan malam dengan keluarganya. Hanya memakai kemeja flanel dan celana bahan. Kadang hanya menggunakan kaus biasa dan celana levis itu pun kalau dia mau. Kadang dia ogah ikut acara makan malam seperti itu. Aneh, Hana merasa kesal hanya karena gaya berpakaian Tobias. Sepertinya jadwal bulanannya semakin dekat, pikirnya. Untuk mengalihkan kekesalannya, Hana memilih membuka aplikasi menonton berwarna merah. Mencari film bergenre comedy untuk dirinya yang butuh tertawa. "Ah, iya, gue lupa bawa buahnya dari bawah." Genre komedi dibarengi dengan memakan buah, perpaduan yang membuat hati Hana merasakan kesenangan itu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD