Aku selalu bermimpi bisa memiliki kehidupan yang bahagia dengan suamiku kelak, namun lagi dan lagi Tuhan menyadarkan kodratku sebagai manusia
~Damta Karvantara~
Romeo menatap datar kepada sepasang suami istri yang sudah berumur itu, yang merupakan ayah dan ibu Damta.
Damian Karvantara dan Tania Karvantara.
Mendadak hatinya menjadi gelisah dan bertanya-tanya apa alasan sepasang suami istri paruh baya ini datang ke Mansionnya di malam hari, setelah pemakaman jenazah kakaknya di siang hari.
"Ada apa kalian datang ke mansion ini?" tanya Romeo langsung pada intinya tanpa basa-basi, Damian menatap datar Romeo sambil memeluk Tania yang menangis di sampingnya, setelah mendengar kematian menantu mereka padahal usia pernikahan putrinya masih sangat muda, 5 hari.
"Kami akan membawa Damta pulang ke mansion kami, Azam telah meninggal dan Damta tak memiliki hak untuk tinggal di mansion ini karena ia bukan lagi menantu keluarga Pangestu."
Romeo berusaha menyembunyikan ekspresi terkejutnya dengan ekspresi datar, Romeo tak akan membiarkan Damta pergi darinya. Walaupun ia harus melawan orang tua Damta.
"Di mana Damta, pasti dia sangat sedih mendengar kematian Azam? Damta sangat mencintai Azam hiks hiks," tangis Tania mengingat senyum bahagia di bibir putrinya, saat menikah dengan Azam namun Tuhan tak ingin keduanya bersatu, dan memisahkan keduanya melalui kematian.
"Damta ada di kamarnya, dia masih pingsan saat jenazah Azam dibawa ke Mansion, dan saya tidak akan membiarkan Damta pergi dari Mansion ini, karena kak Azam sebelum pergi bertugas memberi saya kepercayaan untuk menjaga Damta selama kak Azam belum kembali."
Damian menatap tajam Romeo, darahnya mendidih mendengar ucapan adik mendiang menantunya ini, dari awal memang Damian sudah menaruh curiga pada Romeo saat pria itu terus menatap Damta dari awal acara pernikahan sampai akhir, dan keyakinannya semakin besar bahwa adik menantunya ini memiliki perasaan pada Damta.
"Kau tak punya sedikit pun melarangku membawa putriku sendiri!"
Tania yang merasakan aura mencekam dari suaminya dan Romeo pun, mulai mengusap lengan Damian meminta Damian sabar.
"Romeo, Damta adalah putri tunggal kami. Kami sangat menyayanginya, kami pun ikut sedih atas kematian kakakmu. Namun pilihan paling baik di sini adalah membiarkan Damta kembali ke mansionnya," ucap Tania lembut, menatap memohon agar Romeo mau mengalah.
"Maaf Nyonya Karvantara, Damta adalah istri mendiang kakak saya. Keluarga kami punya tradisi bahwa menantu wanita keluarga Pangestu harus tetap berada di rumah suaminya, meskipun suaminya hidup maupun mati sampai ia menikah kembali."
Damian yang sudah muak mendengar ucapan Romeo, langsung melayangkan bogeman pada pipi Romeo. Tania menjerit histeris, sedangkan Romeo hanya tersenyum miring, mengejek Damian.
"Aku tak peduli ucapanmu atau pun tradisi laknat keluargamu itu! Karena aku akan tetap membawa putriku!"
Romeo yang hendak mengatakan sesuatu tak jadi, karena ada suara lain yang mencela suaranya. Damian, Tania, dan Romeo menoleh ke asal suara yang ternyata adalah suara Damta.
"Damta akan tetap di sini, di mansion ini... Selama-lamanya."
Romeo tak dapat menahan senyumannya saat mendengar ucapan Damta, walaupun kondisi wanita itu yang berantakan dengan mata memerah, pipi sembap, rambut acak-acakkan, dan pakaian kusut.
"Sayang, maaf mama tak bisa datang ke pemakaman Azam. Mama di sini sayang, jangan menahan sendiri rasa sakit kamu. Keluarkan, menangislah. Ada mama yang siap mendengarkan tangisanmu," ucap Tania menangkup pipi Damta dengan mata berkaca-kaca.
Tangis Damta pecah saat nama Azam diucapkan kembali, Damta memeluk Tania erat, menumpahkan segala rasa sakitnya di bahu Tania.
"Azam pergi Ma, Azam enggak cinta Damta. Di... Dia bilang cuma mau bertugas dan akan kembali, tapi dia bohong hiks hiks."
"Sayang, ini sudah takdir Tuhan. Kita sebagai umatnya hanya bisa menerima dan mendoakan semoga Azam di terima di sisi Tuhan."
"Damta, ayo kita pergi sekarang sayang. Kita pulang ke Mansion karena sekarang kamu bukan tanggung jawab Keluarga Pangestu lagi melainkan tanggung jawab ayah."
Damian berusaha bersikap tegas di hadapan putrinya, lalu menarik tangan Damta untuk keluar dari mansion keluarga Pangestu namun langkahnya terhenti karena Damta yang hanya diam tidak bergerak.
Damian menoleh ke arah putrinya, bertanya pada putrinya lewat tatapan sedangkan Damta hanya bisa menggeleng pelan dengan air mata yang mengalir di pipinya.
"Apa ayah mencintai ibu?"
"Apa maksudmu Damta?"
"Jawab saja ayah, apa ayah mencintai ibu?"
"Ayah mencintai ibu melebihi ayah mencintai diri ayah sendiri Damta. Pertanyaanmu itu sungguh tidak berguna."
"Damta pun mencintai Azam melebihi Damta mencintai diri Damta sendiri, dan Damta tidak akan pernah pergi dari rumah ini sampai ajal memanggil Damta dan menyatukan Damta dengan Azam di Akhirat nanti."
"Jangan gila kamu Damta, Azam sudah meninggal! Kalian tidak ditakdirkan untuk bersama, kamu masih muda Damta, perjalanan kamu masih panjang!" teriak Damian yang frustasi dengan ucapan putrinya, Damian mungkin memaklumi ucapan Damta.
Namun Damian tak bisa meninggalkan putri semata wayangnya dengan b******n seperti Romeo. Damian tidak buta, untuk dapat mengartikan tatapan Romeo pada Damta. Tatapan cinta dan nafsu seorang pria pada wanita.
"Sayang, ayah kamu benar. Tak seharusnya kamu tetap di sini apalagi keluarga Pangestu... hanya ada Romeo, lebih baik kamu pulang bareng ibu dan ayah," ucap Tania yang juga tak mau putrinya, berdekatan dengan Romeo.
Romeo mengepalkan tangannya, saat mendengar ucapan sepasang suami istri yang mulutnya sangat kurang ajar. Memangnya kenapa kalau Damta bersama dirinya? Dia bukan iblis atau bahkan monster yang akan menyakiti Damta.
"Keputusan Damta sudah bulat, Damta mengenang sisa kenangan Damta dan Azam yang ada di mansion ini, meskipun hanya sedikit kenangan yang ada di mansion ini tapi mansion ini menjadi saksi Damta dan Azam mengikat kami dengan sucinya janji pernikahan dan mansion ini pula yang menjadi saksi bisu perpisahan kami. Maafkan Damta karena menentang permintaan kalian, ayah, ibu."
Romeo tersenyum senang mendengar keputusan Damta, tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Damta namun Damta lebih dulu memutus kontak mata di antara mereka.
[] [] [] [] [] [] [] []
Romeo berjalan ke arah meja makan yang telah dipenuhi oleh berbagai macam makanan lezat dan minuman menyegarkan, namun Romeo tak melihat kehadiran Damta di meja makan.
"Di mana Damta? Apa dia belum turun?" tanya Romeo menatap tajam pelayan yang menunduk takut di hadapannya.
"I... Itu Tuan...
"Bicara yang benar!"
"Nyonya Damta belum turun dari tadi Tuan, saya sudah memanggil Nyonya Damta untuk sarapan, tapi Nyonya bilang nanti."
Romeo menghela nafas kasar, lalu menatap pintu kamar Damta yang tertutup erat. Romeo yakin pasti Damta masih menangisi kematian Azam, dan hal itu membuat amarah yang ada dalam dirinya mendidih.
Romeo berjalan menuju kamar Damta, dan menaiki tangga lalu mengetuk pintu kamar Damta dengan keras, sambil memanggil nama Damta.
"Damta keluar, ayo sarapan!"
"Damta!"
Romeo baru saja hendak mengetuk kembali pintu di depannya, namun pintu tersebut sudah terbuka dan menampilkan Damta yang menatap datar dirinya.
"APA YANG KAU PAKAI INI?!"
Romeo menatap pakaian yang dikenakan Damta dari atas sampai bawah dengan tatapan intens, lalu matanya bertemu dengan mata Damta yang menatapnya tanpa ekspresi.
Gaun panjang hitam dengan lengan panjang adalah pakaian yang dipakai oleh Damta.
"Jaga tatapanmu Romeo! Aku ini istri kakakmu, dan soal pakaianku tidak sepantasnya Kay berteriak seperti tadi, lagi pula aku memakai pakaian yang sopan."
"Iya, pakaianmu sangat sopan bahkan kelewat sopan sampai kakimu saja tak terlihat. Kau itu hanya janda Damta, bukan biarawati!"
"Sudah cukup kau mengomentari pakaianku, kau bukan siapa-siapa di hidupku Romeo hingga kau bisa mengomentari kehidupanku. Kau hanya adik iparku!"
Ucapan Damta berhasil membuat Romeo diam mematung dan berhenti mengomentari pakaian Damta, Damta yang melihat Romeo terdiam jadi merasa bersalah.
"Romeo maaf, aku tidak bermaksud berteriak...
"Ya, aku hanya adik iparmu, jadi buat apa aku mengomentari hidupmu."
Romeo berjalan terlebih dahulu, melewati Damta lalu menuruni tangga dan duduk kembali ke meja makan tanpa mengucap sepatah kata pun, begitu pun dengan Damta.
Keheningan tercipta di antara keduanya, hingga suara teriakan dan tarikan di rambut Damta membuat Damta meringis kesakitan, memecah keheningan yang ada.
"Jadi jalang ini yang menyebabkan kau meninggalkanku Romeo?!" tanya dan teriak seorang wanita berpakaian jalang, seakan ia tak memiliki kaca di rumahnya untuk melihat siapa jalang di antara mereka.
"Lepaskan tanganmu dari rambutku! Ini sakit," ucap Damta berteriak, membuat Romeo sadar dengan apa yang terjadi. Romeo langsung mendorong tubuh mantan kekasihnya dengan kuat hingga kekasihnya terjatuh dengan tidak elit.
"Kau tak apa Damta?"
"Urus kekasih sialanmu! Dia melukaiku dan katakan padanya siapa aku sebenarnya, aku bukan kekasih Romeo!"
Damta jongkok di hadapan wanita yang ia tak tahu siapa namanya, tangannya mencengkram kuat rambut wanita itu lebih kuat dari tarikan wanita itu di rambutnya.
"Aku kakak ipar Romeo! Istri Azam Fandra Pangestu. Ingat namaku Damta Karvantara dan sekali lagi kau berani melukaiku, maka bersiaplah lenyap dari Dunia ini!"
Damta berdiri dan menatap menghina pada wanita jalang di bawahnya, lalu menatap tajam Romeo yang hanya diam menonton.
"Dan untukmu Romeo, ku ingatkan padamu. Ini mansion keluarga Pangestu, bukan Club atau hotel untuk membawa wanita bayaranmu! Urus wanita sialan ini secepat yang kau bisa."
Damta meninggalkan Romeo dan kekasihnya dengan perasaan kesal lantaran rambutnya yang masih sakit karena tarikan tangan wanita laknat itu.
Tangerang, 16 November 2019