CHAPTER: 2

1364 Words
Kau tidak lagi terikat dengan kakakku, jadi aku bebas memilikimu seutuhnya ~Romeo Andra Pangestu~ Damta menatap jam dinding yang berada di atas pintu masuk mansion, jam sudah menunjukkan tengah malam tapi kemana perginya biang rusuh itu sampai jam segini belum pulang. Biang rusuh itu adalah Romeo Andra Pangestu. Sebenarnya Damta tidak menyukai kehadiran Romeo sejak pertemuan awal mereka, saat Azam memperkenalkannya pada b******n keluarga Pangestu itu. Damta bukan gadis bodoh yang tak menyadari tatapan ketertarikan yang Romeo berikan padanya, bukan ketertarikan akan perasaan atau cinta melainkan seksual. Namun ia memilih tetap mempertahankan senyum palsunya di depan Romeo, semua ini semata-semata karena ada Azam di sampingnya. Kalau saja tak ada Azam, maka Damta pasti sudah mencolok mata buaya darat itu. "Kemana perginya pria itu? Bahkan ia tak peduli bahwa Azam baru saja meninggal, dan ia malah keluyuran sampai tengah malam." Sebenarnya Damta masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Azam telah pergi untuk selamanya, namun sampai kapan ia akan terus menolak kenyataan tersebut? Yang Damta bisa lakukan sekarang hanya mendoakan mendiang suaminya. "Terlalu cepat kau meninggalkan aku Azam, kita bahkan baru menikah, pernikahan kita baru seumur jagung tapi kau sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya hiks hiks." Selalu saja air mata menetes di mata Damta setiap ingatan tentang Azam melintas di pikirannya, hati Damta teriris saat mengingat pernikahan mewah dan janji suci yang diucap olehnya dan Azam. "Seharusnya aku lebih tegas menolak kau pergi malam itu, seharusnya aku lebih keras mencegah kau pergi... Kalau saja aku bisa mencegah kepergianmu, pasti... Sekarang kau ada di sini bersamaku. Aku yang salah Azam, aku yang salah." Tatapan nanar Damta tertuju pada bingkai besar yang menunjukkan betapa bahagianya pernikahan yang hanya seumur jagung ini, foto pernikahannya dengan Azam. "Aku mencintaimu Azam, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membiarkan pria mana pun menggantikan sosok dirimu di hidupku, cukup sekali seumur hidup aku mengucap janji suci pernikahan dan itu hanya denganmu seorang Azam... Ucapan Damta terhenti saat pintu mansion dibuka dengan kasar hingga menimbulkan suara yang nyaring, siapa lagi pelakunya kalau bukan putra bungsu keluarga Pangestu. Romeo berdiri mematung saat tatapannya bertemu dengan mata Damta yang berkaca-kaca, Romeo tersenyum miring, mengejek dirinya sendiri yang kalah saing dengan orang yang sudah tiada. Tanpa perlu Damta mengatakan penyebabnya menangis, Romeo sudah tahu bahwa itu berhubungan dengan Azam, karena di otak cerdas wanita itu hanya ada Azam saja. "Kau dari mana saja? Apa kau tak punya otak lagi hah?! Kakakmu baru saja meninggal beberapa hari yang lalu dan kau malah keluyuran seperti pria liar dan bebas! Setidaknya kasihani mendiang kakakmu, apa kata orang saat mengetahui kelakuan burukmu ini?!" Tangan Romeo terkepal kuat saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir tipis merah muda itu, seharusnya ia tidak pernah berpikir bahwa Damta menunggunya pulang karena khawatir, karena nyatanya wanita itu tak akan pernah peduli padanya. "Aku mau pergi kemana pun dan pulang kapan pun, itu bukan urusanmu Damta Karvantara!" Damta tak menyangka bahwa adik iparnya semudah itu mengganti nama belakang keluarga suaminya, kaki Damta melangkah mendekati Romeo lalu menampar kuat pipi Romeo hingga meninggalkan bekas merah. "Kalau kau lupa, aku akan mengingatkanmu, bahwa aku adalah istri kakakmu, yang berarti aku adalah bagian dari keluarga Pangestu. Namaku Damta Pangestu!" Tatapan permusuhan yang menguar dari mata keduanya, seakan mampu membakar lawan bicaranya hanya dengan tatapan tersebut. Kebencian Damta pada pria di depannya semakin kuat begitu pun dengan Romeo, rasa cinta pada wanita di depannya semakin kuat setelah melihat ketegasan dan keberanian Damta menamparnya. "Kau marah atau Kau benci padaku? Oh kau ingin menamparku lagi?" Tangan Damta mengepal kuat saat mendengar suara dengan nada mengejek, dan senyum miring di bibir Romeo, membuat amarah Damta mendidih. "Sebesar apapun kau marah dan benci padaku, tak akan mengubah kenyataan bahwa kau bukan lagi keluarga Pangestu, kau bukan lagi kakak iparku, kau bukan lagi istri kakakku, karena secara hukum dan agama kau adalah janda yang tidak terikat pada tali pernikahan dengan kakakku... Ingin rasanya Damta menancapkan pisau di jantung pria itu, agar pria itu mati dan berhenti mengatakan kata-kata yang sangat menyakitkan itu namun sayangnya pria ini adalah adik suaminya, dan pasti Azam akan membencinya jika membunuh adiknya. Romeo sengaja menggantung kata-katanya untuk melihat reaksi Damta, meskipun hatinya sakit melihat Damta menangis dan terlihat rapuh, namun Romeo tetap melanjutkan kata-katanya dengan membisikkannya tepat di telinga Damta. "Karena Azam Fandra Pangestu sudah meninggal." "CUKUP!" "Sudah cukup kau mengatakan kata-kata biadab itu, kau lihat cincin ini? Selama aku masih bernafas dan cincin ini masih melekat di jari manisku, maka selama itu pula aku masih menjadi istri Azam!" Damta menunjukkan tangan kanannya di depan wajah Romeo, hingga cincin pernikahannya dengan Azam terlihat di depan mata pria itu. Damta puas saat melihat wajah pria itu mengeras, pasti Romeo sedang menahan amarah dalam dirinya. Damta terkejut saat Romeo menarik kasar tangan kanannya, lalu berusaha menarik cincin pernikahannya dengan Azam dari jari manisnya. "Lepaskan tanganku Romeo! Jangan bermain-main dengan cincin ini Romeo, Romeo kumohon jangan lepaskan cincin ini." Damta berusaha sekuat tenaga melindungi cincinnya dari jangkauan Romeo namun Romeo yang notabenenya pria memiliki kekuatan lebih besar darinya, sehingga dengan mudah mengambil cincin itu. Damta berusaha merebut cincin itu dari tangan Romeo namun Romeo malah mendorongnya dengan kasar hingga ia terjatuh di lantai. Damta mengutuk kasar pria di depannya yang memiliki perilaku sangat kasar, bahkan pada wanita. "Kau bilang kalau cincin ini masih melekat di jari manismu berarti kau masih istri Azam? Tapi lihat jari manismu sudah kosong, berarti kau bukan lagi Damta Pangestu melainkan Damta Karvantara!" Air mata menetes di kedua pipi Damta, saat melihat jari manisnya yang kosong. Memori saat ia dan Azam saling menyematkan cincin di jari manis, pada saat pernikahan mereka melintas di otaknya. Membuat air mata Damta semakin mengalir deras di kedua pipinya. "Romeo kembalikan cincin itu, itu bukan sembarang cincin Romeo. Cincin itu adalah bukti pernikahanku dan Azam, mendiang kakakmu." Romeo berusaha sekuat mungkin tidak mengikuti kata hatinya, apalagi hatinya sangat lemah saat melihat air mata dan tatapan memohon dari wanita yang ia cintai. "Kalau begitu biarkan cincin ini lenyap dan menghilang, sama dengan pernikahanmu dan Azam yang sudah berakhir." Kedua mata Damta melotot tak percaya saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Romeo. Apalagi saat melihat Romeo keluar dari mansion membawa cincin itu. "ROMEO KEMBALIKAN CINCIN ITU!" Damta berlari mengejar langkah lebar adik iparnya itu, berkali-kali ia berteriak memanggil nama Romeo namun pria tak berperasaan itu terus berjalan tanpa peduli padanya. Romeo berhenti melangkah di samping kolam renang yang berada di taman mansion, Damta menggeleng sambil menatap memohon pada Romeo saat melihat Romeo hendak melempar cincin itu. "Romeo, kumohon setidaknya kasihanilah kakak iparmu ini, jangan buang cincin itu Romeo hiks hiks," ucap Damta sambil menangis. "Sayangnya aku tak punya rasa kasihan sedikit pun Damta, jadi ucapkan selamat tinggal pada cincin ini." Plunggg. Dengan kejamnya, Romeo melempar cincin itu sambil memasang wajah pura-pura sedih. "Maafkan aku Damta, cincinnya terja... BYUUURR "DAMTA!" Romeo melotot tak percaya Damta masuk ke dalam kolam itu, berusaha menemukan cincin itu. Kalau Damta bisa berenang maka tak apa, tapi ini Damta tak bisa berenang. "Dasar wanita bodoh!" ucap Romeo merutuk tindakan Damta itu, lalu Romeo ikut masuk ke dalam kolam itu berusaha menyelamatkan Damta. Romeo berusaha membawa tubuh Damta ke atas, tapi Damta berontak dan berteriak tak ingin ikut Romeo naik ke atas. "Lepaskan aku, aku harus menemukan cincin itu!" "Jangan bertindak bodoh Damta! Ini tengah malam dan kau pun tak bisa berenang, kau bisa tenggelam lalu mati!" "Maka biarkan mati, aku akan ikut dengan Azam dari pada aku harus hidup namun tanpa kehadiran Azam." Sakit. Itulah yang dirasakan Romeo saat mendengar jawaban Damta, seperti ada batu besar yang menghantam hatinya saat Damta mengatakan itu namun ia menyembunyikannya dengan wajah datarnya. "Kalau begitu mati lah dan susul mendiang kakakku." Damta terkejut mendengar ucapan pria di depannya, seakan nyawa seseorang adalah mainan baginya. Romeo melepaskan pelukannya pada tubuh Damta membiarkan Damta tenggelam lalu tak sadarkan diri di kolam renang itu. Damta berusaha menggerakkan kaki dan tangannya untuk menggapai ke atas, namun bukannya naik ke atas, ia semakim turun ke bawah dan lama-kelamaan kesadarannya perlahan terenggut. "Azam bawa aku bersamamu, aku tak kuat bila hidup tanpamu. Aku ingin tetap menjadi istrimu Azam, baik saat aku hidup maupun aku mati." Tangerang, 11 Desember 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD