"Kegaduhan apa lagi yang ngana bikin?" Gemma menerima telepon dari Opa Maxi setengah jam sebelum pukul dua belas siang itu. "Mamimu sudah cerita soal makan malam kemarin." (‘Ngana’ adalah bahasa Manado berarti ‘kamu’)
"Hanya sedikit kekcauan, Opa," sahut Gemma.
"Sedikit? Bukankah seluruh ngana punya hidup adalah kekacauan? Ngana nyanda cocok kerja di kantor. Ngana harusnya kerja di hutan seperti Opa." Gemma tersenyum mendengar argumen Opa Maxi. Di antara seluruh keluarga, Opa Maxi adalah yang paling memahami dirinya. Ia selalu merasa nyaman berada di dekat Opa Maxi. Ia bisa menjadi diri sendiri sepenuhnya saat bersama lelaki tua itu.
"Aku akan menikah, Opa."
"Dengan wewene yang ngana ada bawa makan malam di rumah?" (‘wewene’ adalah bahasa Minahasa yang berarti perempuan)
"Iya."
"Ngana punya permainan kurang halus, Gemma. Ngana bawa cewek lain ke rumah sementara ngana belum kasih putus ngana punya cewek lama. Opa tau ngana ini begal. Tapi cobalah pakai sedikit itu otak. Tidak ada cewek yang mau diduakan, Gemma." (‘begal’ bahasa slank Manado yang berarti ‘nakal’)
"Ini tidak seperti yang Opa bayangkan."Gemma mencoba menjelaskan.
"Alah, anak sepenggal mau coba ajari Opa. Begini jo, ngana bawa itu wewene kemari. Kasih kenal sama Opa. Ngana lagi minta kawin mendadak. Itu cewek nda hamil to?"
"Opa, sudahku bilang ini semua tidak..." Kalimat Gemma tidak selesai karena Opa Maxi telah menutup sambungan telepon.
"Bro!" Mario menerobos ke dalam ruangan tepat ketika telepon dari Opa Maxi terputus. "Gue sudah booking Restoran Nyiur Melambai untuk hari Sabtu ini. Thanks God ternyata masih free tanggal segitu."
"Thank you, Yo. Lu memang sahabat yang paling bisa diandalkan."
"Tapi, Gem. Lu serius? Pernikahan ini? Minggu ini?"
"Seribu rius!"
"Tapi kenapa Gem? What's wrong with Mika?"
"Nothing's wrong with her." Gemma memandang Mario dengan tatapan sangat meyakinkan.
"Gue nggak paham sama jalan pikiran lu."
"Gue pun nggak paham dengan jalan hidup gue."
Gemma memutuskan untuk tidak menceritakan perkara surat wasiat bahkan kepada sahabatnya sendiri. Ia harus terlebih dahulu mendapatkan kejelasan sebelum memberitahukan kepada orang lain.
***
Carissa baru saja akan pulang ke rumah ketika ia mendapati Mikaila sedang berdiri di depan kantornya. Tahu darimana gaids itu di mana kantor tempat Carissa bekerja?
"Hai, Carissa." Mikaila menyapa.
"Ada perlu apa?" Carissa bertanya datar. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana tadi malam gadis sempurna ini menyiramnya dengan air.
Malam itu Carissa beranjak pergi dari rumah Gemma tanpa ada tanda-tanda pemuda itu menyusulnya. Sialan. Tapi, siapa Carissa sehingga Gemma harus menyusul dan membujuknya kembali? Tentu saja Gemma akan lebih memilih melanjutkan makan malam bersama Mikaila.
"Aku tidak tau apa tujuanmu mendekati Gemma. Tapi apa pun itu hentikanlah!" Mikaila, dengan stiletto hitamnyanya berjalan mendekati Carissa. Berdiri sedekat itu dengan Mikaila, Carissa mendadak menjadi insecure. Gadis berkaki jenjang itu jelas sangat cantik dan tahu cara berpakaian dengan menarik.
Mikaila mengeluarkan amplop dari dalam tasnya. "Jika yang kamu butuhkan uang maka aku akan memberikannya kepadamu. Katakan saja jika ini kurang."
Carissa menatap amplop yang disodorkan Mikaila padanya. Ia benar-benar sakit hati dengan segala perlakuan orang-orang yang berada di sekitar Gemma. Tadi malam ia dituduh tengah hamil anak orang lain dan meminta Gemma bertanggungjawab. Sore ini seolah ia dituduh tengah memeras Gemma.
"Simpan saja uangmu itu dan jangan pernah menampakkan lagi wajahmu di hadapanku,"kata Carissa ketus sambil berbalik pergi. Abian tengah menunggunya di parkiran.
"Kamu yang seharusnya tidak menampakkan dirimu dalam hubungan kami. Kamu ini siapa sebenarnya?" Mikaila berteriak karena Carissa terus berjalan menjauhinya.
Carissa berbalik dan memandang Mikaila tajam, "Ini kali terkahir aku melihatmu, begitu pun kamu. Aku tidak akan muncul dalam kehidupan Gemma lagi. Untuk itu enyahlah sekarang!"
"Fiuh, thanks Lord!" balas Mikaila. "Seharusnya kamu berpikir dulu sebelum mengambil langkah menerobos kantor Gemma dan menodongnya dengan pistol air."
Carissa terus berjalan menuju mobil Abian tanpa menggubris celotehan Mikaila. Ia heran kenapa seluruh dunia tahu soal insiden pistol air tersebut. Ya, tentu saja pasti karena Gemma sudah menceritakan hal itu pada kekasihnya yang sempurna tapi tidak berotak itu.
"Are you okay?" Abian bertanya saat melihat wajah Carissa yang begitu kesal masuk ke dalam mobilnya.
"I give up. Aku menyerah tentang ide pernikahan enam bulan dengan Gemma Maramis. Aku menyerah!" gerutu Carissa.
"Wow. What's going on? Semula kamu sangat yakin dengan ini semua."
"Ya, sebelum aku bertemu dengan pacarnya yang gila itu. Aku sudah cerita soal dia menyiram air ke wajahku kan? Lalu baru saja dia muncul di depan kantor memberikan uang agar aku menjauhi Gemma. Dia itu psycho."
"Benarkah? Tapi, bukan dia yang menodongkan pistol ke wajah orang lain. Meskipun hanya pistol air." Abian nyengir. Ia sengaja menggoda Carissa.
"Really? Aku melakukan semua itu karena alasan yang kuat."
"Tapi, dia tidak tau apa alasanmu kan?" sela Abian, "selain itu, mungkin kamu juga akan melakukan hal yang sama jika ada gadis lain memaksaku menikahinya."
Carissa tersentak mendengar ucapan Abian. Apa yang akan ia lakukan jika ia berada di posisi Mikaila?
"I'm really curious what will you do, Babe." Abian mengejar. Ia menatap kekasihnya itu dari kaca spion.
Carissa memandang wajah Abian. Alis lebatnya, mata teduhnya, senyum manisnya. "Maybe i'll kill her," sahut Carissa.
Abian tersenyum. Mobilnya melaju meninggalkan kawasan Mega Smart menuju rumah Carissa.
***
Carissa tidak memercayai kedua matanya saat tiba di rumah dan mendapati Gemma sedang duduk di ruang tamu.
"Koh Ahong yang menyuruhku masuk." Gemma menjawab keheranan Carissa.
"Sayang, aku...." Abian baru saja selesai memarkir mobilnya dan mengikuti Carissa masuk ke dalam rumah saat mendapati seorang pemuda sedang berbicara pada Carissa.
"Untuk apa lagi kamu datang ke sini?" Carissa bertanya pada Gemma. "Lupakan saja kegilaan yang terjadi selama beberapa minggu ini."
"Tolong dengarkan aku!" seru Gemma. Ia melirik ke arah Abian. Kekasih gadis gila ini rupanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Abian tak mengerti.
Gemma kali ini menghadapkan seluruh tubuhnya pada Abian. Ia lebih tinggi beberapa sentimeter di banding Abian. Gemma mengulurkan tangan kepadanya. " Gemma Zaydan Maramis."
Abian tersentak mendengar nama itu disebut. Selama ini ia hanya mendengar dari cerita Carissa. Sore ini pemuda itu berdiri di hadapannya.
Abian menyambut uluran tangan Gemma, "Abian Mamonto."
"Senang bertemu denganmu, Abian. Kau pasti kekasihnya Carissa. Tapi, bolehkah aku berbicara berdua saja dengan Carissa? Ada hal yang harus kami diskusikan. Kau tentu tau itu tentang apa."
Carissa tidak habis pikir mendengar permintaan Gemma.
"Oh, oke. Baiklah kalau memang itu penting. Babe, aku tunggu di luar selagi kamu dan Gemma bicara," suara Abian.
Carissa mengerutkan dahinya. Ia heran kenapa Abian mau mengikuti keinginan Gemma. "Tidak ada pembicaraan tanpa kamu ada di sini, Abi!" Carissa berbicara pada Abian, namun matanya menatap Gemma dengan nyalang.
"Oke terserah saja." Gemma mengalah. "Aku sudah booking tempat di Restoran Nyiur Melambai untuk Sabtu ini."
"Aku tidak bisa!" Carissa berseru cepat.
"Kenapa? Karena makan malam kemarin?" tanya Gemma.
Makan malam kemarin bukan hanya membuat Carissa malu setengah mati, tapi juga membuatnya menyadari bahwa mungkin saja rencana pernikahan ini akan melukai banyak orang. Mikaila, Gibran, orang tua Gemma. Ia tidak ingin menjadi egois dengan mengorbankan banyak pihak. Ia akan memikirkan keberlangsungan panti nanti.
"Kenapa Carissa?" tanya Gemma lagi.
"Karena ini tidak adil untuk Mikaila, untuk Mami, Papi dan keluargamu yang lain," jawab Carissa.
"Tapi pernikahan ini toh akan segera berkahir. Mereka hanya perlu sedikit bersabar." Gemma berkeras.
"Aku tidak bisa, Gemma. Mengertilah! Terlalu banyak yang tersakiti dengan isi surat wasiat gila itu jika kita menjalaninya."
Gemma terdiam. Ia tidak menyangka Carissa akan menyerah semudah ini. Di sisi lain ruangan Abian hanya berdiri mematung memandang kedua orang yang sedang berdebat itu.
"Kau tau Carissa, aku pernah membaca kalimat bagus dari sebuah komik."
Carissa menatap Gemma penuh tanya. Komik?
"Jika kau sedang berada di dalam kapal dan kapalmu tenggelam maka siapakah yang akan kau selamatkan? Ibumu? Ayahmu? Kekasihmu? Kalau aku, aku akan menyelamatkan orang yang tidak bisa berenang." Lanjut Gemma.
Carissa masih tidak menangkap maksud Gemma.
"Kau sedang tenggelam, Carissa. Pilihanmu hanya dua, mati sesak napas atau pasrah dan membiarkanku menyelamatkanmu."
Carissa terkejut dengan kalimat Gemma.
"Hubungi aku jika kau masih butuh untuk diselamatkan." Gemma beranjak dari ruang tamu menuju mobilnya yang diparkir di pekarangan.
Carissa diam mematung di tempatnya berdiri hingga mobil Gemma keluar dari pekarangan rumahnya. []