“Gem, sebenarnya gue masih tidak mengerti apa yang terjadi antara lu dengan Mika? Kalian putus? Kalian kan mau tunangan.”
Sore itu Mario duduk di kursi kemudi mobil pengantin dan Gemma duduk di kursi penumpang. Mario berkata itu adalah suatu kehormatan untuk menjadi supir mobil pengantin Gemma. Ia juga berkelakar bahwa dengan menjadi supir maka ia akan ketularan nasib baik dan bisa segera menyusul untuk menikah. Atas nama persahabatan, Gemma menerima tawaran Mario. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju butik gaun pengantin tempat Carissa didandani untuk resepsi nanti malam.
“Lu bilang nggak kenal Carissa, tapi kenapa nggak sampai sebulan sejak penodongan pistol air lu malah menikah sama dia? Gue nggak paham Gem.”
Gemma tidak menjawab satu pun pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabatnya itu. Ia justru sibuk merapikan tuxedo hitam yang dikenakannya, memastikan benda itu melekat sempurna di tubuhnya.
Kesal karena tidak kunjung digubris, Mario melirik Gemma dari kaca interior. “Ngapain dibener-benerin lagi sih? Lu udah cakep, Gem. Perfect! Kalau gue jadi cewek, gue mungkin akan menggelepar-gelepar di depan lu, sentuh aku Gemma, cium aku.”
Fokus Gemma teralihkan. Ia akhirnya menatap Mario dengan sinis, “Stop! Jijik gue sama lu!”
Mario tertawa terbahak-bahak sebelum melanjutkan, “Lagian lu, ya. Gue nanya nggak dijawab.”
“Nanya apa, sih?”
“Ya Gusti! Tadi gue nanya lu itu sebenarnya gimana sama Mika? Udah putus apa bagaimana, sih?”
“Baik-baik aja, kok.” Gemma menjawab cuek.
“Baik-baik gimana? Lu mau nikah sama orang lain ini. Terus Mika gimana? Buet gue ya.”
“Jaga mulut lu ya, Yo. Lu jangan jadi perebut bini orang!”
“Lah, udah bukan bini lu kan?”
“Kata siapa? Kami baik-baik saja kok. Pertunangannya hanya ditunda. Ditunda!” Gemma memang memutuskan untuk tidak menceritakan perkara surat wasiat itu kepada Mario. Gemma yakin, pemuda itu bukan hanya tidak akan percaya tetapi akan menertawainya habis-habisan.
“Lu mau lanjutin tunangan sama Mika?” Ada nada tidak percaya dalam kalimat Mario.
“Ya, iya lah!” Gemma menjawab yakin.
“Lu mau poligami, Gem?”
“Nggak lah! Gila lu. Satu aja bikin pusing.”
“Lah terus bagaimana ceritanya lu udah nikah tapi masih mau tunangan sama orang lain?”
“Ya, nanti kalau gue udah cerai baru nikah sama Mikaila.” Gemma menjawab dengan santai tanpa beban.
Demi mendengar jawaban itu Mario refleks menginjak pedal rem sehingga membuat kepala Gemma nyaris terantuk ke dashboard mobil.
“Eh, gila lu, Yo! Lu berhenti mendadak begini!” seru Gemma kesal sambil berusaha meredam denyut jantungnya yang tadi seolah melompat.
“Yang gila itu lu, Gem! Ini hari pernikahan lu, tapi lu malah sudah berniat menceraikan Carissa. Kalau tau mau diceraikan ngapain lu sibuk-sibuk nikahin dia? Dan sibuk-sibuk bikin gue kalang kabut mempersiapkan segala kebutuhan nikah lu? Urusan dekor lah, urusan undangan lah, urusan katering lah. Habis ini rasa-rasanya gue mau resign aja dan buka usaha wedding organizer.”
“Jalan, Yo. Butiknya masih di depan.” Gemma tidak menanggapi protes panjang yang dilayangkan Mario.
“Apaan jalan-jalan. Eh, Gem, se-playboy-playboy-nya gue, gue takut mempermainkan pernikahan. Kualat lu nanti bari tau rasa!”
“Sudah jangan cerewet! Ayo jalan! Lu bikin macet.”
Rasa-rasanya Mario masih akan mencecar Gemma dengan segala pertanyaan kalau tidak diberondong oleh bunyi klakson mobil di belakang mereka yang terpaksa berhenti karena Mario mengerem mendadak di tengah jalan.
Begitu sampai di pelataran parkir gedung butik, Gemma segera turun dari mobil dan disambut antusias oleh Lady, pemilik butik sekaligus nasabah Gemma.
“Wah, Bapak Gemma cakep sekali.” Lady mengulurkan tangannya untuk menjabat yang langsung disambut Gemma. “Selamat ya Pak atas pernikahannya. Ibu Carissa ada di dalam. Mari masuk.”
“Terimakasih ya, Bu Lady.” Gemma mengikuti langkah Lady masuk ke dalam butik dengan Mario yang masih bersungut-sungut di belakangnya.
“Gem, ingat! Lu harus jelasin semua ini ke gue nanti!” Bisik Mario. Gemma yang berjalan di depannya mendadak berhenti di ambang pintu sehingga membuat Mario nyaris menubruknya. “Kenapa lu berhenti mendadak sih, Gem? Lu….”
Mario mengikuti arah pandang Gemma dan matanya seketika membelalak. Seorang gadis dalam balutan gaun pengantin sedang berdiri di tengah ruangan seolah menyambut kedatangan Gemma. Gemma sendiri seperti tidak mempercayai matanya. Setelah kejadian penodongan pistol air di tengah ruang meeting, Carissa tidak pernah lagi tampil begitu feminin. Ia selalu tampak kasual. Jika tidak sedang memakai sling back dalam busana formalnya di kantor, gadis itu akan memakai sneaker untuk melengkapi penampilannya.
Carissa tampak berbeda hari ini. Ia memang gadis yang selalu tampil sederhana, namun Carissa memiliki sejenis aura yang membuat orang-orang merasa betah untuk berlama-lama dengannya. Dan hari itu seluruh aura dan kehangatan hati Carissa seolah memancar dari wajahnya.
“Ini yang namanya Carissa?” bisik Mario. “Nggak heran sih kalau lu memutuskan untuk nikahin dia.”
Gemma menyikut perut Mario untuk membuatnya diam. Pemuda itu meringis kesakitan.
“Well. Well. Pengantin pria sudah tiba.” Ellena mengangsurkan tangannya ke arah Gemma. “Sekali lagi selamat ya, Gem.”
Setelah berjabat tangan dengan Gemma, Ellena menoleh ke arah Mario dan melakukan hal yang sama. “Halo, aku Ellena, temannya Carissa.”
“Oh, hai. Mario.” Mario menjabat tangan Ellena. “Sebaiknya kita tinggalkan pasangan pengantin ini untuk saling bermesraan. Eh, bercengkrama. Hahahah.”
Ellena setuju dan mereka berdua memilih untuk keluar dari ruangan. Lady, sang pemilik butik sudah sejak tadi melayani pelanggan lainnya.
Ditinggalkan berdua seperti itu, Gemma menjadi sedikit salah tingkah. Ia melangkah maju mendekati Carissa. “Ris, kamu….” Gemma bermaksud mengatakan bahwa gadis itu tampak cantik dan sangat berbeda hari ini, tapi Carissa terlanjur memotong kalimat Gemma.
“Gem, kamu tidak berpikir semuanya ini agak berlebihan? Kita kan bisa menikah sederhana, atau tidak perlu pakai resepsi.”
Gemma terkejut dengan kalimat Carissa. Setelah semua persiapan dalam waktu yang singkat telah diupayakan oleh Gemma, gadis ini justru berkata seperti itu. Dasar tidak tahu berterimakasih!
“Terus maumu seperti apa?” Intonasi suara Gemma meninggi. “Nikah diam-diam? Apakah kau tidak berpikir itu malah justru akan membuat reputasi keluargamu dan keluargaku jadi jelek? Entah bagaimana penilaian kolega dan kerabat keluarga kita kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa kita menikah diam-diam?”
Gantian Carissa yang terkejut mendapati reaksi Gemma yang di luar ekspektasinya. “Ya, tidak usah ngomel-ngomel lah! Kan aku cuma tanya tadi. Kalau memang pertimbanganmu itu ya, ya oke.”
Gemma memandangi gadis itu dengan sorot mata dingin seperti biasanya sebelum berbalik dan mengemempaskan dirinya di salah satu sofa yang ada di ruangan itu. Diam-diam Gemma memikirkan pertanyaan Carissa tadi? Kenapa ia, di tengah pertentangan keluarganya, justru malah memutuskan menggelar resepsi besar-besaran? Apakah ia memang memutuskan demikian untuk menjaga reputasi keluarganya? Ia selama ini bahkan tidak peduli dengan reputasi dirinya sendiri di mata orang lain. Apakah ia melakukan ini karena egonya semata? Semakin ditentang oleh Mami dan Gibran, maka ia akan semakin menjadi-jadi. Apakah itu sebenarnya motifnya?
***
Pernikahan digelar di Restoran Nyiur Melambai tepat waktu. Seluruh kolega Gemma di kantor hadir dalam pesta itu. Tapi tidak ada satu pun keluarga Gemma yang tampak di sana selain Opa Maxi. Dengan adanya Opa Maxi, rasa-rasanya Gemma tidak membutuhkan orang lain lagi untuk menghadiri resepsinya.
Seluruh tamu undangan berbisik-bisik tentang kursi orangtua kedua mempelai yang kosong. Tidak pernah terjadi sebelumnya dalam resepsi pernikahan, hanya dua mempelai saja yang bersanding di sana. Opa Maxi yang menyadari bisik-bisik itu beranjak dari meja perjamuan dan duduk di kursi orangtua di samping Gemma.
“Dasar begal! Ngana tidak undang ngana punya Mami Papi Gem?” Bisik Opa Maxi.
“Mereka tidak mau datang, Opa,” sahut Gemma sekenanya.
“Carissa. Nanti kalian berdua datang ke Tomohon ya. Kalau ada waktu kosong.”
“Iya, Opa.” Carissa yang baru kali itu bertemu dengan Opa Maxi merasa ada yang berbeda dengan diri Gemma. Pemuda itu terlihat hangat dan menyenangkan saat berbicara dengan Opa Maxi. Gemma lebih banyak tersenyum dan tertawa hari ini.
Hampir semua undangan tidak dikenal oleh Carissa. Sebagian besar adalah kolega di kantor Gemma, sebagian yang lain adalah nasabah-nasabah dan pegawai dari perusahaan-perusahaan rekanan kantor Gemma. Satu-satunya yang Carissa kenali adalah Nurma, beberapa wanita penjaga panti serta beberpa anak dari panti asuhan. Bahkan Koh Ahong menolak untuk datang ke resepsi pernikahan Carissa dengan alasan harus mengurusi cengkih yang baru masuk di gudang.
Saat tiba di penghujung acara dan para tamu undangan naik ke atas pelaminan untuk meberi selamat kepada kedua mempelai, Adi Nugraha, pemimpin Gemma datang dengan terkekeh-kekeh. “Kamu nikahin juga akhirnya cewek yang nodongin pistol air ini, Gem.”
Carissa terkejut dan ingatannya kembali kepada sosok berperut buncit yang juga ia todongkan senjata tempo hari di ruang meeting Gemma. Rupanya ini orangnya. “Halo Pak. Maafkan perbuatan saya waktu itu.” Carissa memaksakan senyum di wajahnya. Saking malunya rasanya ia ingin menggali lubang saat itu juga dan terjun ke dalamnya.
“Ah, nggak apa-apa. Gemma ini banyak jadi rebutan cewek-cewek di kantor. Memang harus pakai cara yang ektstrim untuk mendapatkannya. Hahahah.”
Gemma hanya tersenyum kecil menanggapi gurauan Adi Nugragha. Ia menjabat tangan pemimpinnya itu dan mengucapkan terimakasih atas kedatangannya.
Setelah Adi Nugraha pergi, Carissa kembali terkejut karena Bernard Pontoh mengampiri dan menjabat tangannya. “Selamat ya, Risa. Opa pasti bahagia melihat ini.”
“ Om….” Carissa kehilangan kata-katanya. Bernard menepuk pundak Carissa pelan sebelum berganti menjabat tangan Gemma.
“Baik-baiklah kalian berdua,” ujar Bernard lalu berjalan kembali untuk menuju meja perjamuan tamu. Langkahnya terhenti di depan Opa Maxi. “Mari, Pak Maxi.”
Opa Maxi terkejut mendapati seorang pria yang sepertinya kolega Carissa ini mengenali dirinya. Ia berusaha mengingat-ingat wajah itu. Terasa familiar, tapi ia tidak yakin pernah bertemu di mana. Opa Maxi terus memandangi punggung Bernard hingga sosok itu menghilang di antara kerumunan.
“Siapa dia Gemma?” tanya Opa Maxi.
“Om-nya Carissa, Opa,” Gemma menjawab sekenanya. Dalam hati ia berjanji akan menceritakan sebab pernikahannya yang tiba-tiba ini kepada Opa Maxi. Ia akan menceritakan yang sejujur-jujurnya, tapi tentu saja malam ini bukanlah saat yang tepat. []