Dunster

1737 Words
Setelah urusannya selesai dengan beberapa orang pria di lapangan bola basket, kini pria itu membalikkan badannya dan berniat untuk kembali ke kelasnya. Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali baginya memukuli seorang pria lain. Sebelumnya ia pun melakukan hal yang sama ketika tahun pertamanya memasuki key stage 4. Saat itu, ia memukuli kakak kelasnya yang diketahui sering memalak teman-teman sekelasnya. Saat itu bahkan kakak kelasnya sampai harus masuk ruang ICU. Sejak saat itu tak ada yang berani mendekatinya, bukan karena yang dilakukannya. Namun, ia pun selalu menghindari orang lain, ketika ada yang berusaha mendekatinya. Di tambah ekspresi wajahnya yang selalu terlihat datar tanpa ekspresi, membuat orang enggan mengenalnya. Namun, dibalik itu ia memiliki kepedulian yang tinggi dan terkadang memperhatikan sekitarnya. Nancy yang terkejut lalu mengucapkan terimakasih pada pria yang kini melangkahkan kakinya meninggalkan lapangan basket. "Terimakasih," ucap Nancy saat pria itu melewatinya. Dalam hati sebenarnya Nancy tak menyukai cara yang dilakukan pria itu walaupun ketiga pria yang ia hajar mengganggu Nancy, balas dendam bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Pria itu tak mengatakan sepatah kata apapun ketika Nancy berusaha berbicara padanya. Hal itu justru membuat Nancy menjadi penasaran dan ingin mengenal pria tanpa ekspresi itu. Sejak saat itulah Nancy mulai bertanya pada teman-temannya tentang pria itu. "Jadi, setelah berbulan-bulan di kelas ini kau tak tahu nama pria itu ya, Nancy?" tanya seorang gadis berambut ikal yang kini nampak berkumpul di kantin sekolah. Di tempat Nancy sekolah, mereka tak pernah diabsen satu persatu dengan menyebutkan nama, Karena sistem di sana menggunakan absen manual yang mereka tulis dibuku absen harian kelas, Sehingga jika kita tak bertanya nama pada orang yang kita maksud, kita takkan pernah tahu namanya, ditambah lagi Nancy adalah siswa baru yang masih belum mengenal banyak orang di kelasnya. "Hahaha, aku ragu ingin berbicara pada pria itu, mata orang itu seperti berbicara dan nampak tak ingin diganggu," ucap Nancy tertawa. Kemudian mereka semua tertawa saat Nancy mengatakan apa yang ia pikirkan tentang orang itu, lalu salah seorang dari mereka menyebut sebuah nama. "Jika kau ingin tahu, nama pria itu adalah Adam," ucap gadis bermata biru yang sedang mengunyah cemilannya. Mendengar nama itu, Nancy sedikit terkejut dan menghentikan aktifitasnya yang sedari tadi memainkan sedotan pada botol minumnya. "Hah? Apa kamu bilang? Adam?" tanya Nancy cukup terkejut lalu tiba-tiba berdiri menggebrak meja tanpa sadar. "Eh? Ada apa denganmu? Memangnya kenapa jika pria itu bernama Adam?" tanya temannya yang kebingungan karena Nancy tiba-tiba mengeluarkan ekspresi semacam itu. Nancy mulai mengingat sosok teman kecilnya yang juga bernama Adam. Tapi dia kemudian berpikir lagi, jika pria itu adalah Adam yang ia kenal, seharusnya pria itu tak memiliki ekspresi semacam itu. Karena di pikirannya, Adam yang ia kenal adalah sosok yang periang dan bahkan memiliki cita-cita ingin selalu terlihat senyum dan bahagia. Sementara Adam yang kini ada dikelasnya memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda dengan Adam yang ia kenal. Akhirnya Nancy yang sempat berdiri itu kembali duduk. Dan menganggap jika pria itu hanyalah pria yang memiliki nama yang sama dengan teman masa kecilnya. Banyak hal telah berubah semenjak kepergian Nancy dari desa Dunster, banyak hal yang ia lewati sampai Nancy tak mengetahui banyak tentang Adam, semakin penasaran ia pada orang itu maka semakin besar pula usaha dia mendekatinya. "Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu, sedangkan Adam tinggal di desa Dunster, jika benar dia Adam teman kecilku, seharusnya dia menelepon saat tiba di London," gumam Nancy yang nampak melamun. Telah lama semenjak berpisah dengan Adam, Nancy selalu ingin mengunjunginya. Namun, Nancy tak punya keberanian untuk itu, ia takut Adam takkan mau menemuinya lagi karena dulu ia sempat meninggalkannya. Namun, itu hanyalah sepenggal kisah masa kecil Nancy dan Adam. Setelah tahu nama pria itu ditambah kejadian di lapangan basket, Nancy selalu berusaha mendekati pria yang memiliki nama Adam itu. Namun, seperti banyak dikatakan orang-orang, pria itu takkan pernah peduli dengan apa yang dilakukan orang-orang padanya. Padahal orang lain tahu jika pria itu memiliki rasa kepedulian tinggi pada orang-orang disekitarnya. Bahkan sampai mereka lulus dari sekolahnya, mereka tidak sempat saling mengenal satu sama lain. Pria itu tetap menjadi pria asing bagi Nancy. Namun, ketika mendengar nama itu, pikiran Nancy selalu teringat pada sosok teman masa kecilnya itu, seorang pria bernama Adam yang memiliki nama serupa namun, dengan karakteristik yang berbeda. "Entah kenapa semakin aku melihatnya semakin aku yakin kalo dia memang Adam yang aku kenal." Setelah kelulusannya di tingkat lanjutan, Nancy melanjutkan pendidikannya dan mendapatkan tempat kuliah di Universitas London. Ia mengambil jurusan ilmu sosial. Nancy adalah sosok yang periang dan mudah tersenyum terkadang ia juga bertingkah kekanak-kanakan. Dengan sifat yang ia miliki bukan mustahil baginya mendapatkan banyak teman bahkan saat ini teman yang ia miliki sangat banyak, beberapa diantaranya bahkan orang-orang penting. Tak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan ketika ia masih berada di key stage 4. Di tempat kuliah pun banyak laki-laki yang menyatakan cinta padanya. Dan lagi-lagi ia tak bisa menerima cinta dari pria manapun. "Aku sudah menentukan semuanya, entah kenapa aku selalu memikirkan orang itu, sulit membuka hati untuk orang lain bagiku." Sekeras apapun pria itu mencoba mendekati Nancy, ia pasti akan menolaknya. Namun tak sedikit pula yang kemudian menjadi temannya. "Memiliki banyak teman bukanlah sesuatu yang buruk ketika banyak orang mengatakan pertemanan palsu akan membunuhmu suatu saat." Setelah menyelesaikan kuliahnya nanti, Nancy berencana untuk mengunjungi kediaman Adam di Dunster. Karena ia merasa sudah siap dengan keadaannya itu. Ia berharap bisa menemui Adam di sana. "Setelah aku wisuda nanti, aku akan berkunjung kerumah Adam, untuk menemui Adam. Wah dia seperti apa ya sekarang? Apakah dia tumbuh menjadi pria yang tampan? Apakah dia telah memiliki kekasih? Ah, aku tak sabar ingin menemuinya," ucap Nancy sangat antusias menanti saat seperti itu. Nancy menyelesaikan semua program studinya di usia 21 tahun. Ini saatnya Nancy mengunjungi tempat tinggal Adam. Ia meminta ijin terlebih dahulu pada kedua orang tuanya bahwa hari itu akan mengunjungi Dunster. "Mengunjungi desa tempat aku dilahirkan membuat aku sedikit gugup apalagi semua kenangan itu membuat hatiku sedikit bergetar. Ibu, aku akan mengunjungi Adam dan memberitahunya jika aku telah menyelesaikan semua pendidikanku," ucap Nancy pada ibunya yang saat ini menyiapkan sarapan di atas meja. "Niat baik selalu dipermudah, jangan melakukan hal buruk jika tak mau celaka. Mengunjungi Dunster artinya kau menghargai tanah kelahiran mu, ibu harap kamu bisa bertemu dengan Adam dan sampaikan salam ku padanya dan juga orang tuanya, ya." Setelah mendapatkan izin itu, bergegas Nancy menyiapkan semua pakaiannya, menginap beberapa hari bukanlah rencana yang buruk. Nancy berangkat pagi hari sekitar pukul 08.00 waktu setempat. Karena Dunster berjarak cukup jauh dari kota London, sehingga ia berinisiatif untuk melakukan perjalanan pagi hari. "Ini pertama kalinya aku akan kembali ke sana, aku harap dia masih mengingat ku," ucap Nancy memandang sebuah foto yang masih ia simpan di dalam dompetnya. Ia menaiki kereta pada pukul 09.00 waktu setempat. Dan sampai di Dunster sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Nancy mulai terpukau saat bias matanya melirik ke arah jendela kereta, beberapa objek nampak lebih indah di pandang mata. Ciri khas Dunster dari dulu tak pernah berubah semenjak Nancy meninggalkan desa itu. Desa itu adalah desa terindah yang pernah Nancy tinggali. "Aku rindu semua pemandangan ini, seandainya waktu itu aku tidak pergi dari sini." Sesampainya ia di sana kemudian Nancy langsung menyusuri jalan-jalan ke arah Desa. Dunster bukan hanya berisikan tentang keindahan alamnya, Desa yang saat ini dijadikan pusat wisata itu memiliki konstruksi dan bangunan yang khas serta desain arsitektur dengan nilai seni tinggi menjadikan Dunster tempat wisata terbaik sampai detik ini. "Lama aku tak berkunjung, bahkan sekarang Desa ini sudah dijadikan pusat pariwisata, mungkin aku akan berkeliling nantinya jika telah bertemu Adam." Dunster merupakan desa abad pertengahan terluas di Inggris, di mana terdapat lebih dari 200 bangunan bersejarah terdaftar, yang sebagian berasal dari abad 11 dan 12. Listed Buiding adalah daftar bangunan-bangunan di United Kingdom yang dilindungi oleh undang-undang karena dinilai memiliki nilai sejarah maupun gaya arsitektur yang penting. Nancy masih ingat betul jalan menuju rumah Adam. Setelah ia menghirup aroma Dunster yang sangat khas, kemudian Nancy segera bergegas untuk menuju rumah Adam. "Tidak banyak yang berubah, hanya saja penduduk di sini lebih modern sekarang." Hal yang mengejutkan terjadi, Nancy tak pernah menemukan Adam di sana. Beberapa rumah nampak di tempati oleh keluarga yang berbeda. Nancy yakin dengan ingatan yang ia miliki, Nancy tak mungkin salah, jika rumah yang ia datangi siang itu adalah rumah Adam. Namun, ia mendapati pria yang memiliki usia sekitar 35 tahun mendiami rumah yang dulu di huni oleh Adam. Pria itu tinggal bersama istri dan dua anaknya. "Jadi, anda dulu pernah tinggal di sini? Maaf sekali jika seseorang yang anda cari tak ada di sini, karena dari 5 tahun yang lalu, kami telah membeli rumah ini," ucap pria yang berusia sekitar 35 tahun itu. "Hah? Jadi, sudah lima tahun yang lalu, ya? Aku sudah lama tidak mengunjungi Dunster sampai aku tidak tahu jika rumah ini berganti pemilik, maafkan aku karena telah mengganggu siang hari kalian," ucap Nancy kemudian pamit dari rumah itu. "Tidak masalah karena kami tidak sedang sibuk," jawab pemilik rumah itu. Tentu saja hal itu membuat Nancy sangat kecewa karena orang yang akan dia temui sudah tak tinggal di sana. Akhirnya Nancy memutuskan untuk kembali pulang kerumahnya. Sebelum Nancy pulang, pria yang kini tinggal di sana memberikan sebuah alamat pada Nancy. Alamat seseorang yang menjual rumah itu. "Jika orang itu penting bagimu mungkin aku bisa memberikan alamat rumah orang itu kepadamu, mungkin kamu akan lebih mudah mencari orang yang kamu maksud, lagipula mereka berpesan pada kami jika seseorang mencari mereka berikan alamatnya," ucap pria itu kemudian memberikan secarik kertas yang berisi alamat pemilik rumah sebelumnya. Nancy yang kecewa kini nampak terlihat melebarkan senyum di bibirnya. Walaupun kini ia tak bisa menemui Adam di Dunster, mungkin ia bisa menemuinya di alamat yang baru. "Benarkah? Wah, terimakasih tuan, anda baik sekali," ucap Nancy melemparkan senyum pada pria itu. Alamat yang tertera di sana terletak di kota Cambridge. Yang kebetulan tak terlalu jauh dari kota yang ia tinggali sekarang yaitu kota London. "Kota pelajar Cambridge, apakah sekarang kamu tinggal di sana?" Ucapnya yang kini tengah terduduk di kursi kereta memandang lambayung sore dari balik kaca kereta itu. Hari itu pencariannya berakhir, walaupun sedikit kecewa karena tak menemui Adam di sana. Namun, perasaan Nancy cukup lega karena pria penghuni rumah itu memberikan sebuah alamat padanya. "Aku harap aku bisa bertemu denganmu lagi, aku sudah berjanji bukan akan menikah dengan kamu," ucap Nancy yang kini merebahkan diri dikamarnya sembari menatap langit-langit kamarnya yang tampak agak gelap namun di penuhi oleh cahaya lampu berbentuk bintang dan bulan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD