Pemain Handal

1055 Words
Masih di tempat yang sama. Starla bangkit. Mendudukan diri ke sofa. Matanya kosong memandang kursi tunggal di sana. "Bren*sek!" umpatnya di sela hembusan nafas. Dering ponsel mengalihkan fokusnya. Melirik sekilas dan mendapati Daniel memanggil. Starla benci dibohongi. Starla benci dikhianati. Oleh karena itu, Starla harus melihat kedua jelmaan binatang itu mengemis ampun! Iya! Starla memang pendendam. Memangnya hal apa lagi yang bisa membuat wanita tulus melancarkan balas dendam jika bukan pengkhianatan? Terlebih dengan semua usahanya sejauh ini? Meyakinkan Papanya dan bahkan menjadikan Daniel dari yang tidak punya apa-apa menjadi orang berpengaruh dalam tatanan bermasyarakat. "Hallo?" panggil Starla setelah mengangkat dial. "Sayang kamu tadi telepon. Kenapa?" "Iya, tadi Tante Sarah mencari mu." "Oh iya. Tadi aku sudah bertemu beliau dan mengobrol. Sekarang kamu di mana?" "Aku?" Terdengar deheman dari seberang sana diikuti suara bising banyak orang. "Aku di kamar mandi," dusta Starla. Menyorot nanar kursi tunggal tempat mereka b******u tadi. Rasanya lidah ini sangat kotor hanya karena berkomunikasi dengan pria itu. "Kemarilah, Tante ingin mengambil foto kita berdua." "Baiklah." Telpon itu ditutup. Starla jejak melangkah ke cermin tempat ia menghias diri bersama MUA tadi. Mengambil fondation dan beberapa lainnya untuk memperbaiki make up-nya yang luntur berkat air mata. Mengoleskan dengan teliti hingga olesan lipstik merah menjadi sentuhan terakhir. Starla bukan wanita lemah. Dia yang menyalakan api. Maka api akan dibalas api. "Kita lihat, sejauh mana sandiwara ini akan berlangsung!" **** Hari ke tiga setelah menikah. Daniel dan Starla pindah ke apartemen. Alasannya karena lebih dekat dengan kantor dibanding rumah utama. "Sepertinya kamu belum rela meninggalkan rumah. Apa kita kembali saja?" tawar Daniel yang melihat Starla melamun memandang pemandangan kota dari lantai delapan. "Benar, aku memang masih belum rela. Tapi, ini sudah resiko. Aku sebagai istri tidak boleh egois bukan? Karena aku tidak lagi sendiri." Seulas senyum terpatri. Daniel menyentuh pundak Starla dari belakang. Perlahan tangannya melingkari tubuhnya hingga hembusan nafas terasa di ceruk leher Starla. "Aku bersyukur wanita yang kunikahi adalah kamu. Terimakasih sudah menerima banyak kekuranganku." Sunggingan sinis tampak jelas di wajah yang membelakangi Daniel. Bersyukur? Mungkin di kemudian hari ia akan mengganti kata itu dengan penyesalan. "Aku juga bersyukur. Bertemu laki-laki 'baik' seperti mu," ucap Starla menekan pada satu kata. Tubuh Starla dibalik oleh kuasa tangan Daniel. Kedua manik itu saling menatap. Tatapan sendu yang biasa Starla percayai sebagai tatapan tulus selama ini. Siapa yang menyangka. Dibalik topeng itu ada sosok iblis bermuka malaikat. "Kamu lelah?" tanya Daniel. Bibirnya telah basah ulah salivanya sendiri. "Lumayan," sahut Starla. Tidak berpaling dari tatapan palsu itu. Baginya kalah sesungguhnya adalah ketika menyerah. Air mata? Starla berjanji tidak akan menumpahkan air mata berharganya untuk laki-laki b******k seperti Daniel. Dan jika mereka menyuguhkan panggung sandiwara. Maka Starla akan ikut berperan di dalamnya. Menjadi karakter antagonis pun Starla siap. Asal dua parasit ini mendapatkan balasan setimpal. "Kalau begitu...." Semakin lama tubuh Daniel semakin mendekat. Tangannya telah berhasil menempati tengkuk leher Starla. Jarak semakin mengikis. Bibir mereka hampir bertaut jika Starla tidak buru-buru sadar dan berpaling. "Maaf... aku belum siap," ucap Starla lirih. Menjalani kewajiban istri? Tentu saja Starla akan melakukannya. Tapi, hanya dengan laki-laki baik! Garis bawahi! Daniel tidak ada satu centi pun dapat dikatakan baik setelah topeng pengkhianatannya dibuka. Sekilas terlihat raut kecewa dari mimik wajah Daniel. Mereka adalah dua orang dewasa yang sebelumnya berpacaran dengan sehat. Sejauh ini kontak fisik paling intim hanya mencium kening. Starla adalah wanita terhormat yang menjaga dengan baik kesuciannya. Akan tetapi suaminya justru diam-diam berselingkuh? Hell! Jangankan kesucian, seujung kuku pun Starla tidak sudi memberikannya. "Baiklah, aku tidak akan memaksa. Aku akan menunggumu." Kecup Daniel pada pergelangan tangan Starla. Melihat Daniel memasuki kamar. Starla bangkit menuju kamar mandi. Pantulan dirinya di cermin terlihat jelas betapa bencinya ia dengan situasi ini. Situasi yang memaksanya untuk menggunakan topeng tebal untuk menutupi kenyataan. Jika bukan karena sorotan media yang saat ini sedang mengarah pada pernikahan mereka. Starla pasti akan menggugat Daniel detik ini juga. Itu pasti akan mempengaruhi kerjasama yang sudah berjalan baik. Starla tidak ingin bertindak gegabah atas sakit hatinya. Perusahaan ini adalah buah keringat Papanya. Setelah meninggal, semua kepemilikan saham sementara diatasnamakan pada Daniel. Hanya 10 persen saja yang Starla pegang. Saat itu Starla tidak menyimpan curiga sama sekali. Daniel pun dikenal sebagai tangan kanan Papanya sehingga banyak petinggi yang menaruh keyakinan. Definisi ular bermuka dua adalah Daniel! Sekelas Starla pun dapat dikelabuhi. "Laki-laki bren*sek!" umpat Starla. Melirik tangan bekas ciuman tadi. Ia mencucinya berkali-kali. Menggunakan sabun hingga tak ada bau maupun bekas yang tertinggal. Sebesas itu kebencian Starla. **** "Hallo, selamat siang Pak. Saya sudah bertemu dengan Tuan Robert di bandara. Saat ini kami sedang menuju The Ritz Carlton hotel--" "Ugh! Yeah...." "Ha-hallo Pak Presedir?" "Bawa saja ke tempat perjanjian. Aku akan terlambat lima menit." Panggilan diakhiri sepihak. Theo menatap datar layar ponsel. Pasti bosnya itu sedang melakukan 'sesuatu'. Seperti jargonnya di media. 'Tiada hari tanpa skandal wanita'. "Sepertinya bos mu tahu cara bersenang-senang," ucap penumpang di belakang. Tidak lain Tuan Robert, salah satu ladang emas keluarga Adamson. Pemilik pertanian anggur terbesar di Spanyol. "Hahaha...." tawa garing Theo, "beliau memang sering bercanda saat menelepon." Begini-begini juga Theo masih mau menyembunyikan aib Tuannya. Jujur saja Theo sudah bosan memblokir serbuan media tentang skandal wanita Adamson. "Hahaha, tanpa ditutupi pun aku tahu perangai Adamson. Dia itu hanya mengikuti jejak ayahnya." Robert menilik jendala, "pada akhirnya dia akan jatuh cinta seperti orang gila pada satu wanita." Harapan Theo pun sama. Hanya saja sedikit diwarnai bumbu dendam mengingat usaha kerasnya selama ini. "Semoga bosnya menemui karma dan jatuh cinta pada satu wanita yang tidak bisa dimiliki sampai harus menurunkan harga dirinya." Kira-kira begitulah isi hati Theo. Hotel mewah di tengah distrik perkotaan Toronto, Kanada. Berjejer hiburan malam dan Art Gallery yang menjadi tujuan utama pertemuan kali ini. Adam berjalan memasuki front office hotel. Dengan setelan vest abu-abu senada dengan jas dan dasi maroon. Siapa yang tidak terpesona oleh wajah tegas terkesan dingin itu. Bahkan wanita paling polos pun memuja postur bak model pakaian dalam. Sangat kokoh dan keras. "Di mana kalian?" tanya Adam menempelkan ponsel ke telinga. "Saya dan Tuan Robert menunggu di lounge Pak." "Baiklah." Sambungan telepon dimatikan. Adam hendak berjalan ke sana. Namun, langkah itu disita oleh lirikan curi pandang dari wanita penjaga front office. Mencuri waktu sejenak. Adam menghampiri meja recepsionis. Menaruh kartu nama sembari menebar senyum. Dengan ini satu wanita berhasil ditaklukan. Siap-siap setelah pertemuan ini selesai, malam panas akan mereka seberangi bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD