Anxious

2649 Words
Chika mengembuskan napas lesu untuk kesekian kali. Terhitung sudah lima belas menit dia duduk di meja makan panjang sebuah restoran keluarga tempat keluarganya dan keluarga Raka mengadakan acara makan malam bersama, sejak itu pula wajahnya tampak tidak bersemangat sama sekali. Padahal Chika paling suka diajak makan di luar seperti ini. Namun, rupanya tidak untuk malam ini. Setelah kondisinya sudah dinyatakan pulih oleh dokter, Eyang Surya langsung memberi ide agar kedua keluarga makan malam bersama untuk merayakan pernikahan Chika dan Raka. Sejak keduanya resmi menikah beberapa minggu lalu memang belum ada acara apa pun untuk merayakannya. Jadi, Eyang berpikir kalau ini adalah waktu yang tepat. Eyang, Ayah, dan Bunda sibuk berbincang dengan Opa. Levi yang juga ikut ke acara itu duduk di samping Chika dan tampak sibuk dengan ponselnya. Sebenarnya Armand juga diajak ke acara itu, tapi batang hidung pria itu belum kelihatan karena harus menjemput sang calon istri, Airin lebih dulu. Omong-omong, Airin adalah seorang desainer yang karya-karyanya sudah mendunia. Wajar bila wanita itu begitu sibuk sampai harus dijemput langsung oleh Armand. “Jangan cemberut terus.” Raka membisikkan kata-kata itu tepat di telinga Chika. Chika yang sedang asyik memainkan jarinya pun melirik ke arah Raka itu dengan tatapan tajam. Raka menatapnya dengan datar dan melanjutkan, “gue tau lo terpaksa ikutan makan malam ini, tapi seenggaknya lo bisa pura-pura seneng di depan Eyang. Beliau baru keluar dari rumah sakit dan cuma mau berbagi kebahagiaan sama kita. Jangan kecewain Beliau.” Garis wajah Chika melunak. Dia mengalihkan pandangan dari Raka dan menunduk. Chika benci mengakuinya, tapi perkataan Raka memang benar. Padahal, Chika sendiri yang menyetujui perjodohannya dengan Raka demi kesehatan Eyang. Namun sekarang, saat Eyang sudah sembuh, dirinya malah bersikap kekanakan seperti ini. “Chika kok diem aja sih?” Suara berat Eyang menyapa gendang telinga Chika dan membuat gadis itu segera mendongak. “Kamu sakit, Sayang?” Chika menggeleng dan tertawa canggung menanggapi. “Enggak kok, Eyang. Chika cuma … hm, Chika kebelet. Iya, kebelet.” Chika yang sudah terlanjur berbohong pun akhirnya buru-buru bangkit dari kursi. “Maaf ya semuanya. Aku ke toilet dulu.” Eyang, Opa, Ayah, dan Bunda pun mengangguk. Levi masih sibuk dengan ponselnya, jadi dia tampak tak acuh, sementara Raka yang tahu kalau Chika hanya beralasan hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Kini, sosok yang berpura-pura ingin buang air kecil itu pun hanya bisa berjalan lesu ke toilet. Sungguh, mood-nya sedang berantakan hari ini dan itu membuat Chika tidak bersemangat melakukan apa pun. Sesampainya di toilet, dia hanya mencuci tangan sambil melamun. “Lho, Chika?” Suara feminin yang terdengar dari mulut seseorang yang berdiri di sampingnya membuat Chika menoleh. Matanya membulat saat mendapati siapa gerangan sosok yang menyapa dirinya. “Trisha, kan?” tanya Chika ragu-ragu sambil menunjuk sosok sang lawan bicara. Gadis bernama Trisha itu mengangguk cepat. “Apa kabar lo?” tanya Trisha sambil beringsut guna mencipika-cipiki Chika yang kini wajahnya sudah lebih cerah—terpaksa lebih tepatnya. Trisha adalah teman sekelas Chika semasa SMP. Mereka memang tidak terlalu dekat, tapi hubungan mereka dulu cukup baik. “Baik. Lo gimana?” tanya Chika usai menjauhkan diri. Sejujurnya Chika agak merasa canggung saat bercium pipi dengan Trisha tadi, tapi demi menghargai gadis itu, dia pun pasrah saja. Sebenarnya ada beberapa sifat dan sikap Trisha yang kurang berkenan di hati Chika sewaktu mereka sekolah dulu. Itu sebabnya Chika hanya bisa berusaha bersikap ramah pada gadis itu. Trisha mengangguk sambil tersenyum manis. “Gue baik juga. Oh ya, gue denger-denger lo kuliah di UMG juga, ya?” Chika agak terkejut mendengar pertanyaan itu, tapi dia tetap mengangguk sebagai jawaban. “Lo juga?” “Iya, gue ambil arsi. Lo … matematika, ‘kan?” Lagi-lagi Chika merasa terkejut, tapi kali ini karena dua alasan; pertama karena Trisha mengambil jurusan yang sama dengan Juno. Kedua, karena gadis itu tahu kalau dia mengambil jurusan matematika. Kembali mengingat Juno membuat mood Chika semakin buruk. Dia mendadak merasa sedih. “Berita cepat menyebar, ya?” Chika berujar dengan nada sendu. “Hehe, gue tau dari—“ Kring! Kring! Di tengah-tengah percakapan mereka, tiba-tiba suara ponsel menyapa. Trisha yang mendapat panggilan pun segera menjawabnya. “Halo? … Oh, udah selesai kok. Ya udah aku ke depan aja, ya.” Selama Trisha menelepon, Chika hanya mampu memerhatikan. Jika dilihat dari gelagatnya, Chika bisa menilai kalau pasti gadis di hadapannya sedang bicara dengan lawan jenis—pacar lebih tepatnya. Trisha selesai dengan kegiatan meneleponnya. Sambil menatap Chika tak enak, dia berujar, “Sori, Chik. Gue duluan, ya. Udah ditungguin nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya. Bye.” Chika tersenyum kecut dan membalas lambaian tangan Trisha yang kini sudah mulai meninggalkan toilet. Usai teman SMP-nya itu sudah tidak terlihat batang hidungnya, dia pun mendengus dan menggeleng tak habis pikir. “Dia masih sama aja kayak waktu SMP,” gumamnya. Karena merasa tak ada keperluan lagi di toilet, Chika pun memutuskan untuk keluar. Namun, di ambang pintu toilet wanita dia justru dikejutkan oleh keberadaan Raka yang seolah sedang menunggunya. Dengan nada sewot Chika bertanya, “ngapain lo di situ?” Raka yang bersandar di dinding pun menegakkan tubuhnya dan memicing menatap Chika. “Lo tuh yang ngapain di toilet lama banget? Tuh, Om Armand sama Tante Airin udah dateng, makanya gue disuruh nyusulin lo. Gue kirain lo kabur.” Chika mencibir. “Siapa juga yang kabur? Orang gue tadi ngobrol sama temen SMP gue tuh.” Gadis itu mengedik ke arah perginya Trisha. Raka pun refleks mengikuti arah yang dimaksud gadis itu. “Yang keluar sebelum lo tadi temen SMP lo?” tanya Raka memastikan. Wajahnya memang tampak datar, tapi dari nada suaranya kentara sekali kalau pemuda itu terkejut dan seakan merasa tak percaya. Chika mengangguk tanpa menaruh curiga pada reaksi pemuda di depannya itu. “Iya, dia temen sekelas gue. Ternyata dia kuliah di UMG juga dan sejurusan sama Juno.” “Berarti dia satu sekolah juga dong sama Teza?” Chika tertawa, merasa lucu dengan pertanyaan yang dilontarkan Raka. “Ya iyalah. Kan, Teza temen gue dari SMP, otomatis satu sekolah juga dong sama dia. Bahkan dulu Teza ngejar-ngejar Trisha, tapi ditolak terus. Cuma gue rasa emang Trisha-nya aja yang sengaja sok jual mahal. Soalnya dia emang terkenal playgirl waktu itu. Hobi flirting sana-sini. Habis dibikin baper, ditinggalin deh.” Sadar kalau dirinya terlalu banyak bicara, Chika refleks mengulum bibir. Dia melirik pada Raka yang kini menatapnya dengan satu alis terangkat dan senyum menyebalkan yang khas. “Kok gue jadi cerita ke lo sih?” Lantas, dia juga sadar akan satu hal. “Terus kok lo langsung nanyainnya Teza gitu?” Raka terkesiap dan berdeham pelan. Dia tampak berusaha menutupi kegugupannya. “Nggak papa, gue penasaran aja. Emang nggak boleh?” “Eh, tapi pertanyaan lo itu nggak nyambung, tau! Masa nyambunginnya ke Teza? Padahal yang gue sebut kan Juno.” “Oh, terus lo penginnya gue bahas Juno gitu?” Chika pun terdiam usai Raka berujar begitu. Hanya dengan mendengar nama sang mantan saja sudah mampu membuat Chika dilanda kesedihan, apalagi jika membahasnya. Raka berdecak. “Udah deh, daripada kita ributin itu, mendingan balik ke sana. Mereka udah nungguin kita buat pesen makan. Ayo!” Chika yang masih merasa curiga tidak lantas beranjak dari tempatnya berdiri. Hal ini memantik rasa gemas Raka yang pada akhirnya berinisiatif menarik pergelangan tangan gadis itu. Ajaibnya, Chika tidak menolak atau berusaha menarik kembali tangannya. Dia yang masih dalam mode terkejut hanya mampu pasrah saat Raka beralih menggenggam telapak tangannya. Di tengah perjalanan kembali ke meja mereka, sambil cemberut Chika katakan, “pokoknya lo masih utang penjelasan ya sama gue.” Dan Raka pun hanya mampu menghela napas mendengarnya. ***** “Chika cantik banget, ya?” Ujaran kekaguman untuk kesekian kali terlontar dari mulut Airin. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu tak henti-hentinya menatap Chika yang kini tersipu malu. Tadi saat mereka berkenalan untuk pertama kali Airin sudah memuji Chika habis-habisan dan rupanya saat mereka makan pun pujian itu masih mengalir untuk si gadis. Sambil tersenyum canggung Chika membalas, “E-Eh, makasih, Tante.” Sungguh, dia merasa agak malu karena dipuji terus seperti ini. Saat dia melihat reaksi orang-orang di sekitarnya pun, mereka hanya tersenyum—kecuali Levi yang seolah menahan tawa mengejek dan Raka yang tetap datar. Menyadari ketidaknyamanan yang dirasakan oleh istri sang keponakan, Armand pun menegur calon istrinya. “Sayang, Chika-nya jangan dipuji terus kayak gitu dong. Malu lho dia.” Airin berdecak. “Ih, kenapa sih? Orang Chika-nya beneran cantik kok masa aku nggak boleh bilang cantik?” Kemudian, wanita cantik berwajah babyface itu beralih pada Chika. “Chika kapan-kapan mau ya jadi model Tante? Tante tuh nggak tahan liat yang cantik-cantik kayak kamu gini, pengin dandanin. Mau, ya?” Chika pun menjadi semakin kikuk ditanyai seperti itu. Gadis itu membuka mulutnya, tapi kemudian mengatupkannya kembali. Dia bingung. “Nanti Tante juga kasih baju khusus Tante bikinin buat Chika. Gimana?” Melihat Airin mulai kembali bertingkah, Armand kembali angkat bicara. “Sayang, kalo anaknya nggak mau jangan dipaksa.” “E-Eh, bukannya nggak mau kok Om, aku cuma malu aja.” Chika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Berarti Chika mau, kan?” Airin memastikan. Wajah dan tatapannya tampak berbinar. Anggukan yang diberikan Chika pada detik selanjutnya membuatnya semakin girang. Armand yang melihatnya hanya mampu menggeleng tak percaya. Kemudian, tatapan memicing pun diarahkan Airin pada Raka yang masih asyik menyantap makanannya. “Raka juga harus mau, ya jadi model Tante. Itung-itung nemenin istri kamu.” Raka pun merespons, “Emang masih butuh aku jadi model?” “Iyalah, Raka. Kamu tuh dimintain Tante nggak pernah mau, padahal postur dan wajah kamu mendukung lho. Tuh, istri kamu aja mau kok. Sekali ini aja, ya?” “Yakin emang maunya cuma sekali? Nggak bakal minta tolong lagi?” Raka memicing. Airin pun mendengus karena digoda oleh calon keponakannya itu. “Ya kalo hasilnya bagus mah, pasti akan ada kali kedua, ketiga, dan seterusnya sih.” Airin berdecak. “Tapi, kamunya mau enggak? Itu yang penting sekarang.” “Udahlah, Rak, mau aja. Itung-itung nemenin Chika juga kan. Daripada tante kamu maksa-maksa mulu. Nggak capek apa kamu ditanyain terus?” Mendengar perkataan Armand, Airin langsung menghadiahi calon suaminya itu pelototan tajam. Armand tampak tidak terpengaruh dan fokus menyantap makanannya. Melihat tingkah laku kedua sejoli itu membuat Chika tanpa sadar tersenyum. Mood-nya mulai naik tanpa sadar. Hal ini tentu saja tidak luput dari perhatian Raka yang ikut merasa lega. “Ya udah deh, aku mau,” ujar Raka setelah mengalihkan pandangan dari Chika. Jawabannya menuai reaksi girang dari Airin. “Bagus. Kalo gitu ntar Tante kasih tau misal ada koleksi baru, ya. Kalian akan jadi modelnya.” Setelah itu yang terdengar hanya suara sendok-garpu yang beradu dengan piring. Kedua keluarga yang kini telah menjadi satu tersebut makan dengan tenang dan baru memulai obrolan lagi setelah semua selesai makan. ***** “Rakaaaa!” rengekan itu terus dilontarkan mulut Chika yang sedang menunggu Raka keluar dari kamar mandi. Gadis itu bersedekap sambil memasang wajah cemberut. Ini sudah malam dan seharusnya dia sudah berlayar ke alam mimpi, tapi demi menagih jawaban Raka atas rasa penasarannya, Chika rela tidak tidur dulu. Pintu kamar mandi pun terbuka dan menampilkan sosok Raka yang dengan handuk di tangan. Sambil mengusap-usap rambutnya yang masih basah, Raka bertanya, “Apa sih berisik banget? Orang lagi mandi juga.” Sambil memicing Chika katakan, “Lo masih utang penjelasan ke gue, tau.” Tak mengerti, Raka bertanya, “Penjelasan soal apa?” Sikap Raka membuat Chika berdecak. “Yang tadi di resto. Lo nanyain Teza. Apa maksud lo?” Raka memutar bola mata malas sambil berlalu dari posisinya. Dia menuju meja belajarnya dan duduk di sana. "Emang kalo gue jelasin lo bakal percaya?” Chika hendak menjawab, tapi mendadak urung. Wajahnya kelihatan tidak yakin sekarang. “Tergantung jawaban lo lah. Kalo jawaban lo masuk akal mungkin gue percaya. Yang penting bilang dulu ada apaan sih?” Raka terdiam sekarang, tampak menimbang-nimbang sambil memerhatikan raut penasaran Chika. Akhirnya, Raka pun menghela napas panjang dan menjawab, “Gue liat Teza sama cewek itu beberapa hari lalu di kafe dan mereka keliatan mesra.” Seperti dugaan Raka, Chika tampak kaget dan terdiam usai mendengar jawabannya. Raka memutuskan untuk menunggu reaksi lebih dari gadis itu sebelum kembali bicara. “Lo yakin itu Teza?” tanya Chika meragukan. Tidak sepenuhnya meragukan karena Chika hanya ingin memastikan kalau Raka tidak salah orang. Raka mengangguk. “Gue emang baru sekali ketemu dia, itu pun karena nggak sengaja ketemu sama lo waktu itu. Tapi gue yakin yang gue liat itu Teza. Jarang-jarang ada orang yang punya muka anime kayak dia.” Chika mengamini dalam hati. Wajah Teza memang ganteng dan unik. Dia seperti melompat keluar dari komik saking unreal-nya wajah pemuda itu. Kini, jadi mengaitkan informasinya yang baru saja didapatnya dengan keterdiaman Leta selama beberapa hari ini. Ya, ada yang aneh dari sikap Leta belakangan ini. Gadis itu memang pendiam, tapi entah kenapa Chika merasa kalau diamnya Leta kali ini karena menyimpan sesuatu. Pertama kalinya dia tahu Letta jadi lebih pendiam daripada biasanya adalah dari Levi yang mengantarkan Leta pulang tempo hari. Saat Chika bertanya pada Leta apa yang dilakukannya di depan kelab, Leta menjawab kalau dia hanya duduk-duduk saja di sana setelah pulang dari rumah teman. Tidak masuk akal, bukan? “Kalo lo masih nggak percaya, mending lo buktiin aja dulu.” Usulan Raka menimbulkan pertanyaan lain di benak Chika. “Caranya?” Raka mengangkat bahu. “Ke kafe itu mungkin buat cari tahu Teza bakal ke sana lagi sama cewek itu enggak.” “Jadi, maksud lo kita buntutin dia gitu?” Raka mengernyit. “Kita?” Chika mengangguk. “Iya, kita. Lo juga harus ikutan lah, kan lo yang ngusulin dan lo juga yang liat mereka jalan pertama kali.” “Heh, lo pikir gue nggak punya kerjaan lain?” “Ya lo pikir gue juga nggak punya kerjaan lain? Gue maba, gue juga banyak tugas, PR. Tapi karena soal dua sahabat gue, gue nggak mungkin dong diem aja? Jadi plis, lo ikut gue buat buktiin ini, ya?” Chika mulai memohon dengan wajah memelas dan sumpah demi apa pun Raka paling benci melihat gadis di hadapannya mulai memasang wajah seperti itu. Sambil berdecak dan mendengus kasar akhirnya Raka mengangguk. “Iya deh iya. Besok sore habis ngampus kita ke sana buat mastiin. Soalnya waktu gue liat mereka di kafe juga jam-jam segitu.” Chika tersenyum lebar. “Oke deh.” Gadis itu pun mengambil posisi berbaring dan menyelimuti tubuhnya hingga ke batas d**a. Usai mengeringkan rambutnya, Raka juga bersiap tidur. Akan tetapi, setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Chika rupanya belum juga menjemput alam mimpi, berbeda dengan Raka yang sudah mendengkur halus. Gadis itu tak bisa tidur karena masih memikirkan kata-kata Raka. Kini gadis itu memandang langit-langit kamarnya sambil terus merenung. Leta gimana, ya? Mengambil ponsel, Chika mencoba mengirim chat pada sahabatnya itu. ‘Ta. Udah tidur belum?’ Pesan tersebut bertanda centang dua, yang berarti Leta mengaktifkan ponsel dan paket datanya. Tidak sampai semenit menunggu, tanda centang dua tersebut berubah warna menjadi biru dan status terakhir dilihat berubah menjadi online. ‘Belum, Chik. Kenapa?’ Balasan Leta membuat jantung Chika berdegup kencang secara tiba-tiba. Entah kenapa dia menjadi bingung harus berkata apa. Sambil mengontrol kegugupannya, Chika pun membalas lagi. ‘Boleh telpon nggak?’ Leta langsung membalas, ‘Boleh’ Chika pun bangkit dari kasur dan beranjak ke kamar mandi. Setelah mempersiapkan diri, dia pun mulai menekan tombol telepon dan menanti jawaban dari ujung sambungan. “Kenapa, Chik? Lo nggak kenapa-napa, kan?” Begitulah yang pertama Leta tanyakan saat menjawab panggilan dari Chika. Jujur saja hal ini membuat Chika semakin tidak kuat membayangkan reaksi sahabatnya mengenai Teza dan Trisha. Dia terus berharap kalau kecurigaannya tidaklah benar dan Raka hanya salah menyangka saja. “Enggak kok, Ta. Gue nggak kenapa-napa. Cuma lagi nggak bisa tidur aja nih,” bohongnya. Sungguh, sebenarnya dia ingin menanyakan Teza, tapi entah kenapa lidahnya kelu saat akan menyebutkan nama sang sahabat. Leta tertawa. “Ya ampun, gue kirain kenapa.” Mau tidak mau Chika ikut tertawa walau terkesan canggung. Dia pun memberanika diri bertanya, “Ta, lo sama Teza gimana? Baik-baik aja, kan?” Lama tidak ada jawaban. Namun, pada detik kelima Leta menjawab, “Baik kok, Chik. Kenapa tiba-tiba tanya gitu?” Nada suara dan jawaban Leta entah kenapa tidak terasa sinkron bagi Chika. Dari nada suaranya terdengar sekali kalau Leta seolah sedang menutupi sesuatu dan jujur saja ini semakin menguatkan kecurigaan Chika terhadap Teza dan Trisha. “Enggak papa sih. Gue cuma lagi kangen aja sama kalian. Kangen ngerecokin kalian ngedate.” Kata-kata Chika membuat Leta tertawa, tapi tidak selepas biasanya. Pada saat itulah Chika yakin kalau memang ada yang tidak beres dengan sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD