Chika cukup merasa senang karena hari ini akhirnya dia dan Leta bisa bertemu di kelas yang sama. Pasalnya, nomer mahasiswa Chika genap sedangkan Leta ganjil, itu sebabnya mereka sering berada di kelas yang berbeda. Memang mereka bisa bertemu di sela-sela jam break kelas, tapi karena ruang kelas mereka tak jarang berada di gedung yang berbeda atau mereka sibuk mengerjakan tugas masing-masing, keduanya tetap jarang bertemu atau menghabiskan waktu bersama. Hal ini jugalah yang membuat Chika berpikir kalau dia mulai tidak tahu apa-apa mengenai sahabatnya. Maka dari itu, pertemuan di kelas ini sangat penting karena dengan begitu dia bisa melihat sendiri bagaimana Leta, apakah baik-baik saja atau tidak.
Saat Chika sampai di kelas, hanya ada beberapa orang saja yang sudah datang. Semalam dia sudah janjian dengan Leta akan duduk bersama, jadi dia tinggal memilih meja yang nyaman untuk mereka mendengarkan materi selama dua SKS kedepan. Seperti biasa, Chika memilih meja di baris kedua kolom kedua—tengah. Dirinya dan Leta memang punya kebiasaan duduk di tengah sejak SMA dulu dan kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.
“Woy, tumben amat udah dateng lo?” Suara berat bernada menyebalkan yang khas itu menyapa gendang telinga Chika yang baru saja membuka diktatnya. Gadis itu memutar bola mata malas dan langsung menghalangi sosok tinggi menjulang sang empunya suara yang hendak duduk di sampingnya.
“Ini buat Leta. Lo duduk di belakang aja tuh!” ujar Chika galak sambil menancapkan tatapan menusuk pada sosok yang sudah dianggapnya sahabat juga itu.
Luki yang terperanjat kaget karena sikap Chika pun mendengus. “Ngelarang sih ngelarang, tapi jangan bikin gue jantungan bisa kali, Chik.” Pemuda itu pun mengambil tempat tepat di belakang Chika duduk. Chika tersenyum tanpa dosa melihatnya.
“Nah, gitu dong. Siapa tau kan lo ntar bisa sebangku sama Yuki.” Chika menaik-turunkan alisnya, sengaja menggoda.
“Yeu, ini anak malah ngecengin gue.” Luki memang tampak malas mendengar kata-kata Chika, tapi dia tersenyum malu-malu setelahnya. Bukan rahasia lagi di angkatan 15 kalau Luki dan Yuki memang tampak manis bersama. Banyak teman-teman seangkatan mereka menjodoh-jodohkan keduanya, termasuk Chika yang tahu betul kalau sahabat barunya menaruh rasa pada Yuki—si gadis manis berkulit putih dengan rambut keritingnya yang khas.
Di tengah aksinya menggoda Luki, Chika melihat Leta masuk kelas dengan kepala yang tertunduk. Namun, saat mendongak dan tatapannya bersirobok dengan dirinya, Leta langsung tersenyum dan melambaikan tangan. Chika membalasnya.
“Tumben dateng duluan?” tanya Leta sambil duduk di bangku yang sudah dipilihkan oleh Chika. Sang sahabat meringis menanggapi.
“Kan biar dapat bangku ini.”
“Saking posesifnya sama tuh bangku gue nggak dibolehin duduk di situ, Ta,” cerocos Luki yang langsung dihadiahi pukulan keras di lengan oleh Chika yang tentu saja membuat pemuda itu menjerit.
“Tuhkan, sahabat lo galak banget kan, Ta?” Luki mendelik menatap Chika penuh permusuhan. Leta tertawa melihat kelakuan sahabat dan teman barunya itu.
“Kalian kok malah berantem kayak anak kecil sih?” Leta berusaha meredakan tawanya. Gadis cantik itu menggeleng tak percaya.
“Ya gini nih kelakuan si Chika tiap harinya. Jadiin gue samsak.” Luki kembali mengadu. Chika hanya menjulurkan lidah, mengejek.
“Daripada berantem, mendingan belajar deh buat nanti. Tau sendiri kan, Bu Rani suka nanyain random. Jangan sampe deh pas kena, kalian malah nggak bisa jawab.”
“Oh iya!” Chika dan Luki kompak menepuk jidat dan langsung membuka diktat serta catatan masing-masing. Tentu saja hal ini menuai tawa keluar dari mulut Leta untuk kesekian kalinya. Gadis itu hanya menggeleng tak habis pikir dan membuka catatannya sendiri, belajar.
*****
From : Raka
Gue udah di kafe
Usai membaca pesan singkat dari Raka, Chika buru-buru membereskan bukunya dan bersiap pergi. Agar sahabat-sahabatnya tidak curiga, dia tetap berpamitan kepada mereka. “Guys, gue duluan, ya!”
“Lho, Chik, kita kan ada briefing?” Suara Leta membuat Chika menghentikan langkah dan membalikkan badan. Dia menatap Leta kaget dan kebingungan.
“Briefing apaan?!” Suara melengkingnya membuat Leta dan Luki kompak berjengit. Namun, Luki lebih dulu memulihkan rasa kagetnya dan menepuk jidat Chika cukup keras. Sang empunya menjerit sambil menyentuh jidatnya dan merengut tak terima.
“Lukiiiii!”
“Makanya lo tuh pikun jangan dipelihara deh, Chik. Sekarang tuh hari Senin, biasanya kalo hari Senin kita briefing apaan?” Luki bersedekap dan menatap Chika galak. Chika yang teringat pun akhirnya membulatkan mata.
“Ya ampun, gue lupa kalo ini minggu terakhir MATRIX,” ujar Chika lemah. MATRIX adalah nama ospek jurusan Matematika di kampus Chika. Ospek ini diadakan selama sebulan dan setiap minggunya angkatan 15 diberi tugas, baik individu maupun angkatan. Sekarang adalah minggu terakhir dan pada akhir pekan ini akan diadakan acara puncak yang diadakan di Bogor.
Serius, Chika benar-benar lupa, padahal dia juga ada janji dengan Raka mau memata-matai Teza.
“Lo kayaknya buru-buru. Mau ke mana sih?” Leta bertanya dengan raut penasaran. Namun, Chika menggeleng dan meringis.
“Hehe, nggak ke mana-mana kok. Cuma kebelet pipis aja. Bentar, ya. Hm, kalian entar langsung ke Hubi aja. Gue nyusul.” Hubi adalah singkatan untuk hutan biologi, dinamai begitu karena hutan buatan tersebut adalah milik fakultas biologi yang bersebelahan dengan fakultas MIPA. Banyak yang memanfaatkan jalanan kosong yang cukup luas di hubi untuk tempat berkumpul angkatan dari jurusan lain.
Luki hanya menggeleng tak percaya, sedangkan Leta tersenyum maklum menanggapi. Gadis itu mengangguk sebagai tanda mempersilakan.
Begitu mendapat lampu hijau, Chika buru-buru kabur ke toilet. Dia pergi ke salah satu bilik dan mengeluarkan ponsel, berniat menghubungi Raka yang sudah berada di kafe tempat mereka akan memata-matai sahabatnya.
“Kenapa?”
“Duh, sori banget, Rak. Gue nggak bisa ke sana. Hari ini briefing buat MATRIX. Tau sendiri, kan kalo ini wajib buat maba?”
Terdengar helaan napas lelah dari ujung sambungan dan untuk sesaat Chika merasa bersalah pada pemuda yang berstatus sebagai suaminya itu. Namun, dia buru-buru menjelaskan, “Gini aja deh. Karena lo udah ada di situ, coba lo tunggu dulu deh sampe Teza dateng, trus nanti lo videoin aja deh tuh. Buat bukti gitu. Nah, setelah briefing, semisal Teza masih di sana, gue baru nyusul buat konfrontasi dia. Gimana?”
Lagi, Chika mendengar Raka mendengus dan itu membuatnya menggigit bibir, merasa tak enak. Dia takut Raka menolak gagasannya mentah-mentah.
“Oke deh. Lagian gue sekalian skripsian di sini.”
“Yes! Okey, thank you so much, yaaa. Gue tutup dulu. Ntar gue kabarin lagi.”
*****
Pip.
Raka terkejut kemudian mencibir begitu Chika langsung mengakhiri panggilan mereka. Dia menatap ponselnya kesal lalu meletakkannya di meja. Beralih membuka laptop di atas meja dan menyalakannya. Yeah, sebenarnya dia sering ke kafe ini hanya untuk skripsian. Saat itulah dia melihat Teza dan gadis bernama Trisha yang sepertinya adalah selingkuhan sahabat Chika tersebut. Beruntung, mejanya memang agak jauh dari jangkauan mereka dan Teza juga tidak terlalu mengenali wajahnya. Itu sebabnya Teza tidak tahu sama sekali kalau Raka sedang memerhatikan.
Hari ini, Raka sengaja memilih meja yang sama dengan harapan dari mejanya ini dia bisa mengamati Teza dan Trisha dengan leluasa seperti hari itu.
“Silakan pesanannya, Mas.”
Di tengah kegiatan mengerjakan skripsi dan menanti datangnya Teza, makanan dan minuman yang Raka pesan pun datang juga. Dia tersenyum dan mengangguk sopan pada pelayan kafe usai perempuan itu meletakkan café latte yang disusul dengan waffle.
Usai pelayan pergi, Raka kembali fokus pada kegiatannya. Kembali tenggelam pada layar laptop yang diselingi dengan membaca buku setebal sekitar 400 halaman.
Raka tidak tahu sudah berapa lama dia tenggelam dalam kegiatannya, tapi saat pandangannya beralih ke meja yang dua hari lalu ditempati Teza, dia terkesiap. Entah sejak kapan, Teza benar-benar ada di sana bersama dengan Trisha. Tanpa basa-basi, Raka menyiapkan ponselnya guna merekam mereka. Memang dari mejanya dia tidak akan bisa mendengar percakapan keduanya, tapi setidaknya gestur tubuh sudah cukup valid dijadikan bukti atas perselingkuhan mereka.
“Berengsek,” lirih Raka kesal tanpa sadar saat melihat Teza mengulurkan tangan ke pipi Trisha dan mengusapnya penuh cinta. Pemuda berwajah anime itu bahkan menggenggam tangan gadis yang duduk di depannya dan menciumnya.
Sungguh, kalau boleh jujur Raka jijik sekali melihatnya. Mungkin kalau yang Teza selingkuhi adalah perempuan yang sama berengseknya dengan dirinya, Raka tidak akan peduli. Namun kenyataannya, Leta jauh dari kata berengsek. Walau tidak terlalu mengenalnya, Raka tahu bahwa Leta gadis yang sangat baik dan tulus. Sayangnya, dia justru mendapatkan pacar yang tidak tahu terima kasih seperti Teza.
“Sial, gue nggak tahan!” Raka yang sudah terbakar amarah mulai bangkit dari tempatnya untuk menghampiri Teza. Namun, ….
Bugh!
“Berengsek lo, Za!”
… baru akan melangkah dia justru dikejutkan oleh kehadiran Levi yang langsung menonjok dan memaki Teza. Membuat pemuda itu tersungkur dan Trisha berteriak karena kaget. Tidak hanya Trisha, para pengunjung kafe lainnya juga terkejut dengan apa yang terjadi. Alhasil, melihat keributan itu Raka pun tetap berdiri di tempatnya dan mengamati. Melanjutkan kegiatan merekamnya. Kalau situasinya makin buruk, barulah dia akan muncul untuk menengahi.
“Apa-apaan sih lo nonjok cowok gue? Lo siapa, hah?!” Trisha mendorong Levi kemudian mencoba membantu Teza yang bibirnya berdarah untuk berdiri. Pemuda itu hanya menunduk, tak berani balas menatap Levi yang menatapnya dengan tatapan membunuh.
“Lo tuh cowok paling nggak bersyukur yang pernah gue kenal ya, Za. Tega-teganya lo selingkuhin Leta demi cewek kayak dia?”
“Eh, jaga ya mulut lo!” Trisha semakin terpancing. “Lo nggak kenal gue. Jadi—“
“Siapa bilang gue nggak kenal lo?!” Levi membentak. “Lo mantannya Temmy, kan? Dan lo pernah selingkuhin Temmy sama cowok yang namanya Dion. Lo pikir gue nggak tau track record lo?”
Trisha terbungkam dan Teza tampak terkejut karenanya. Levi menatap keduanya bergantian dan tertawa mengejek. “Kalian sama-sama sampah, ya. Cocok kalian.”
“Alah, lo nggak usah sok suci deh, Kak. Nggak usah sok-sokan belain Leta,” akhirnya Teza angkat bicara setelah cukup lama bungkam. “Lo juga suka mainin cewek, kan?”
“Tapi gue nggak mainin cewek baik-baik kayak Leta!” Levi tersenyum sinis. “Gue sadar kok gue sampah, tapi gue mainannya juga sampah. Nggak kayak lo, Za.”
Trisha dan Teza terdiam. Levi kembali berujar, “tapi congrats deh ya buat kalian berdua yang nggak tau malu. Setelah liat kelakuan lo yang begini, gue rasa lo emang nggak pantes buat Leta. She deserves someone better.”
Setelah itu, Levi pun pergi dari kafe. Teza dan Trisha hanya tertunduk malu kemudian memutuskan untuk cabut dari sana.
Drrt! Drrt!
Raka yang sejak tadi hanya menjadi penonton pun memeriksa ponselnya yang bergetar. Dia mengangkat panggilan tersebut dan berujar, “lo nggak perlu ke sini. Teza sama Trisha udah dilabrak sama Levi.”