Approval

2762 Words
Sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat sekitar dua belas tahun yang lalu, atau tepatnya pada saat ia berusia sembilan tahun, Raka harus tinggal bersama Om Armand dan Opa Alaric. Sejak saat itu pula Raka jadi terbiasa mengikuti semua perkataan Opa. Raka berpikir kalau itu adalah salah satu cara untuk membalas kebaikan serta curahan perhatian dan kasih sayang yang telah Opa berikan padanya. Raka anak yang penurut, memang, tapi bukan berarti ia akan selamanya begitu. Ia juga bisa muak bila harus selalu melakukan apa yang bukan menjadi kesukaannya. Contoh nyatanya adalah tiga tahun yang lalu saat Raka lulus SMA. Raka yang lelah selalu menjadi cucu penurut mulai memberontak. Dengan terang-terangan menolak keinginan Opa yang menyuruhnya masuk jurusan Hukum atau Kedokteran. Raka lebih memilih untuk masuk jurusan Matematika hanya karena alasan sederhana; dia suka memecahkan soal matematika. Tentu saja saat itu Opa menentang karena dia berpikir jurusan Matematika prospek kerjanya tidak sehebat jurusan Hukum atau Kedokteran. Namun, dengan sekuat tenaga Raka mencoba membuktikan kalau semua jurusan itu baik. “Kalau semester ini IP kamu 4, Opa restuin kamu masuk Matematika dan akan nurutin semua kemauan kamu!” kata Opa saat Raka resmi jadi maba Matematika tiga tahun lalu. Kesempatan yang Opa berikan padanya tentu saja tidak disia-siakan oleh Raka. Raka membuktikan seberapa seriusnya dia dengan jurusan yang diambilnya ini dengan serius belajar. Well, sebenarnya Raka tidak memerlukan tenaga ekstra untuk belajar karena pada dasarnya dia punya bakat di bidang matematika sejak kecil. Hasil jerih payah Raka pun terbayarkan dengan raihan IP 4 pada akhir semester. Sejak saat itu, Raka dibebaskan oleh Opa untuk menjalani kehidupan seperti yang ia mau, yaitu kuliah di jurusan Matematika dan tinggal mandiri, keinginan yang sejak dulu ditentang keras oleh sang kakek. Walau sudah tinggal terpisah dengan Opa dan Om Armand, nyatanya Raka tidak bisa begitu saja menghirup udara kebebasan seperti yang ia mau. Diam-diam, Opa masih sering mengawasinya agar tidak berbuat macam-macam. Untungnya, sifat Raka yang masih terhitung anak baik-baik tidak hilang. Kenakalannya hanya sebatas gonta-ganti gebetan atau pergi ke kelab untuk menemani Leon clubbing. Dia tidak pernah tidur dengan perempuan, minum alkohol, ataupun merokok dan mengonsumsi n*****a. Raka memang pernah minum, tapi itu tidak ia jadikan sebagai kebiasaan. Ya, semua itu terjadi ketika Raka baru pindah ke apartemen, sekarang Opa sudah tidak pernah lagi mengawasinya dan itu juga atas campur tangan Om Armand yang berhasil membujuk Beliau. Sayangnya, setelah sekian lama bisa merasakan kebebasan, kini Raka harus kembali menjadi cucu penurutnya Opa. “Opa, apa ini nggak berlebihan? Kami berdua masih sama-sama muda, apalagi Chika juga baru aja jadi mahasiswi. Kasihan dia, Opa,” Raka mencoba bernegosiasi dengan Opa. Saat ini keduanya sudah ada di luar ruang rawat Eyang Surya. Raka menarik Opa keluar dari ruangan itu tepat setelah Beliau mengumumkan perjodohannya dengan Chika. Opa menghela napasnya sebelum menjawab, “Sebenarnya Opa juga inginnya kalian itu lulus kuliah dulu baru nikah, tapi kamu juga lihat sendiri, kan, bagaimana kondisi Surya tadi? Surya ingin kalian menikah sebelum dia meninggal. Itu sebabnya kami mengambil keputusan ini, Rak.” Penjelasan Opa membuat Raka tidak bisa berkata-kata. Dia bingung setengah mati. Raka ingin sekali menolak perjodohan ini karena dia kasihan pada nasib Chika nantinya, tapi kalau melihat kondisi Eyang Surya tadi dia jadi tidak tega. Padahal, Raka sendiri juga tidak punya alasan untuk menolak. Raka tidak punya pacar dan tidak percaya pada cinta, jadi kalaupun dia menikah dengan seseorang yang tidak dicintainya sama sekali tidak masalah. Toh, Raka yakin sampai kapanpun dia tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Jadi, mau menikah sekarang atau beberapa tahun lagi sama saja. Itu sebabnya Raka kasihan pada Chika karena dia yakin, pemikiran seorang perempuan menyangkut hal-hal seperti itu tidak sesederhana pemikirannya. “Opa,” panggil Raka pelan yang langsung membuat Opa menatapnya dengan antusias. “emang apa sih alasan yang mendasari kalian berdua ngejodohin kami?” Pertanyaan Raka justru membuat Opa terkekeh. Raka menatap pria paruh baya yang berdiri di depannya dengan tatapan aneh. “Alasannya itu sebenarnya agak konyol sih,” Opa mulai bercerita sambil sedikit menerawang, seperti mengingat-ingat kejadian yang telah lama berlalu. “Jadi, dulu Opa dan Surya menyukai perempuan yang sama, yaitu Laras, neneknya Chika sama Levi. Waktu itu Surya nggak berani menyatakan cintanya dan bahkan nggak bilang ke Opa kalau dia suka sama Laras. Padahal waktu itu Laras sebenarnya juga suka sama Surya. Opa tahu hal itu karena Laras bilang sendiri waktu nolak cintanya Opa.” Opa menjeda sejenak. “Ya udah, setelah Opa tahu yang sebenarnya, Opa coba nyomblangin mereka. Eh, akhirnya mereka pacaran dan menikah. Karena itu, mereka akhirnya jadi merasa berhutang budi sama Opa. Akhirnya kami bikin janji untuk menjodohkan keturunan kami kelak supaya kami bisa jadi keluarga. Nggak tahunya jatuhnya ke kamu sama Chika karena kan anak-anak kami sama-sama cowok semua.” “Cuma karena itu?” Raka menatap Opa tidak habis pikir. Ia akui, kalau itu memang sedikit konyol. Biasanya orang dijodohkan itu kalau bukan karena bisnis, pasti untuk urusan lain yang intinya untuk mempertahankan bebet, bibit, bobot keluarga. Tidak disangka kalau perjodohan yang dialaminya saat ini hanya berdasarkan janji dan keinginan untuk menjalin hubungan kekeluargaan semata. “Jadi gimana, Rak? Kamu setuju, kan? Chika-nya juga cakep begitu kok. Mau, ya?” Opa sengaja merangkul dan menatap Raka dengan alis yang naik-turun, seolah merayu. Raka membalas tatapan Opa dengan tatapan risih. Serius, kalau itu bukan kakek kandungnya sendiri, Raka pasti sudah mendorong atau bahkan menoyor Opa seperti yang biasa ia lakukan pada Leon kalau sudah menunjukkan sikap serupa. Untung saja ia masih tahu diri dan hanya berdecak sebagai respon. “Mau enggaknya aku tergantung Chika,” jawab Raka santai setelah cukup lama diam karena berpikir. Jawabannya langsung menuai decak gembira dari Opa yang memberinya tepukan pelan di bahu. Ya, Raka pikir itu jawaban terbaik yang bisa ia sampaikan mengingat ia memang tidak peduli pada pernikahan dan segala hal mengenai itu. Kalaupun nanti Chika memilih untuk menerima perjodohan mereka, ia hanya bisa berharap kalau perempuan itu tidak akan merasa terluka karena hidup dalam sebuah pernikahan tanpa cinta. ***** “Serius lo dijodohin?! Demi apa?” “Demi kolor Spongebob lo! Iyalah, gue serius Teza Adinata! Ngapain coba gue bohong?” Chika menghela napas kesalnya. Sekarang gadis cantik ber-sweater biru itu sedang berada di toilet, atau lebih tepatnya duduk di atas closet yang tertutup. Chika memang punya kebiasaan unik jika sedang dilanda bingung seperti saat ini. Dia akan duduk di atas closet sambil menelepon siapapun untuk melampiaskan kekalutannya. Salah satu korban tetapnya adalah Teza, sahabatnya sejak SMP. “Parahnya lagi tuh, Eyang, bokap sama nyokap gue itu bilang kalo ini adalah wasiat dari Eyang sebelum meninggal. Gue jadi ngeri mau nolaknya, Za. Gue harus gimana dong sekarang?” lanjut Chika. Satu detik, dua detik, sampai hampir sepuluh detik berlalu, tapi lawan bicara di ujung sambungan masih belum menjawab. Chika jadi merasa aneh. Gadis itu menjauhkan ponselnya guna memeriksa apakah panggilannya masih tersambung atau tidak. Setelah memastikan kalau panggilannya masih tersambung, Chika langsung menempelkan kembali ponselnya ke telinga. “Woy, Za! Lo masih hidup, kan? Kok diem aja sih?!” “Eh, iya, iya! Gue masih di sini kok, Chik. Cuma ... gue bingung mau nanggepin gimana.” Teza mengakhiri kata-katanya dengan ringisan pelan. Jawabannya ini membuat Chika hampir saja menangis saking gemas dan kalutnya. Serius, kalau saat ini Teza ada di sampingnya sudah pasti Chika akan menjambak rambut pemuda itu sebagai pelampiasan. “Lo lagi di mana sih sekarang?” Chika bertanya dengan nada sewot. “Gue lagi makan sama Leta nih di Kafe Dygo—“ “Oke, gue ke sana!” Chika bangkit berdiri dari closet. “Eh, eh, eh, mau ngapain lo? Gue kan lagi ngedate sama Leta—“ “Bodo amat! Lo sama Leta juga gue kan yang nyomblangin? Jadi lo nggak boleh protes! Gue yakin Leta juga nggak bakal protes kok. Wlee!” Sambil menjulurkan lidahnya, mengejek, Chika mengakhiri panggilan secara sepihak. Gadis itu keluar dari ruangan yang menjadi tempatnya bernaung selama beberapa menit ini. Akan tetapi ... Duk! “Aduh!” Chika langsung menyentuh dahinya usai menabrak dagu seseorang. Gadis itu mendongak menatap seorang pemuda jangkung yang berdiri di depannya sambil mengusap-usap dahinya yang terasa sakit. Chika menggerutu. “Ya ampun, lo ngapain sih berdiri di situ?! Sakit nih jidat gue!” Si pemuda jangkung mendengus dan menatap Chika malas. “Makanya kalo jalan itu liat-liat! Jelas-jelas lo yang nabrak gue,” ujarnya Chika sudah membuka mulutnya hendak menimpali perkataan Raka, namun tidak jadi. Gadis itu kembali menggerutu sambil berkata, “Terserah!” Lantas, Chika pun menghentakkan kakinya meninggalkan tempat itu, tapi Raka buru-buru mencekal pergelangan tangannya. Chika berdecak. “Ih, apaan sih?!” Gadis itu menatap Raka dengan sengit. “Lo mau kabur?” “Bukan urusan lo!” Chika kembali mengambil langkah seribu sambil berusaha mengelak dari cekalan tangan Raka. Namun, Raka tak mau melepaskannya begitu saja. Dengan santai pemuda itu justru semakin mengeratkan genggaman tangannya. Membuat Chika semakin gemas dan emosi dengan kelakuannya. “Masalah lo apa sih sama gue? Gue itu nggak kabur, cuma mau ketemu sama temen-temen gue.” “Dan ninggalin Eyang yang lagi nungguin jawaban dari lo, gitu?” Mendengar Raka menyebut kata ‘Eyang’ membuat wajah Chika seketika melunak. Dia mengerjap sambil bertanya, “Emangnya ... lo udah ngasih jawaban?” Raka mengangguk dan itu membuat netra Chika seketika membulat tak percaya. “Terus jawaban lo ... apa?” Serius, Chika mulai takut sekarang. Dia benar-benar tidak siap jika harus mendengar Raka menjawab ‘ya’. Raka diam. Pemuda tampan itu menatap Chika seolah sedang menilai. Lantas, setelah hanya terdiam selama beberapa detik, Raka akhirnya menjawab, “Jawaban gue tergantung sama lo sekarang.” “Maksud lo?” “Ya, apa pun jawaban lo nanti, ya itu yang bakal gue jalanin.” Chika menatap Raka tak percaya. “Jadi maksud lo, lo nyerahin semuanya ke gue sekarang? Keputusan ada di tangan gue, gitu?” Raka hanya mengangguk. Chika mengerang tak terima. “Kenapa lo nggak nolak secara tegas aja sih?!” Chika menyembur. “Karena gue nggak punya alasan untuk nolak, sementara lo pasti punya, kan?” Raka menghela napas sejenak sambil melepaskan cekalan tangannya. “Dan kalo boleh jujur, sebenarnya gue nggak masalah nikah sama lo karena gue sama sekali nggak peduli sama hal-hal semacam itu.” “Tapi gue kan nggak mau nikah sama lo!” “Ya tinggal nolak aja, kan?” “Terus gimana kalo ternyata itu wasiat Eyang sebelum meninggal?” Kali ini Raka tidak langsung menjawab dan justru mendekatkan wajahnya ke wajah Chika. Ajaibnya, gadis itu diam saja saat Raka berbisik tepat di depan wajahnya, “Itu urusan lo!” Setelah bilang begitu, Raka pun berlalu begitu saja. Meninggalkan Chika yang semakin kalut karena perkataannya. “Bodo ah!” Chika mengacak rambutnya frustrasi dan ikut berlalu dari tempatnya berdiri. Gadis itu berjalan berlawanan arah dengan Raka, tepatnya ke luar rumah sakit demi menemui Leta dan Teza di kafe. Dia harus berpikir matang-matang soal keputusannya dan dia tidak bisa jika hanya memikirkannya sendirian. ***** Raka berjalan santai ke ruang rawat Eyang Surya. Tadinya dia memang izin ke toilet sebentar, tapi tidak disangka saat hendak kembali dia justru bertemu dengan Chika dan berdebat dengan gadis itu. Tapi tidak apa-apa, yang penting dia sudah mengatakan apa jawabannya kepada Chika, jadi dia tidak perlu lagi memusingkannya. Jahat? Ya, Raka akui dia memang jahat karena secara tidak langsung membuat Chika menanggung beban seorang diri. Tapi, mau bagaimana lagi? Mau menolak ataupun menerima bagi Raka akan tetap saja. Dia tidak punya alasan untuk keduanya. “Lo liat Chika nggak? Toilet cowok sama cewek searah, kan?” cecar Levi langsung. Pemuda itu memang sejak tadi duduk di luar ruang rawat Eyang. Begitu melihat Raka hendak masuk ke ruangan serba putih itu, Levi buru-buru bangkit berdiri dan mendekatinya. Sepertinya, dia memang sedang menunggu Raka. “Dia pergi barusan. Katanya mau ketemu temen-temennya.” Levi tampak syok mendengar jawaban Raka yang terkesan datar. “Dan lo nggak nyegah?” Raka mengangkat bahunya tak acuh. “Dia bilang nggak bakal kabur, makanya gue biarin aja.” “Astaga! Kalo dia beneran kabur, gimana? Lo mau tanggung jawab kalo terjadi apa-apa sama Eyang?” Melihat Levi yang berkilat marah membuat Raka mengernyit keheranan. “Ah, berengsek lo!” Karena tak kunjung mendapat respon dari sang lawan bicara, Levi buru-buru berlari meninggalkan tempatnya berdiri saat ini. Dengan sengaja menyenggol bahu Raka sebelum pergi. Untungnya, Raka tidak ambil pusing dengan sikap kasar yang Levi tunjukan padanya. Dia hanya berdecak dan melirik sekilas ke arah perginya pemuda itu. Raka menggeleng tak habis pikir. Serius, sampai sekarang dia tak pernah paham kenapa Levi sebegitu membencinya. Yang Raka ingat, Levi memang sudah terlihat tidak menyukainya sejak mereka duduk di bangku SMP, tepatnya saat ia berpacaran dengan Audrey, sahabat Levi sejak kecil. Dia menduga kalau Levi menyukai Audrey dan cemburu padanya. Tak ingin terlalu lama mengingat masa lalu, Raka pun melanjutkan niatannya untuk masuk ke ruangan Eyang. ***** Drrt! Drrt! Chika berdecak untuk ke sekian kalinya. Dia hanya melirik ke ponselnya tanpa minat dan menemukan nama Levi terpampang jelas di layar. Chika memilih untuk mengabaikannya dan melihat ke jalanan depan. Saat ini dia sedang naik taksi dan dalam perjalanan ke Kafe Dygo. Sori, Kak, tapi gue lagi mau nenangin diri. Gue nggak bisa mikir sendiri, batin Chika penuh keyakinan. Letak kafe yang lumayan dekat dari rumah sakit membuat Chika sampai di sana dalam waktu yang tergolong singkat. Dia langsung membayar ongkos taksi dan bergegas keluar dari sana. Chika masuk ke kafe dan mencari-cari keberadaan Teza dan Leta. Mereka berdua duduk di pojok ruangan. “Guys, please help me!” rengek Chika begitu dia sampai di meja yang ditempati kedua sahabatnya. Leta dan Teza menatapnya kaget. “Gue harus jawab apa soal perjodohan itu? Gue bingung!” Leta yang kebetulan duduk di samping Chika segera merangkul gadis itu. Dengan gaya kalem andalan berkata, “Tenang dulu, ya! Gini deh, ceritain dulu sebenarnya dasar perjodohan ini apa?” Chika memanyunkan bibirnya sambil menjawab, “Ini tuh cuma keinginan kakek-kakek kami untuk menjalin hubungan keluarga. Itu aja!” Gadis bertubuh tinggi semampai itu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Jujur aja gue pengin nolak, tapi kalo itu wasiat terakhir Eyang dan gue nggak bisa ngejalaninnya gimana? Sebelum meninggal, Eyang maunya gue nikah sama orang itu. Sedangkan kalian tahu sendiri, kan, kalo sekarang aja gue masih pacaran sama Juno? Gue mesti gimana dong kalo gitu?” Teza dan Leta saling melirik. Kelihatan sekali kalau sepasang sejoli ini juga kebingungan soal permasalahan yang sedang dihadapi oleh Chika. “Gue rasa mendingan lo terima aja deh, Chik.” Chika langsung mengerang tak setuju mendengar usul Leta yang juga diangguki oleh Teza. “Ya habis gimana dong? Kalo itu beneran wasiat, emang lo nggak bakal nyesel nolaknya? Lo sayang banget sama Eyang, kan? Gue yakin lo nggak bakal tega.” “Iya, Chik mending terima aja deh kalo emang wasiat. Masalah Juno, coba kita omongin ke dia bareng-bareng. Kalo diliat dari wataknya, gue yakin sih Juno pasti bakalan ngerti,” timpal Teza. “Masalahnya gue juga masih sayang-sayangnya sama Juno, guys. Gue—“ Drrt! Drrt! Kata-kata Chika terhenti begitu atensinya terganggu oleh getaran ponsel Teza di atas meja. Teza sempat melirik ke layar ponselnya dan tampak sedikit terkejut melihat siapa yang menelepon. Dia melirik ke arah Chika dan berkata, “Kak Levi.” Chika panik. “Jangan dija—“ “Jawab dulu aja, Za!” Chika menatap Leta dengan tatapan memprotes. “Ta, gue itu lagi mau nenangin diri. Ntar kalo dia tahu gue di mana bisa—“ “Chik!” teguran Leta membuat Chika bungkam. Tatapan Chika tampak memelas. “Apa salahnya sih kalo kita jawab dulu telpon dari Kak Levi? Siapa tahu, kan, dia mau ngasih tahu hal penting?” Seketika Chika mengerjap. “Iya juga, ya?” Leta menghela napas perlahan. Dia mengalihkan atensi kepada Teza. “Jawab, Za!” Teza pun menjawab panggilan dari kakak kandung Chika itu. “Ya, Kak? ... Oh, lagi di Kafe Dygo. Kenapa? ... Hah?!” Seruan kaget yang diloloskan Teza membuat Chika dan Leta jadi bertanya-tanya. Pemuda itu menatap kedua gadis di depannya dan berkata, “Eyang sesak napas lagi katanya.” Sontak saja wajah Chika berubah panik. Dia bahkan mau menangis saking khawatirnya dengan kondisi Eyang. Leta berusaha menenangkannya dengan merangkul dan mengusap-usap bahunya. “Oh, oke, Kak.” Teza buru-buru mengakhiri panggilan dan berkata pada Chika, “Lo disuruh nunggu, Kak Levi katanya udah di deket sini.” Tidak ada hal lain yang bisa Chika lakukan selain mengiyakan instruksi Teza saat ini. Chika berdo’a supaya kondisi Eyang akan baik-baik saja. Dia bahkan bernazar, kalau Eyang selamat, dia akan menuruti keinginan Beliau, yaitu menerima perjodohan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD