Tiga tahun yang lalu ....
Satu jam sudah Chika duduk di kafe dekat sekolah lamanya. Dia duduk sambil menopang kepala dengan tampang bosan. Minuman bersoda yang dipesannya bahkan sudah habis setengah bagian, tapi pacarnya tidak datang juga. Ya, Chika memang sedang menunggu kehadiran Juno sekarang. Padahal pemuda itu yang mengajaknya ketemuan, tapi justru dia juga yang terlambat.
Sebenarnya Chika sudah menge-chat pacarnya itu, tapi Juno ternyata sedang offline. Chika mencoba menelepon, tapi operator bilang ponsel pacarnya tidak aktif. Ya sudah, sambil menahan rasa dongkol sekaligus khawatir Chika menunggu sampai hampir mati bosan seperti ini.
Di tengah-tengah rasa bosannya, ponsel Chika yang tergeletak di atas meja bergetar. Layarnya menyala dan menampilkan chat dari seseorang. Chika sempat melirik malas ke arah ponselnya, tapi begitu nama ‘Juno’ yang terpampang di sana gadis itu langsung antusias. Dibacanya langsung chat itu yang berbunyi, ‘Chik, kalo cemberut kok kamu tambah gemesin sih? Aku jadi tambah semangat ngerjain kamu nih.’
Chika melongo tak percaya. Sialan! Ternyata dia dikerjain! Sepertinya Juno sudah datang sejak tadi dan sengaja bersembunyi.
Kepala Chika langsung celingukan mencari sosok Juno dengan wajah cemberut. Ini nih yang sering membuat Chika kesal pada sosok pacarnya yang mantan anak basket itu. Di balik sifat kalemnya, Juno orang yang usil dan hobi sekali mengerjainya.
Ponsel Chika bergetar lagi dan kali ini pesannya, ‘Aku di belakang kamu, Chik.’
Refleks Chika menoleh ke belakang, tapi lagi-lagi batang hidung Juno tidak kelihatan juga. Saat kembali menghadap depan, Chika justru dikejutkan oleh cengiran pacarnya yang khas. Dia mendelik.
“Ngeselin ya, kamu!”
Tanpa perlu banyak basa-basi lagi Chika mencubiti Juno yang sudah duduk di depannya tanpa ampun, tapi pemuda tampan itu justru tertawa kegirangan sambil mengaduh.
“Aduh, Chik! Tega banget sih sama pacar sendiri?” Teriak Juno sambil mengelak dari amukan pacar cantiknya.
“Biarin! Habis kamu tuh hobi banget, ya ngerjain aku? Kamu tahu nggak sih kalo aku khawatir? Bosen juga tahu nungguin kamu sejam.”
Setelah bicara begitu Chika berhenti mencubiti Juno, tapi tatapan tajamnya masih betah terhunus ke pemuda itu. Chika menyedot minumannya sampai kini hanya tersisa seperempat bagian saja.
Melihat sang pacar merajuk justru membuat Juno tertawa. Pemuda yang merupakan mahasiswa baru Teknik Arsitektur itu mengulurkan kedua tangan guna mencubit pipi Chika gemas. “Tuh kan, kamu itu makin gemesin kalo pasang muka kayak gini!” Juno tertawa lagi ketika Chika mendorong tangannya menjauh.
“Gemesin sih gemesin, tapi nggak usah ngerjain aku dong! Tahu sendiri pacarnya nggak suka nunggu.”
“Iya, iya, maafin aku. Lain kali nggak bakal lagi deh bikin kamu nunggu.”
“Janji?”
“Janji!”
Jawaban Juno langsung membuat Chika tersenyum lebar. Gadis cantik itu mengulurkan tangan guna mencubit gemas hidung mancung pacarnya. Menit-menit selanjutnya dihabiskan kedua pasangan muda itu dengan makan sambil mengobrol.
Well, Juno dan Chika sudah menjalani hubungan selama hampir dua tahun. Terhitung sejak pertengahan kelas sebelas. Keduanya dekat karena ekskul yang mereka ambil saling berhubungan. Chika salah satu bagian dari tim cheerleader, sedangkan Juno adalah anak basket. Klise sekali, bukan? Tapi yang namanya hati kan tidak bisa bohong. Chika dan Juno memang saling suka sejak mereka dekat sebagai teman.
“Gimana kemarin ospeknya? Kating kamu pada galak-galak nggak?” Juno bertanya setelah puas menyantap nasi goreng pesanannya. Juno dan Chika masuk ke universitas yang sama, sayangnya mereka tidak berada di jurusan yang sama juga. Jangankan jurusan, fakultas saja berbeda. Omong-omong, keduanya baru saja menjalani ospek mahasiswa baru selama lima hari kemarin.
Chika mengangkat bahunya tak acuh. “Ya gitu deh. Dibilang galak sih enggak juga, baik-baik malah. Tapi ya ada beberapa yang agak rese sih, wajar lah ya.” Sekarang, gadis itu kembali menyesap minumannya.
Juno mengangguk-angguk tanda mengerti. “Itu yang senior di MIPA? Yang Matematika gimana?”
“Sama aja yang Matematika sama MIPA mah. Tapi kan ini aku bakal ada osjur juga, jadi ya belum tahu sih. Liat aja ntar hehe.” Chika meringis. Juno ikut menyengir sambil mengacak lembut rambut gadisnya.
“Kalo udah mulai kuliah nanti kita pasti bakal susah ketemu, ya?” tanya Chika sedih, berbanding terbalik dengan beberapa saat sebelumnya di mana ia tampak lebih ceria. Juno menghela napas lesu.
“Ya mau gimana lagi? Kita kan beda fakultas, Chik. Eh, tapi kamu tenang aja. Teknik sama MIPA kan seklaster. Jaraknya nggak jauh-jauh amat.”
Chika berpikir. “Iya juga sih, ya? Lagian, pulang kuliah kita tetep bisa ketemuan, kan?”
“Nah itu tahu!”
Chika kembali tersenyum lebar dan mengangguk ceria. Namun, tiba-tiba saja gadis itu tersentak ketika ponselnya bergetar. Nama ‘Kak Levi’ terpampang jelas di layar. Dalam hati Chika merutuk. Kenapa sih ini orang nelponnya di waktu yang nggak tepat gini?
Dengan nada ketus Chika mengangkat panggilan dari kakaknya itu. “Kenapa?”
“Lo di mana? Gue mau jemput lo. Jangan protes! Ini darurat.”
Nada bicara Levi yang terdengar tegang membuat dahi Chika berkerut cukup dalam. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Biasanya Chika akan menganggap Levi hanya sedang bercanda dan berniat mengerjainya saja, tapi entah kenapa kali ini pikiran itu tidak menyambangi benaknya. Dia merasa kalau Levi sedang serius.
“Ada apaan sih? Lo jangan bikin gue takut deh!”
“Udah sih, bilang aja lo di mana? Kita—”
“Ya jawab dulu pertanyaan gue dong, Kak!”
Levi menghela napas lelah di ujung sambungan. “Eyang masuk rumah sakit.”
Mata Chika membulat sempurna dan tiba-tiba saja dia merasa pikirannya kosong.
*****
Plakkk!
Tamparan keras itu mendarat dengan anggun di pipi seorang pemuda jangkung yang berdiri di depan pintu sebuah apartemen. Seorang pemuda lain yang menyaksikan adegan itu refleks meringis sambil mengusap pipinya sendiri. Padahal bukan dia yang ditampar, tapi tidak tahu kenapa rasa sakitnya ikut terasa.
Sementara itu, pemuda yang ditampar tadi justru tergelak, seolah tidak merasakan sakit sama sekali di pipinya yang kini memerah. Bohong kalau dia bilang pipinya tidak terasa perih, tapi karena rasa tak terimanya jauh lebih besar jadi perihnya tak seberapa.
“Lo emang berengsek ya, Rak?” maki Marsha. Mahasiswi jurusan Kimia itu menatap pemuda di hadapannya dengan tatapan membunuh. Tampaknya, dia begitu kesal pada sosok tampan tersebut. “Gue udah rela putusin Kevin demi lo, tapi lo-nya malah jalan sama Sherly? Maksud lo apaan, hah?!”
Raka menoleh menghadap Marsha. Rautnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. Ia tersenyum sinis saat membalas, “Siapa juga yang nyuruh lo mutusin Kevin? Lo kira selama ini gue deketin lo karena mau pacaran? Pede banget!” Raka terkekeh melihat wajah Marsha yang tampak melongo tak percaya mendengar kata-katanya.
“Apa lo bilang?”
Raka menghela napasnya kasar. “Sori ya, Sha kalo selama ini lo salah paham. Tapi, dari awal gue deketin lo buat having fun doang.” Senyum meremehkan terbit di wajah Raka saat melanjutkan, “Cewek murahan dan gak setia kayak lo nggak pantes gue pacarin.”
Plakkk!
“Berengsek lo, Rak! Nyesel gue udah jalan sama lo!”
Dengan amarah menggebu Marsha pun menghentakkan kaki meninggalkan apartemen itu, sementara Raka dan Leon hanya mampu menatap kepergian sang gadis dalam diam. Usai punggung gadis cantik itu tak terlihat lagi, Leon segera mengalihkan tatapannya kepada Raka. Dia berkacak pinggang dan memicing menatap sosok jangkung di sampingnya.
“Ngapain lo liatin gue kayak gitu?” Raka membalas tatapan sahabatnya dengan tatapan aneh. Merasa jengah karena Leon tak kunjung bicara dan hanya terus menatapnya, Raka pun berbalik masuk ke dalam apartemen. Leon mengekor.
“Lo kapan berhenti sih, Rak? Nggak capek apa lo PHP-in anak orang mulu? Jadi PHO?” Leon akhirnya buka suara. Pemuda yang tingginya masih di bawah Raka beberapa senti itu menghempaskan pantatnya ke sofa. Saat ini Raka sedang duduk di seberangnya sambil memainkan ponsel.
Seperti biasa, kalau ditanya seperti itu Raka tak mau menjawab. Dia justru asyik memainkan game di ponselnya. Leon mendengus gemas melihat tingkah laku sahabatnya itu.
Leon sudah mengenal Raka sejak masih menjadi mahasiswa baru. Dulunya Leon mengira Raka tipe pemuda baik-baik, pintar, dan alim. Wajahnya sangat mendukung untuk karakter itu. Nyatanya? Nol besar! Pemuda bernama lengkap Rakanda Keenan Alaric itu sama saja dengan lelaki pada umumnya; berengsek.
Bagaimana tidak berengsek? Raka itu terkenal sebagai pemuda yang hobi sekali memberi harapan palsu kepada setiap gadis yang dekat dengannya. Bahkan tak jarang ia disebut sebagai pencekor, alias perebut cewek orang. Serius, seringnya itu Raka memang mendekati gadis yang statusnya sudah menjadi pacar orang lain daripada single. Leon tidak pernah tahu kenapa Raka cenderung jadi perusak hubungan orang, tapi yang pasti ada alasan di balik itu. Sayangnya, Raka tidak pernah mau bercerita.
Herannya, Raka masih saja laku walaupun cap mengenai dirinya sangat buruk. Contohnya ya tadi itu, sudah tahu Raka tidak pernah mau menjalin hubungan dengan gadis yang didekatinya, Marsha masih saja mau jalan dengannya.
Walau begitu, paling tidak ada yang bisa dibanggakan lah dari Raka selain wajah tampannya, yaitu IPK-nya yang selalu menyentuh angka tiga. Tidak seperti Leon yang pas-pasan. Bahkan, Raka juga jadi kesayangannya para dosen karena otak encer dan kelakuannya yang dinilai baik di mata mereka.
“Gue tebak, pasti bentar lagi lo bakal deketin anak Matem lagi. Ya, kan?”
Kata-kata Leon membuat Raka terkekeh pelan, tapi atensinya masih saja tertuju pada layar ponsel ketika merespon, “Sok tahu lo!”
“Halah, siklus lo ngedeketin cewek itu udah jelas! Urutannya itu pasti Matem, Statistik, Ilkom, Elins, Geofis, Kimia, Fisika. Dua bulan lalu lo jalan sama Sarah anak Geofis, trus barusan ini lo bikin Marsha anak Kimia patah hati, sekarang lo jalan sama Sherly anak Fisika 13. Fix ntar pasti selanjutnya anak Matem.”
Raka tak merespon kali ini. Ia berhenti memainkan game di ponselnya dan bangkit dari sofa. Wajahnya kelihatan lelah sekaligus bosan. Pemuda jangkung itu setengah menyeret badannya ke kamar.
“Mau ke mana lo, Rak?”
“Tidur. Dengerin teori lo jadi ngantuk gue.”
“Yeu, ini mah masih lebih mending daripada dengerin teori kalkulus di kelas Pak Nirwan!”
“At least kalo dengerin Pak Nirwan gue bisa dapat nilai A, daripada dengerin lo? Dapat angin doang.”
Wajah Leon tampak melongo tak percaya. Berbagai macam makian telah ia rapalkan kepada Raka yang kini sudah memasuki kamarnya. Merasa tak ada keperluan lagi dengan sahabatnya itu, Leon pun memutuskan untuk pulang ke kosannya yang berada tak jauh dari apartemen Raka dengan membawa laptop di atas meja. Iya, akhir pekan seperti ini ia bukan tanpa alasan pergi ke apartemen sahabatnya. Lelaki bernama lengkap Kamaleon Cetta itu mau meminjam laptop Raka selama beberapa hari.
Sementara itu, di kamarnya ternyata Raka tidak langsung terlelap seperti yang dia katakan kepada Leon tadi. Sebaliknya, pemuda tampan itu justru tiduran sambil menatap langit-langit kamar, seolah sedang berpikir.
Tok! Tok! Tok!
Raka mengernyit heran mendengar suara pintu kamarnya diketuk cukup keras. Tadinya ia mengira jika itu adalah Leon. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, tidak mungkin Leon sesopan itu masuk ke kamarnya dengan mengetuk pintu lebih dahulu. Pemuda yang sering dikatai ‘cabe’ di kampus itu terbiasa masuk tanpa permisi.
“Raka, ini Opa!”
Mendengar suara kakeknya membuat Raka refleks bangun dari tempat tidur. Dalam hati sedikit menggerutu karena kedatangan Opa. Biasanya, Opa datang ke apartemen kalau ada hal serius yang ingin dibicarakan.
“Kenapa, Opa?” tanyanya datar usai membuka pintu kamar. Kurang ajar sekali, ya? Kakeknya datang bukannya disambut dengan sapaan dan senyum hangat malah langsung ditanyai begitu.
“Ayo, ikut Opa! Kita ke rumah sakit.” Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Opa berniat berbalik pergi dari depan pintu kamar Raka. Namun, Raka segera menahan lembut lengannya.
“Eh, kita mau ngapain ke rumah sakit?”
Opa Alaric berdecak. “Ya mau jenguk orang lah, Rak. Ayo!”
“Iya, tapi siapa?” Raka masih belum gentar bertanya walau sang kakek tampak buru-buru pergi. Dia masih penasaran karena sikap Opa yang sedikit aneh.
“Temen Opa. Udah, ah! Kamu cepet ganti baju dan temenin Opa ke rumah sakit, oke? Jangan banyak tanya lagi! Opa tunggu di mobil.”
Kali ini Raka tidak dapat lagi mencegah kepergian Opa. Pemuda tampan itu dengan sedikit terpaksa masuk kembali ke kamarnya guna berganti pakaian dan bersiap pergi.
Aneh banget, kenapa nggak minta Om Armand aja yang nemenin? Kenapa harus gue?
*****
Chika menangis sesenggukan. Kalau dihitung-hitung, dia sudah melakukan itu selama hampir tiga puluh menit ini. Artinya, sudah selama itu juga ia dan Levi berada di rumah sakit tempat kakek mereka dirawat.
Eyang Surya, atau yang kadang dipanggil Eyang Kakung oleh Chika dan Levi sudah lama mengidap penyakit asma. Akhir-akhir ini penyakitnya memang sering kambuh, tapi tidak pernah sampai masuk rumah sakit seperti sekarang. Sepertinya yang kali ini lebih parah daripada biasanya.
Sebagai cucu yang paling dekat dengan kakeknya itu tentu saja Chika merasa sedih bukan main melihat kondisi Eyang. Chika takut sesuatu yang buruk menimpa pria paruh baya yang saat ini sedang dalam kondisi tertidur dengan alat bantu pernapasan di hidungnya itu.
“Udah, Chik jangan nangis mulu! Ntar Eyang sedih liat lo begini!” bisik Levi yang berdiri di dekat Chika. Pemuda jangkung itu merangkul sayang bahu adiknya dan mengusapnya perlahan. Walau keduanya sering sekali bertengkar khas kakak-adik, Levi ini sayang sekali pada Chika. Dia paling tidak tega melihat sang adik menangis seperti ini.
Melihat anak gadisnya menangis tiada henti, Bunda yang khawatir pun bangkit dari sofa. Wanita cantik itu menghampiri kedua anaknya. Tangannya mendarat anggun di atas kepala Chika, mengusapnya lembut.
“Sayang, Kakak bener. Kamu jangan nangis terus, ya? Eyang nggak papa kok.”
Dengan hidung merah dan suara parau Chika menimpali, “Ih, nggak papa gimana? Ini udah kesekian kalinya lho asmanya Eyang kumat. Gimana Chika nggak khawatir, Bun?”
Bunda tidak menimpali dan hanya tersenyum menenangkan. Dia menggantikan tugas Levi, memeluk Chika. Bunda tahu betul Chika akan secengeng ini kalau sudah berhubungan dengan sang ayah mertua, maka dari itu yang bisa dilakukannya hanyalah menenangkan sang putri.
“Omong-omong, Ayah mana?” Levi bersuara sambil melongok ke sana-kemari. Pasalnya beberapa menit yang lalu ia masih bisa melihat sosok sang ayah di ruangan itu, tapi kali ini justru tidak kelihatan. Karena sibuk menenangkan Chika ia jadi tidak sadar saat Ayah keluar dari ruang rawat Eyang.
Bunda menjawab, “Oh, barusan Ayah keluar. Katanya mau jemput temen Eyang sama cucunya di lobi.”
“Oh, mau jenguk?”
Bunda mengangguk. Dia masih sibuk menenangkan anak perempuannya yang kini sudah berhenti menangis dan sedang menghapus sisa air mata di pipinya.
Levi mengangguk tanda mengerti. Setelah itu dia berjalan ke sofa dan duduk di sana, mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memainkannya.
Tak berselang lama, pintu ruang rawat Eyang terbuka dan menampilkan Ayah beserta dua orang laki-laki. Yang satu tampak seumuran dengan Eyang sedangkan satunya lagi jauh lebih muda, tepatnya seumuran Levi.
“Ayo masuk, Om, Raka!” Ayah mempersilakan.
Mendengar kedatangan Ayah, ketiga orang di dalam ruang rawat itu langsung menoleh. Namun, dua orang di antaranya tampak mengernyitkan dahi terkejut ketika melihat sosok lelaki muda yang datang bersama Ayah. Pun dengan lelaki muda itu yang tidak menyangka akan bertemu dengan dua orang tersebut.
“Om Alaric,” Bunda menyapa dengan ramah. Ia langsung berjalan menuju pria paruh baya yang dipanggilnya dengan ‘Om Alaric’ itu, mencium tangannya. Bunda memberi isyarat agar Chika dan Levi melakukan hal yang sama. Mereka menurut.
“Jadi ini yang namanya Raka? Ganteng banget!” Wajah Bunda tampak berbinar saat berkata begitu.
Raka terlihat hanya tersenyum canggung menanggapi. Chika dan Levi secara tidak sadar kompak menahan diri untuk tidak memutar bola mata malas saat ini. Mereka kelihatan sedikit sebal bukan hanya karena sikap Bunda yang mendadak genit, tapi juga karena eksistensi Raka di sana. Sedikit banyak Chika sudah mendengar rumor mengenai Raka yang berengsek, jujur saja itu membuatnya antipati. Kalau Levi beda lagi, dia memang tidak suka dengan pemuda itu, entah apa penyebabnya.
“Lho, ini Chika sama Levi kok nggak salaman sama Raka? Kenalan dong!” Ayah keheranan karena setelah bersalaman dan mencium tangan Opa Alaric, Chika dan Levi sama-sama terdiam. Mereka sama sekali tidak menunjukkan itikad baik untuk menyapa Raka juga.
Levi menjawab, “Oh, aku sama Raka udah saling kenal kok, Yah. Kita seangkatan di MIPA, tapi beda jurusan.” Pemuda berkulit tan itu mengedik pada Chika. “Tuh, dia katingnya Chika.”
Wajah ketiga orang dewasa di ruangan itu mendadak antusias. Ketiganya saling melirik. Hal ini membuat Chika, Levi, dan Raka keheranan tapi tidak bisa melontarkan pertanyaan.
“Oh, jadi Chika sama Raka sama-sama ambil Matematika?” Itu Opa Alaric yang bersuara. Wajah renta tapi terlihat awet mudanya menatap Raka dan Chika bergantian.
Chika meringis dan mengangguk mengiyakan. Raka tak bersuara dan hanya menampilkan wajah datar. Entah apa yang dipikirkan pemuda, tapi Chika bisa merasakan ketegangannya. Perasaan Chika mendadak tak enak.
Usai perkenalan itu, Opa Alaric dan Raka pun menunaikan tujuan utama mereka datang ke sana, menengok keadaan Eyang Surya. Sesekali Opa Alaric dan Ayah serta Bunda mengobrol soal keadaan Eyang. Raka berdiri di antara mereka dan ikut mendengarkan.
Sementara kedua orang tua mereka mengobrol dengan sepasang kakek dan cucu tersebut, Chika dan Levi duduk di sofa dan memperhatikan. Namun, tatapan Levi terlihat sengit saat melihat sosok Raka. Hal ini tak luput dari perhatian Chika.
Gadis cantik itu menyikut pelan lengan sang kakak dan berbisik, “Tatapannya biasa aja kali, Kak!”
“Berisik!”
Chika hanya mendengus menanggapi.
“Eh, Papa udah bangun?”
Suara Bunda langsung membuat Chika dan Levi bangkit dari sofa guna melihat ke tempat Eyang berbaring. Wajah keduanya berbinar senang mendapati Eyang telah bangun dari tidurnya. Mereka berjalan mendekat.
“Eyang!” Chika merengek sambil memeluk tubuh Eyang Surya. Eyang terkekeh melihat tingkah manja cucu bungsunya. Tak hanya ia, Ayah, Bunda, dan Opa Alaric ikut tersenyum. Sementara Levi mendengus sambil menggeleng tak habis pikir dan Raka hanya menatapnya datar.
“Chika seneng banget Eyang udah bangun,” ujar Chika dengan nada manja usai menarik diri. Eyang mengangguk sebagai tanggapan.
“Eyang juga seneng bisa liat Chika, Levi, dan yang lain juga. Soalnya, ada hal yang harus Eyang dan Opa sampein ke kalian, khususnya Chika dan Raka.”
Chika langsung mengernyit mendengar perkataan Eyang. Ia melirik ke semua orang yang ada di ruangan itu. Namun, hanya ia, Levi, dan Raka yang tampak penasaran. Ayah dan Bunda tidak tampak terkejut sama sekali, sepertinya mereka sudah tahu hal apa yang ingin Eyang dan Opa sampaikan.
Kok tiba-tiba perasaan gue nggak enak, ya? Chika membatin.
Sambil tersenyum Opa mewakili Eyang menjawab rasa penasaran ketiganya, “Chika, Raka ... sebenarnya kalian sudah dijodohkan sejak belum lahir dan sekarang kami ingin kalian menikah secepatnya.”
“Hah?!”