[Aduh, derita sekali punya ipar menyebalkan. Sudah hidup menumpang, mandul, kere, durhaka sama mertua, paket komplit deh. Kalau aku sih nanti bakal jadi menantu yang baik, hartaku juga banyak, jadi tidak akan mertuaku membenciku. Aku juga sudah punya rumah, tidak kere kayak menantu yang satu itu.]
Dengan pongahnya Sinta menulis status di aplikasi hijau miliknya. Dia sengaja membuat status demikian, agar dibaca oleh Mita kakak iparnya. Memang dasar ipar tidak punya hati.
Mata Mita memanas saat tidak sengaja tersekrol status milik adik iparnya itu. Ia tidak tahu mengapa harus dipertemukan dengan keluarga baru, yang sama sekali membuat hidupnya tidak bahagia?
Mita meletakkan kembali ponselnya, dan menarik selimut untuk tidur kembali. Ia merasa pusing dan mual tiba-tiba. Badanya juga demam.
Ia tak habis pikir, selalu menjadi bulan-bulanan keluarga suaminya. Dia sudah berusaha jadi istri dan menantu yang baik selama ini.
Terkadang ia merasa tidak ada gunanya mempertahankan pernikahannya, namun cinta pada suaminya sering kali mampu membuatnya lupa akan rasa sakit hatinya. Ia berharap suaminya akan berubah suatu saat nanti. Mampu jadi pelindung baginya dan penengah di antara keluarganya.
Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Tidak biasanya Mita bangun siang. Rangga yang melihat istrinya masih bersembunyi di balik selimut tebal bergambar animasi Doraemon itu, berniat membangunkan istrinya.
Namun barus saja Rangga memegang pundak Mita, hawa panas yang berasal dari tubuh Mita ia rasakan.
“Dek, kamu sakit? Badan kamu demam.”
Mita mengerjap. Mencari sumber suara berasal.
Mita masih enggan berbicara dengan suaminya karena perdebatan kemarin. Namun ia juga tak tahan menahan pusing dan mual yang dirasakan.
“Aku pusing Mas, perutku juga mual,” sahutnya lemah.
Tiba-tiba Rangga beranjak ke dapur, ia buatkan air hangat untuk istrinya yang tampak pucat.
“Ini minum dulu Dek! Mau Mas kerok?” Mita merasa heran dengan perubahan sikap suaminya, namun ia tak begitu peduli.
“Mas minta maaf ya Dek. Mas sudah keterlaluan,” Rangga menggenggam jemari istrinya erat. Ia usap dan ia kecup kening Mita. Nah seperti inilah yang membuat Mita selalu bisa melupakan sakit hatinya. Semudah itu Mita memaafkan? Ah aku pun tak akan bisa seperti Mita.
“Sudah Mita maafkan Mas. Tapi Mita mohon, lain kali cari tahu dulu kebenarannya, sebelum Mas menyalahkan aku!"
Huekk....huekk...
Mita memuntahkan isi perut yang sedari tadi bergejolak dalam perutnya.
“Ayo kita berobat saja, Dek! Wajahmu pucat sekali,” ucap Rangga saat menyadari bibir ranum milik istrinya yang biasanya berwarna merah muda, kini menjadi putih pucat.
Mita tidak menolak ajakan suaminya, karena ia merasa sangat lemah.
“Selamat ya Pak, atas kehamilan istri Anda.”
Mita dan Rangga saling bersitatap. Akhirnya kini Allah titipkan seorang anak pada mereka. Mandul kini bukan lagi hal yang pantas disematkan pada wanita sabar itu.
“Alhamdulillah, keduanya mengucap syukur bersamaan. Mereka pulang dengan rasa bahagia. Rangga tak sabar mengabarkan kehamilan istrinya pada orang tuanya.
“Pagi-pagi sudah jalan. Masak apa, Mbak? Aku mau minta dong. Lapar ibu belum masak." Sinta tak pernah berbasa basi soal makanan. Ia selalu dengan entengnya meminta pada kakak iparnya itu. Bukanya merasa sungkan karena sudah berbuat jahat, namun justru tidak tahu malu sama sekali.
Mita tidak ingin terjadi keributan lagi. Ia mengatur emosinya sebaik mungkin.
“Jangan dulu menyuruh mbak Mita, Dek. Dia lagi hamil, perlu banyak istirahat,” Rangga menyahut sebelum Mita sempat menjawab. Rangga masuk terlebih dahulu karena sudah tidak tahan untuk membuang hajat. Sementara Mita duduk di teras, karena kepalanya terasa berdenyut pusing sekali.
“Hah hamil? Jangan beralasan deh Mbak! Masa iya tiba-tiba hamil? Supaya apa? Supaya dimanja sama Masku,” bisik Sinta lirih, singkat, namun terdengar sinis.
“Dih kalau beneran hamil, terus manja gitu?”
“Bisa tidak jaga sikap kamu Sinta! Apa maksud status wa kamu tadi pagi? Sudah sejahat itu kamu sama saya, masih berani juga meminta masakan. Kalau aku sih malu Sin.”
“Dari dulu apa pun yang aku masak, aku selalu berbagi, bahkan pakaian pun sering aku belikan, aku sayang sama kamu, yang aku kira kamu juga akan melakukan hal yang sama. Ternyata aku salah Sin, kamu itu ular. Mau dibaiki seperti apa pun, tetap jahat.”
“Wah, sudah berani rupanya kamu, Mbak. Dasar orang miskin perhitungan. Masalah masakan sama baju saja dibesarkan. Nah lihat, rumah yang kamu tempati ini masku yang buat. Malu tidak masih tinggal menumpang sudah berani mengungkit pemberian kamu yang tidak seberapa itu Mbak?"
“Soal status wa aku, kenapa memangnya? Kamu mau marah, Mbak? Tidak terima? Semua benar bukan?”
“Yang aku beri memang tidak seberapa Sin, tapi aku ikhlas. Dan kamu, jangan dulu sombong! Ingat apa pun yang kamu perbuat sama aku saat ini, suatu saat akan ada yang membalasnya.”
“Dih main menyumpahi lagi. Kamu itu bukan Tuhan. Jangan sok keras deh! Miskin belagu,” cerocos Sinta.
“Pulang sana Sin, kelapaku pusing. Kalau kamu di sini hanya mau menambah sakit kepalaku, sana pulang!”
Mita terus memijat kepalanya yang terasa berat. Sinta yang duduk di kursi sebelah Mita pun akhirnya bangkit.
“Iya, aku memang mau pulang. Ngomong sama orang miskin kayak kamu tidak ada gunanya, Mbak. Sial banget masku nikah sama orang miskin kayak kamu. Bisanya menyusahkan keluargaku saja. O iya nanti kalau memang beneran hamil, pas melahirkan, tolong saja ya, jangan merepotkan! Urus sendiri anakmu!”
“Siapa juga yang mau merepotkan kamu Sin? Jangankan bantu urus anakku, aku sakit saja kamu tidak pernah sekali pun peduli.”
Sinta pun masuk ke dalam rumah tanpa permisi.
“Diciptakan dari apa hatimu? Jahat sekali kalau bicara, keluh Mita sembari beranjak masuk juga menuju kamarnya. Di Rumah, Sinta rupanya tidak diam saja.
“Bu, Sinta punya kabar baru tentang perempuan mandul itu.”
“Mita maksud kamu?”
“Iyalah Bu, siapa lagi.”
“Kenapa lagi dia? Sahut Bu Mega antusias.
“Dia hamil Bu. Dan Mas Rangga tadi juga sudah bersikap baik pada istrinya yang miskin itu.
“Apa? Hamil? Wah bakalan susah ibu memisahkan dia sama masmu kalau dia hamil.”
“Ibu sih lambat gerak, keduluan hamil 'kan? Susah 'kan sekarang. Maka aku sudah senang Bu, mas Rangga mau ibu jodohkan sama mbak Eka. Sudah kaya, Dosen lagi.”
“Ya dari kemarin kan kita sudah berusaha, bikin masmu membenci perempuan miskin itu. Kemarin bukannya masmu sangat emosi, saat ibu memberitahu perbuatan perempuan miskin itu sama kamu, kok hari ini sudah baikkan?”
“Ya mana Sinta tahu Bu. Mungkin sudah dikasih pelet kali Bu sama si Mita itu.”
Mereka terus saja menggerutu kesal mendengar kehamilan Mita yang tak terduga itu. Bukanya bahagia akan mendapat anggota keluarga baru, mereka justru sangat kesal.
Sementara Mita di kamarnya tengah beristirahat. Setelah memakan vitamin yang diberikan oleh Dokter tempat ia periksa tadi. Ia gulir kembali status wa Sinta.
Cekrek, Mita membidik dan menyimpan status itu pada tempat penyimpanan tertentu. Barangkali suatu hari nanti akan jadi bukti kejahatan Sinta padanya. Karena selama ini Rangga selalu membelanya. Mita tidak ingin kesalahan yang sama terulang kembali. Disalahkan tanpa bisa membantah sepenuhnya, karena tidak adanya bukti yang ia bisa tunjukkan.
Saat ini Mita memilih diam. Dia tidak ingin membahasnya sekarang tentang status wa adik iparnya itu. Suatu saat nanti akan ia bahas dengan suaminya. Pasti akan ada status-status berikutnya.
Sejak dulu sebenarnya Mita sering kali mendapat pesan dari temannya tentang status Sinta yang menjelek-jelekkan dirinya, namun ia memilih abai. Ternyata semakin kesini Mita bisa membaca dengan mata kepalanya sendiri.
Sungguh malang sekali Mita. Mencari suami yang masih memiliki keluarga lengkap, berharap akan mendapatkan kasih sayang dan keluarga yang utuh, justru membuatnya menjadi orang asing yang tak diharapkan.
Sejak usia tiga tahun, Mita sudah harus kehilangan sosok ibunya, ibu Mita meninggal dunia, karena terserang sesak nafas. Sejak saat itu Mita diasuh oleh nenek, ibu dari almarhum ibunya, naasnya di saat Mita kelas satu SMP, nenek Mita pun menyusul ibunya Mita ke Surga.
Terburu-buru menikah karena sudah lelah hidup dan berjuang sendiri ternyata bukan jalan yang benar. Cobaan yang Mita hadapi semakin berat. Kini ia dihadapkan pada mertua dan adik ipar yang toxic sekali.
Rangga keluar dari WC setelah menyelesaikan hajatnya. Dilihatnya Mita sudah tertidur lelap. Karena di WC terlalu lama, sampai istrinya menunggu hingga terlelap.
“Terima kasih ya Allah, akhirnya seorang anak yang selalu kami nantikan selama ini, kini hadir dalam rahim istriku.”
Rangga mengecup lembut kening istrinya. Tak hentinya dia bersyukur atas kehadiran buah cinta mereka, yang kini tumbuh di rahim Mita.
Sementara di depan pintu kamar, Bu Mega menatap sinis pada menantunya. Bu Mega diam-diam masuk tanpa mengucapkan salam. Sudah menjadi kebiasaan.
“Aku tidak rela kamu jatuh ke pelukan perempuan kere itu. Ibu akan membuat anakmu mati sebelum dia lahir ke dunia ini,” ucapnya lirih hampir tak terdengar.