BAB 2

922 Words
“Dek, Mas kecewa sama kamu. Kamu berani main tangan sama Sinta, Dek? Mas tidak menyangka, tanganmu begitu ringan melayangkan tamparan pada Sinta adik Mas, adikmu juga. Mas saja, selama ini belum pernah sekalipun memukulnya." Rangga terus saja menyalahkan Mita tanpa memberi kesempatan pada istrinya itu untuk bicara. “Mas, itu semua tidak benar. Kamu sudah termakan fitnah, Mas,” Mita mencoba menjelaskan kebenaran pada suaminya. “Bagaimana bisa kamu berubah seperti ini, Dek? Dulu kamu sangat baik bukan? Ya maaf kalau adikku yang satu itu manja, karena dia terbiasa dimanjakan oleh bapak, ibu, dan Mas juga. Kamu seharusnya bisa memakluminya. Tapi apa? Kamu tega menampar adikku.” “Cukup Mas! Sudah aku katakan, ini fitnah Mas. Adikmu tiba-tiba ke rumah, dan berbicara kasar. Kebetulan Dimas mendengarnya, dia datang kemari mencoba menasihati adik kesayangan Mas itu.” “Tapi Mas tahu sendirikan, bagaimana sifat Sinta? Dinasihati bagus-bagus malah melawan, sampai Dimas kelepasan hingga menamparnya,” Mita menjelaskan lebih detail permasalahan yang terjadi. “Halah, sudah Mas capek mendengar omong kosongmu itu. Bapak sama ibu juga sudah cerita sama Mas, mereka juga Bilang kamu yang menampar Sinta. Pokoknya Mas tidak mau dengar lagi kamu jahat sama Sinta. Dia adikku. Jangan ikut-ikutan Dimas! Dia itu kurang ajar! Adek sendiri saja di pukul.” Rangga gelap mata. Dia menyalahkan istrinya karena termakan hasutan keluarganya. Sementara Mita naik pitam. Rasanya ingin ia cincang-cincang saja suami di hadapannya itu. Bagaimana bisa dia menyalahkan istrinya begitu saja tanpa mempercayai penjelasan istrinya? Padahal Mita berkata benar. Saat emosi Mita sedang di puncaknya, si biang onar pun datang tanpa rasa bersalah. “Mbak! Mbak Mita, tolong dong buatkan tumis kangkung, sama gorengkan ayam! Aku lapar, cepetan ya, Mbak? Tidak pakai drama!" ucap Mita sembari menatap jengah pada kakak iparnya. “Jangan manja Sinta! Kamu bisa membuatnya sendiri. Mbak capek mau tidur siang dulu,” sahut Mita sembari berlalu meninggalkan Sinta dan Rangga di ruang tengah. “Bikin 'kan dulu apa yang diminta Sinta Dek! Jangan begitu! Kasihan adikku lapar. Kamu 'kan tahu sendiri adikku tidak bisa masak." Rangga ikut bersuara membuat Mita semakin geram. “Makanya belajar, jangan tahunya makan saja! Kamu kira tidak capek apa masak? Sebentar-sebentar minta dimasakkan. Sebentar-sebentar memerintah. Adik kandungku saja tidak pernah begitu. Aku ini istri dari masmu yang seharusnya kamu hormati, bukan kamu jadikan b***k kemalasanmu.” Brakk Pintu ditutup dengan kuat, hingga membuat keduanya tersentak kaget. “Tuh 'kan, Mas lihat sendiri kelakuan istri Mas? Ceraikan saja dia Mas! Aku tidak sudi punya kakak ipar kelakuannya jahat begitu. Selama ini aku selalu menghormatinya Mas, tapi ini balasannya, dia memfitnahku. Sinta terus saja menggerutu sembari mencoba memengaruhi, agar Rangga membenci istrinya. Air mata buaya ia keluarkan. Ia merasa jadi adik ipar yang paling tersakiti. “Maafkan Mas ya, Dek? Gara-gara Mas salah pilih istri, jadi menyakiti kamu seperti ini,” ucap Rangga merasa bersalah pada adiknya yang tukang fitnah itu. Rangga pun mengusap air mata pada pipi Sinta. Rangga segera menarik dan mendekap Sinta dalam pelukannya. Senyum menyeringai menyelimuti wajah Sinta yang licik. Mita masih dapat mendengar percakapan antara suami dengan adik iparnya itu. Dadanya bergemuruh hebat mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Sinta. Baru saja dia ingin keluar dan memberi perhitungan pada Sinta, tiba-tiba ibu mertuanya datang. Ia urung melangkah, dan segera menutup kembali pintu kamarnya. “Loh, kok di sini Sinta? Ayo pulang! Kamu harus banyak istirahat.” Wanita bertubuh tambun itu membelai lembut pucuk kepala anaknya yang manja. “Bu, Sinta pengen makan tumis kangkung sama ayam goreng, tapi mbak Mita malah marah-marah Bu. Dia tidak mau lagi memasak makanan untukku,” adunya pada wanita yang bernama Lina itu. “Benar begitu Rangga? Keterlaluan istrimu itu! Adikmu ini belum sehat sepenuhnya. Mana dia? Ke mana istrimu? Dasar wanita miskin tidak berguna! Sudah mandul, hidup masih menumpang di rumah suami saja belagunya setengah mati,” makinya tanpa jeda, sebelum Rangga sempat menjawab pertanyaan ibunya itu. “Tuh di kamar Bu. Dasar kakak ipar tidak berguna! Usir saja Bu! Kalau bisa ceraikan saja wanita belagu itu Mas!" Dengan wajah murka, Mita keluar dari persinggahannya. Telinganya terasa panas mendengar ocehan dari ipar dan mertuanya tersebut. Ia juga merasa kecewa pada suaminya yang tidak tegas itu. “Cukup Sinta! Kamu keterlaluan. Kamu jangan mengada-ngada Sinta! Kalau kamu tidak suka sama aku, cukup kamu simpan sendiri! Kamu jangan memengaruhi yang lain, untuk ikut membenciku juga!" Gadis tukang drama itu kembali beraksi dengan air mata palsunya. “Apa salah Sinta, Mbak? Jangan jadi tukang kompor ya Mbak! Aku berkata jujur Bu. Mbak Mita yang fitnah Sinta,” tangisnya pecah di pelukan ibunya. Sementara tamparan keras Mita terima dari lelaki bergelar suami itu. Mita mengaduh sakit, air matanya menerobos begitu saja. Dadanya terasa sesak sekali. “Hari ini saat tidak ada satu pun yang mempercayaiku, masih ada Allah yang akan membalas sakit hatiku hari ini. Kamu Sinta, puas kamu sudah menebar fitnah seperti itu? Kudoakan suatu saat nanti setelah kamu menikah, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan selama ini!" Sumpah serapan keluar dari mulut Mita disertai tangis kekecewaan. Ia kembali ke kamarnya, dan mengurung diri sana. Selama ini, semua dengan mudah menyakiti dan berlaku seenaknya padanya. Ia hanya diam dan mengalah. Namun kesabaran Mita sudah sampai di batasnya. Tidak ia pedulikan lagi, mertua yang seharusnya ia hormati, dan suami yang seharusnya menjadi penengah di antara mereka, justru hanya memihak pada keluarganya saja. Selama tinggal bersama Rangga, Mita sering kali mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari keluarga suaminya itu. Ia selalu dipandang rendah oleh keluarga besar suaminya. Di cap wanita miskin, mandul, beban suami, semua makian itu tersemat padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD