BAB 19

1284 Words
“Ini minum dulu, Nak! Maaf, Ibu membuatmu terkejut. Lagian Romi janji-janji terus mau mengenalkan Ibu pada calon istrinya. Tahunya hari ini dia menepati janji. Ibu bahagia sekali bisa bertemu dengan calon menantu Ibu. Maafkan Ibu , ya?” ucap bu Sukma merasa bersalah. “Iya Bu, tidak apa- apa. Tapi maaf Bu, Saya buk..” “Iya maaf Bu. Ibu tahu sendiri calon istri Romi ini sibuk Bu. Hari ini Romi baru sempat membawanya kemari,” sela Romi saat Rina belum menyelesaikan bicaranya. Romi memberi kode kedipan mata pada Rina, agar dia mengiyakan saja perkataan Romi. “Oh, pantas saja dari kemarin janji-janji terus. Kalau kamu bilang sama Ibu, bahwa calon istrimu ini sibuk bekerja, tentu saja Ibu mengerti. Sehingga Ibu tidak akan memaksa kamu mengenalkannya pada Ibu terburu-buru.” “Ibu tidak sabaran sih. Capek Romi ditagih terus soal calon istri. Romi jadi tidak fokus Bu bekerja, pas itu sampai salah tangkap orang, kan Romi malu Bu.” “Ibu sudah tua Rom. Mau menunggu sampai kapan? Ajal tidak ada yang tahu. Umur Ibu sudah tidak muda lagi, sudah bau tanah.” “Ibu jangan bilang begitu dong! Kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi Bu. Hanya kita berdua. Bapak sudah bahagia dengan kehidupannya sendiri, sampai melupakan kita.” “Sudah! Tidak perlu kamu bahas lagi tentang bapakmu. Ibu tidak mau lagi mendengar namanya, atau kisah hidupnya. Sudah cukup rasa sakit yang bapakmu torehan pada hati Ibu.” “Maafkan Romi Bu! Romi hanya tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Romi doakan Ibu panjang umur, dan diberi kesehatan selalu sama Allah.” “Jadi kapan kamu akan menikahi, siapa namamu Nduk?” “Saya Rina Alona Bu,” ucap Rina memperkenalkan diri dengan ramah. “Jadi kapan kalian akan menikah?” Bu Sukma mengulangi pertanyaannya. “Secepatnya Bu. Kami akan mengurus segala macam berkas dan persiapannya, setelahnya kami akan segera melangsungkan pernikahan,” jawab Romi mantap. Sementara Rina menatap Romi bingung. Ia mencoba mencari jawaban, namun ia belum bisa menanyakannya sekarang. “Baiklah, Ibu akan memberi tahu keluarga kita, silahkan kalian mengobrol! Ibu masuk dulu. O iya Nduk, sini ikut Ibu masuk!” ajaknya pada Anisa. Anisa hanya menurut langsung mengekor ikut masuk ke dalam. Kini hanya tersisa Romi dan Rina. “Apa maksudnya, Mas? Menikah? Ini hal sakral. Cinta tidak sebercanda ini Mas,” protes Rina pada Romi. “Saya tidak bercanda Rin. Selama ini saya selalu memantaumu lewat CCTV yang terpasang di warung saya ini. Sejak kasus salah tangkap waktu itu, saya jadi susah tidur karena teringat kamu terus. Saya tahu kamu sering makan di warungku ini,” sahut Romi yang membuat Rina hampir terbatuk lagi. “Kenapa Mas tidak memberitahukan ini padaku? Memangnya Mas pikir aku bakal langsung menerimanya begitu saja?” “Aku mohon Rin! Aku mencintaimu. Biarkan aku melabuhkan cintaku padamu. Aku berjanji akan membahagiakanmu. Terimalah Rin rasa cintaku. Aku sudah hampir putus asa, karena di usiaku yang memasuki kepala tiga, belum juga mendapatkan wanita idamanku. Setelah aku bertemu denganmu, aku merasa kamulah jodohku.” “Lupakan pertemuan pertama kita yang penuh kekonyolan itu! Itu mungkin sudah termasuk cara Tuhan mempertemukan kita, hanya saja dengan cara yang unik.” “Aku bingung Mas. Aku belum mengenalmu. Kita hanya bertemu sekali waktu itu. Lantas bagaimana aku harus menjawabnya? Berikan aku waktu, Mas!” “Aku butuh jawaban kamu sekarang. Ibu sudah bilang, kalau akan memberi tahu keluargaku tentang ini semua. Aku mohon Rin, menikahlah denganku. Maaf kalau aku terkesan memaksa, aku hanya ingin memperjuangkan, apa yang seharusnya aku perjuangkan.” Rina seperti terhipnotis oleh pengakuan pria itu. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Ada haru, ada bahagia, dan ada rasa kagum yang entah apa alasannya? Seorang pria dikenalnya secara tidak sengaja itu, tiba-tiba melamarnya. Pria berseragam Polisi itu, mengajaknya menikah secara mendadak. Akankah ini jawaban atas doa-doanya? Ia memandang haru pada pria tampan itu. Iya pria tampan yang dulu pernah menangkapnya, karena salah duga. Flasback “Berhenti! Jangan kabur! Kalau tidak berhenti saya tembak! Ancamnya pada wanita yang nafasnya tersenggal-senggal karena lelah berlari. Wanita itu adalah tersangka kasus penculikan. Wanita itu terus berlari menyusuri jalanan ramai. Di waktu yang sama Rina yang tengah di kejar anjing, saat joging sore, pun berlari sekuat tenaga karena takut. Kebetulan warna baju mereka sama-sama hitam.” “Nah kena kamu. Jangan mencoba-coba untuk kabur lagi!” dengan percaya dirinya, Romi memborgol tangan Rina. “Apa-apaan ini, Pak? Kok saya diborgol?” tanya Rina kebingungan. “Anda sudah terlibat kasus penculikan. Silahkan jelaskan semuanya di Kantor Polisi.” “Ini penculiknya sudah berhasil ditangkap,” ucap Polisi yang lain sembari membawa seorang wanita. “Loh, yang benar yang mana penculiknya ini?” tanya Romi bingung. “Lepaskan saya Pak! Saya lari karena dikejar anjing. Bapak main tangkap-tangkap saja. Saya ini pemilik Klinik Rina Alona, sekaligus Bidan. masa saya dituduh jadi penculik?” Dengan wajah malu, Romi terpaksa melepaskan kembali wanita yang sudah ter borgol tangannya. “Lain kali lebih teliti lagi dong Pak! Kalau salah tangkap beginikan Bapak sendiri yang malu,” sindir Rina. “Saya mohon maaf Mbak! Saya harap Mbak memaafkan saya. Maklum mbak bajunya sama.” “Kali ini saya maafkan Pak, tapi lain kali kalau bapak salah tangkap lagi, saya suntik pakai jarum paling besar, biar bapak tahu rasa,” ancam Rina. Sejak saat itu Romi pun terus terbayang-bayang, wajah Rina. Anisa yang mengetahui sepupunya menaruh rasa pada sahabatnya, dengan senang hati membantu. “Baiklah, mungkin Mas memang jodoh yang Tuhan kirimkan untukku. Aku mau menikah denganmu Mas.” “Alhamdulillah, terima kasih Rin! Eh, maaf jadi panggil nama dari tadi.” “Iya Mas.” ***** “Terima kasih ya Nis, sudah mengantarkan calon menantuku!” ucap bu Sukma saat mereka berada di ruang tamu. “Iya sama-sama Tante. Anis berpura-pura tidak tahu apa-apa Tante. Jadi Rina terasa dapat kejutan.” “Beruntung sekali Romi memiliki sepupu baik sepertimu.” “Sudah Tante, jangan berlebihan, sesama saudara harus saling membantu.” “O Iya Tante, minggu depan ke rumah, ya? Acara lamaran Anis Tante.” “Alhamdulillah, kamu juga sudah bertemu jodohmu Nis?” “Alhamdulillah Tante.” ***** “Sinta sudah lega sekarang Mbak. Sinta sudah minta maaf pada Rina. Tapi masih ada yang mengganjal Mbak. Sinta belum meminta maaf pada mas Aldo dan juga ibunya.” “Alhamdulillah, nanti kalau kamu sudah siap, kamu bisa meminta maaf pada mereka.” “Iya Mbak. Terima kasih ya, Mbak? Berkat kesabaran Mbak bisa menyadarkan Sinta.” “Iya sama-sama Sin.” “Ayo kita ke kamar ibu! Kasihan ibu sendirian, ajak Mita pada Sinta.” Sinta pun mengangguk tanda setuju. “Eh ada Bapak Sin, kita biarkan mereka saling melepas rindu. Ayo kita ke belakang saja!” “Iya Mbak.” “Rival masih tidur ya, Mbak? Sepi sekali rasanya.” “Iya Sin. Dia biasanya tidurnya lama kalau siang begini. Apalagi di kamar Mbak hawanya adem, makin awet tidurnya.” “Mbak, maafkan Sinta atas semua kesalahan yang Sinta lakukan selama ini! Maafkan Sinta ya, Mbak?” “Iya Sinta. Sudahlah, jangan pikirkan kesalahan kamu lagi! Berbahagialah dengan perubahan kamu yang sekarang. Semoga kebahagiaan serta kemudahan hadir setelah ini.” “Terima kasih mbak.” “Eh kok kayak ada yang ketuk pintu Sin, kamu dengarkan?” “Iya Mbak, coba kita lihat ke depan.” Mereka pun beriringan ke arah pintu utama. Setelah pintu terbuka, Sinta mundur perlahan, dan sedikit menundukkan wajahnya. “Tante, Aldo, silahkan masuk!” ucap Mita sembari tersenyum ramah pada tamunya. Mereka pun masuk. Aldo sesekali mencuri pandang pada Sinta. Berbeda dengan Sinta, dia hanya diam dan tidak berani menampakkan wajahnya. “Ada hal penting yang akan saya sampaikan, saya harap semua bisa berkumpul di sini, Mbak untuk menjadi saksi atas hal penting ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD