“Bu, Sinta pusing sekali Bu. Nanti lagi ya Bu, mencuci bajunya? ”keluh Sinta pada ibu mertuanya.
“Tidak ada nanti-nanti, di rumah ini, semua pekerjaan harus selesai sebelum jam dua belas siang. Makanya bangun pagi. Ikut mertua kok bangunnya siang? Jangan malas! Jangan banyak alasan!”
“Kamu lagi hamil harus banyak gerak biar lancar pas persalinan nanti. Kalau kamu malas gerak, nanti bisa-bisa dioperasi sesar. Kamu mau perutmu dibelah kayak Ibu belah mangga ini?” ancam Bu Ati sembari memperlihatkan gerakan tangannya yang lihai membelah mangga untuk di buat jus.
“Sinta tidak mau Bu. Sinta benar-benar capek Bu. Kalau Sinta pingsan, Ibu mau gendong Sinta?” sahut Sinta balik mengancam.
“Lagian Bu, selama Sinta tinggal di rumah, ibu tidak pernah menyuruh Sinta mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi mencuci. Ini semua pekerjaan mbak Mita. Sinta tidak pantas Bu kerja berat begini. Sinta ini anak orang kaya Bu. Suruh mas Aldo cari pembantu saja, Bu.”
“Kalau menantu ibu miskin seperti mbak Mita, tidak apa-apa Ibu perlakuan kayak pembantu. Lah, Sinta ini anaknya orang kaya yang biasa dimanja. Ibu harus memperlakukan Sinta sama seperti ibuku memperlakukanku Bu. Jangan semena-mena!”
“Sekarang beda dong. Kamu ‘kan di sini tinggal sama ibu, jadi harus patuh sama aturan di rumah ini. Jangan kamu terapkan kemalasanmu di rumah Ibu. Ibu tidak suka orang malas. Kamu mau diceraikan sama suamimu karena kamu malas?”
“Jangan kasih tahu mas Aldo dong Bu! Masa masalah sepele begitu saja, Ibu hendak mengadu pada mas Aldo?”
“Kalau begitu jangan kebanyakan protes! Setelah ini kamu harus menjemur pakaian yang kamu cuci di belakang rumah.”
“Jemur pakaian kayak mana, Bu? Sinta juga belum pernah jemur pakaian, ”ucapnya polos.
“Lama-lama ibu bisa stres punya menantu kayak kamu Sinta. Sudah selesaikan dulu mencucinya, setelah itu jemur di belakang, terserah bagaimana caranya kamu menjemurnya? Ibu tidak mau tahu. Kalau sudah selesai menjemur, langsung bantu Ibu masak. Ada otak ‘kan? Bisa dipakai buat mikir sedikit! Jangan beralasan sedikit-sedikit tidak tahu. Anak TK saja tahu menjemur pakaian, masa perempuan seumuran kamu begitu saja tidak tahu?”
“Ingat sebelum semua pekerjaan selai, kamu tidak boleh makan. Eh lupa lagian belum ada makanan di rumah ini sebelum jam dua belas. Kami terbiasa makan siang hari.”
“Awas kalau kamu sampai mengadu sama keluargamu, akan aku suruh Aldo untuk menceraikanmu saat itu juga. Kamu paham!”
“Iya Bu, Sinta mengerti,” sahutnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Cengeng! Begitu saja menangis.”
Sinta pun gegas menyelesaikan pekerjaannya. Kepala pusing hanya alasan agar dia bisa terbebas dari pekerjaan yang ibu mertuanya berikan. Dia pikir ibu mertuanya bodoh apa?”
“Rasakan! Ini baru permulaan Sinta. Dulu setiap Dimas mengadu pada Aldo tentang kakak iparnya, si Mita yang selalu di tindas, sekarang jangan harap kamu bisa mengadu pada siapa pun,” gumam bu Ati sembari memblender mangga yang telah ia belah-belah tadi.
“Dunia sempit sekali. Ternyata tukang tindas itu, kini jadi menantuku. Akan aku buat kamu paham, bagaimana rasanya tinggal dengan mertua baik hati sepertiku Sinta?”
“Eh Aldo sudah pulang Nak,” tanya Bu Ati saat Aldo yang baru pulang dari lari pagi, duduk di kursi dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Iya Mah, Aldo lagi senang Mah, tadi ketemu sama Santi di Taman,” sahut Aldo lirih sembari senyum-senyum genit pada sang mama.
“Kalau kamu mau, setelah Sinta melahirkan nanti, menikahlah dengan Santi, dan ceraikan Sinta,” sahut bu Ati sembari menatap wajah Aldo serius.
“Aldo sih maunya punya dua istri Mah. Biar enak yang satu Aldo bawa jalan-jalan, yang satu bantu-bantu Mama di rumah, ucap Aldo membuatnya bu Ati melotot seketika.
“Boleh, tentu saja boleh. Mama setuju. Kamu bulan madu sama Santi, biar Sinta di rumah bantu Mama. Tapi apa Santi mau dijadikan istri kedua Aldo?”
“Mau dia Mah. Tadi kami sudah mengobrol cukup jauh. Dia rela Mah jadi istri kedua, karena dia bilang tidak mau menikah dengan siapa pun selain sama Aldo. Lagian kami sudah saling mencintai sejak lama. Hanya saja, Aldo bodoh sudah tergoda dengan wanita ular itu. Aldo menyesal Mah. Kalau tahu Sinta itu yang sering Dimas ceritakan, tentu Aldo tidak akan menjalin hubungan apa pun sama dia Mah.”
“Menyesal tidak ada gunanya. Cukup kamu jalani saja!”
“Iya. Mama suka sekali dengan Santi, sudah baik, rajin, dan pastinya dia penyayang. Selama ini dia sangat perhatian pada Mama.”
“Kok kalian sebut-sebut nama perempuan lain sih? Ibu kok jahat sama Sinta? Ingat ya, Bu tentang pesan bapakku? Kalian harus menjagaku, dan kalian tidak boleh menyakitiku. Ingatlah janji kalian pada bapakku” Sinta terlihat murka karena mendengar nama perempuan lain yang dibicarakan oleh mertua juga suaminya.
“Oh, kalau kami ingkar memangnya kenapa? Menangnya orang tuamu dulu sudah memperlakukan menantu mereka dengan baik? Kok ngarep anaknya dijaga dan tidak boleh disakiti,” sindir bu Ati.
“Maksud Ibu apa? Wajar dong kalau ibuku dan bapakku jahat sama menantunya yang miskin itu? Kalau Ibu mau jahat sama Sinta, baru gak wajar. Sudah punya menantu kaya begini masih kurang juga?” sahut Sinta dengan pongahnya.
“Santai saja dong Sinta! Jangan ngegas begitu! Kamu ini punya kebiasaan buruk rupanya. Menghina orang tanpa berkaca. Suka seenaknya sama orang tapi kalau diperlakukan seenaknya sama orang marah. Kalau tidak mau dilempar batu, jangan melempar duluan.”
“Ayo cepat cuci piring yang menumpuk itu! Setelah itu, bantu Ibu masak! Jangan harap kamu bisa hidup enak di sini! Aku bukan ibumu yang selalu bisa memaklumimu.”
Bu Ati pun berlalu meninggalkan Sinta yang memerah matanya, sementara Aldo menatap benci pada istrinya itu.