2. Shilloute of Love

1085 Words
"Aku tahu diriku jauh dari kata sempurna. Namun, aku lebih tahu jika aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan sosok yang aku cinta. Yaitu kamu, James." -Sofia ,,,,,,," Bangunan-bangunan yang berjumlah tujuh itu bernuansa warna putih dengan tingkatan enam lantai. Megah. Satu kata yang mewakili seseorang ketika melihat bangunan itu. Ketujuh bangunan mengelilingi taman yang memiliki 5 gazebo serta tujuh pilar batu berdiri. Ah, entah untuk apa pilar-pilar batu itu. Yang jelas, mereka seperti mengelilingi satu titik di tengah taman. Misteri yang banyak orang belum ketahui. Keajaiban dibalik susunan itu yang hanya sedikit orang tahu. Namun, justru beredar pantangan-pantangan yang mungkin tak masuk akal. "Jangan mendekati Sette Stone. Atau kamu akan menghilang untuk selamanya." Ya. Pilar-pilar tujuh batu itu bernama Sette Stone. Letaknya seperti jantung pada bangunan putih yang megah itu. Soal pantangan? Tentu saja hampir seluruh warga bangunan megah putih itu mempercayainya. Kecuali mereka yang tidak percaya dengan keajaiban. Bangunan putih megah menampung 2.108 siswa dengan tiga tingkatan kelas. Beginers, middle age, dan top starry. Sekolah yang benar-benar berbeda dengan sekolah lain di kota Matfistopia. Sekolah yang memiliki peraturan khusus dan banyak hal aneh terjadi di dalamnya, namun tak pernah tuntas diusut atau diteliti oleh para ahli. Benar. Nama sekolah itu ... Starry High School. Sofia berjalan jenuh riang di dalamnya. Menyusuri koridor lantai tiga gedung dua. Senyumnya mengembang sempurna, bahkan ia sempat memainkan rambutnya. Dan, tentu saja gadis itu selalu menyapa orang yang ia temui. Periang? Ya, Sofia adalah gadis yang seperti itu. Namun masalahnya, dia sedikit tidak disukai oleh siswa-siswa Starry. Bagaimana tidak, jika ada siswa Starry yang sedang membicarakan tentang kekuatan dan keajaiban itu, Sofia langsung menyela dan mengajaknya berdebat dengan berbekal ilmu staintifik. Logis dan empiris. Itu adalah prinsip pemikiran Sofia. Sangat bertolak belakang dengan pemikiran siswa maupun guru-guru di Starry. Mata gadis itu berbinar terang. Iris cokelatnya begitu jernih. Dia bersiap untuk tampil semanis mungkin. Karena apa lagi jika bukan karena sosok yang ia cintai. Cowok tinggi dengan punggung yang lebar itu berjalan di depan yang tak jauh dari Sofia. Rambutnya tebal, langkahnya lebar karena dia memiliki kaki yang panjang. Oh, jangan lupakan aroma vanilla late yang bisa Sofia cium dari jarak sekitar tiga meter itu.  "James!" teriak Sofia tanpa ragu. Dia juga melambaikan tangannya dengan melakukan eyes smile yang membuat senyum namun matanya tertutup. Manis memang. "James!" sapa Sofia sekali lagi karena sampai sekarang James tidak meresponnya. Karena kesal, Sofia menghentakkan kakinya dengan keras, mengambil langkah cepat untuk menyusul James. "James! Selamat pagi!" Akhirnya, Sofia bisa mensejajarkan dirinya dengan James. Pandangannya tidak bisa luput dari wajah James yang begitu tampan meskipun sikap cowok itu begitu dingin, namun Sofia pikir itu adalah kharisma dari seorang James. "James? Apa lo nggak dengerin gue? Gue cuma mau-" Satu lirikan tajam berhasil James tunjukkan kepada Sofia. Membuat Sofia tutup mulut. "Berhenti ngikutin gue, Sofia. Gue bener-bener keganggu sama lo. Tolong sadar diri," ucap James dengan begitu ketusnya. Bukannya menyerah dan diam, Sofia justru menggandeng tangan James tanpa izin. Dia terus saja memamerkan senyuman manis miliknya. "Benarkah? Jadi, gue berhasil mengusik hati lo? Itu hal yang bagus! Pasti sebentar lagi lo bakal jatuh cinta sama gue, James." "Ishhh! Omongan lo membuatku merinding, Sofia! Seolah-olah omongan lo tadi itu kutukan buat James!" Mendengar sahutan seseorang dari belakang, membuat Sofia dan James berbalik badan. "Marve, lo emang nggak punyai hati!" timpal Sofia kepada temannya itu. Marve. Cowok dengan potongan rambut modle mullet yang memang terkenal sedikit jahil. Marve bersedekap tangan, memancarkan wajah yang sok berwibawa. "Gue bicara berdasarkan fakta. Udah bertahun-tahun gue ngamatin jalan cerita lo dengan James  nggak membuahkan hasil sama sekali." "Apa lo nggak lihat?" Sofia melirik ke arah tangannya dan tangan James, seakan memberi kode kepada Marve untuk melihatnya. "Gue dan James justru semakin dekat akhir-akhir ini. Kita pasti bakal segera jadian. Dan lo, nggak usah ikut campur hubungan romansa kami, Marve!" James melepaskan tangannya dari genggaman Sofia dengan begitu kasar. Mata elangnya kembali menyambar iris biru Sofia. "Dengar, Sofia. Gue nggak bakal menjalin hubungan romansa sama lo. Bahkan sekarang, gue merasa jijik karena lihat tingkah lo!" tegas cowok itu lalu pergi dengan mudahnya meninggalkan Sofia. "Apa lo nggak capek, Sofia? Coba aja lo lihat ke belakang, banyak cowok yang ingin deketin lo. Ngapain harus James? Coba move on, dong, Sofia." Suara halus beriringan dengan langkah kaki seseorang itu semakin mendekati Sofia dan Marve yang termenung melihat James pergi. Sofia menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan ucapan seseorang tadi. "Ruby, gue nggak butuh mereka semua. Udah jelas gue tuh cuma butuh James. James. Dan cuma James. Nggak bisa diubah sedikit pun!" bantah Sofia dengan menggebu-gebu dengan ambisinya. "Gue cuma nggak pengin lo terluka, Sofia. Lo pantas dapetin yang lainnya. Yang lebih beretika berperasaan," timpal Ruby. Sahabat Sofia yang satu ini memiliki rambut hitam lurus panjang dan selalu saja mengenakan cardigan berwarna pastel. Sikapnya yang begitu lembut dan murah hati sangat disukai oleh orang-orang. "Jenny! Lo udah selesai ngerjain PR?" Suara James yang lantang, yang jarang didengar orang, membuat Sofia dan kedua sahabatnya menoleh dan menyaksikan sosok laki-laki terpintar di Starry Highschool itu sedang bersama sosok perempuan terpintar. "Tentu, James. Lo udah belajar? Hari ini ada evaluasi fisika," jawab Jenny dengan suara begitu Anggun. Rambut cokelat dengan pita orange yang mengucir sedikit rambutnya pada bagian tengah. Gadis itu mengenakan make up tipis namun tetap terlihat natural, memancarkan cantik yang luar biasa. Ah, sudah jelas hal itu membuat Sofia semakin kesal. Dirinya dan Jenny sangatlah berbanding terbalik. Untuk urusan penampilan. Lihat saja Sofia. Rambutnya selalu saja digelung dengan pita merah sebagai pemanisnya. Untuk tutur kata dan tingkah yang anggun? Jelas itu jauh dari kepribadian Sofia. Namun jika masalah kecantikan dan juga kepintaran, Sofia dan Jenny memiliki kedudukan yang sama. James nampak mengulas senyumnya. Senyum yang sangat diimpikan oleh Sofia, tetapi mudah didapatkan Jenny. "Pasti. Apa lo udah sarapan?" tanya James kepada Jenny. "Belum." "Ya sudah, mari sarapan denganku." Ruby menepuk pundak Sofia dengan pelan. Dia paham jika Sofia sangat cemburu kali ini. "Lihat, James memilih pergi sam Jenny. Berhentilah berharap, Sofia, sebelum lo semakin tersakiti." "Iya benar! Lebih baik lo berhenti, lo nyakitin hati lo sendiri, Sofia," sahut Marve. Sofia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Iya, dia cemburu. Iya, dia merasa sakit hati. Namun, dia tidak merasa putus asa. "James udah bikin gue terlalu mencintainya sampai gue nggak bisa berhenti mencintai dia." "Lantas? Lo siap untuk sakit hati lagi terlalu dalam?" tanya Ruby. "Pasti, Ruby. Gue nggak takut untuk sakit hati. Lagi pula, gue udah terbiasa merasakan hal itu. Pokoknya, bakal bikin James benar-benar jatuh cinta saa gue. Pokoknya, gue nggak akan pernah nyerah!" ,,,,'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD