"Pikiranku terus terjerumus dalam masa laluku. Aku menyesal. Aku tidak mempunyai kesempatan itu. Tuhan ... bisakah aku mengalami kejadian yang aku inginkan? Bisakah aku diberi kesempatan yang selama ini aku dambakan? Hatiku terus mengadu pada langit yang bergemuruh. Aku harap penyesalan ku akan segera runtuh."
-Sofia
***
"Aku pulang, Mah ...."
Pintu kayu berwarna putih dengan ukiran bunga lily di tengahnya terbuka dengan pelan. Jelas dapat diprediksi jika yang membuka pintu itu tidak mendorongnya dengan tenaga yang kuat.
Aroma pastry cokelat di rumah kecil itu menyusup dengan sendirinya ke setiap inchi ruangan. Dapat dipastikan jika ibunya Sofia lah yang tengah membuat pastry itu di dapur.
Dengan lesu dan pikiran yang kacau balau, Sofia berjalan pelan menuju dapur.
Hanya tempat itu yang membuat Sofia tenang. Hanya tempat itu yang membuat Sofia nyaman. Hanya tempat itu yang Sofia dapat rasakan kehangatan dan kebahagiaan.
"Mah ..." sapa Sofia begitu lirihnya yang langsung memeluk ibunya dari belakang. Entah apa yang sedang dipikirkan anak tunggal ini. Entah itu masalahnya yang telah terjadi atau suatu hal yang akan terjadi.
Lily menarik lengkungan di bibirnya. Tangannya berhenti menghias pastry yang baru ia keluarkan dari oven. "Kenapa, Sofia? Apa ada masalah?" tanya Lily sedikit khawatir.
"Tidak. Tapi ... Aku merasakan kehilangan. Aku tidak tahu, Mah."
Lily menaikkan sebelah alisnya. "Kehilangan? Apa kamu menghilangkan sesuatu? Atau ada benda milikmu yang dicuri seseorang?"
"Aku tidak tahu, Mah. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Rasanya menyakitkan sekali." Pelukan Sofia semakin erat. Hatinya begitu gundah tapi ia benar-benar tidak tahu apa alasannya.
Lily memutar kan tubuhnya, sehingga ia berhadapan dengan Sofia. Manik cokelat terangnya itu beradu langsung dengan iris biru Sofia. "Coba cerita apa saja yang kamu alami hari ini, Nona Manis?" Wanita itu lantas menuntun putrinya untuk duduk di kursi ruang makan yang berada dekat pada dapur. Untung saja, semua kegiatan memasaknya telah selesai, jadi ia tak perlu khawatir akan hal itu.
"Aku hanya berangkat sekolah." Sofia menunduk tak bersemangat. Ini sangat bertolak belakang dengan kepribadian Sofia sehari-hati yang begitu riang. Sekarang, seperti cahaya maatari yang meredup, seperti kelabu awan yang mendadak datang.
Lily mengangguk pelan. Relung hatinya sungguh mengkhawatirkan anak kesayangannya itu. "Lalu? Di sekolah apa yang kamu alami?"
"Entahlah ... Aku tidak—" Sofia berhenti menggelengkan kepalanya begitu ia teringat suatu hal yang penting. "Ah, James!"
"Ada apa dengan James?" Tentu saja wanita peka seperti Lily langsung bertanya-tanya. Apalagi, peroslan Sofia dan James bukan hal yang menjadi rahasia Sofia seorang diri, melainkan ayah dan ibunya juga.
"Aku hanya ... hanya cemburu." Pipi Sofia mendadak berwarna kemerahan seperti kepiting rebus. Memang, ibunya sudah tahu mengenai James. Hanya saja, jika curhat seperti ini, Sofia tetap merasa malu.
"Coba ceritakan kepada Mama." Lily menarik tangan Sofia, membawa Sofia duduk di sofa depan televisi.
Sofia meneguk sedikit jus jeruk yang sempat ibunya ambilkan tadi. Memang, sebelum bercerita mengenai hati, alangkah baiknya diawali dengan hal manis agar lebih tenang. "Aku hanya ingin dekat dengan James. Tapi, James bilang jika aku menjijikkan," tutur Sofia dengan nada kesal.
Lily mengerutkan darinya, lagi dan lagi, ia dibuat bingung oleh Sofia. "Mengapa dia berkata seperti itu?"
"Karena aku telah mendekatinya. Aku menggenggam tangannya. Padahal aku hanya mengajak dia ke kelas!" Nampaknya emosi Sofia mulai naik. Syukurlah, dia tidak terlihat lemas lagi. Bahkan, Sofia mengatakan hal tadi dengan berdiri layaknya prajurit yang tiba-tiba bersemangat untuk perang.
"Terus apa yang membuat kamu cemburu?"
"Jenny. Dia gadis yang sempurna."
"Kamu juga seperti itu, Sofia." Lily mengusap surai indah Sofia dengan lembut. Dia hanya ingin memberi Sofia semangat.
"Tidak, Mama. Aku dibenci banyak orang. Mereka mengucilkanku karena aku tidak percaya dengan keajaiban dan kekuatan. Apalagi sihir. Apa aku harus pura-pura percaya, Mah? Agar mereka mau menjadi teman ku? Agar James tidak lagi menyebutku menjijikkan?" Mata Sofia terlihat mulai berkaca-kaca. Meskipun dia emosi tadi, tetap saja hatinya begitu rapuh. Disebut menjijikan oleh James adalah hal yang sangat menyakitkan baginya.
Lily menggeleng tanda ia tidak setuju. Dia tidak ingin anaknya berpikiran pendek seperti itu. "Tidak, Sofia. Cepat atau lambat kamu pasti akan percaya akan hal itu. Jangan berpura-pura."
"Kenapa, Mah?" Tak terasa, satu tetesan air mata Sofia telah luruh. Ia rasa, ia hampir putus asa untuk mendapatkan James.
Melihat putrinya menangis, membuat hati Lily begitu teriris. Dengan kenangan yang ada, dia langsung menarik Sofia dalam pelukannya. "Karena hal yang paling berharga adalah menjadi dirimu sendiri, Sofia. Kamu yang mempunyai dirimu. Kekuatan itu hadir dari dalam dirimu sendiri. Cintailah dirimu dan jadilah pemberani, Sofia."
"Makasih, Mah ….jika dipikir-pikir, aku sudah lelah untuk mengejar James. Mungkin aku akan menyerah saja. Toh aku juga lebih bahagia jika bersama Mama dan Papa. Asal ada kalian berdua, aku tidak akan bersedih lagi, Mah."
Tangis Sofia semakin keras, dia mengeratkan pelukannya pada Lily. Rasa sayang terhadap ibunya itu melebihi rasa sayang terhadap apapun. "Mah ... makasih banyak udah ngajarin Sofia jadi anak yang baik, makasih banyak udah sayang sama Sofia. Makasih udah jadi tempat ternyaman untuk bercerita," lanjut Sofia memeluk mamanya dengan begitu erat. Mendekap bidadari tak bersayapnya.
Namun, ada yang aneh. Benar-benar aneh. Dari tadi Sofia menangis dan mengatakan banyak hal, namun Lily tidak merespon. Ah, apa Lily hanyut dalam tangisannya?
"Mah ...." tangisan Sofia mulai mereda. "Mah ... jawab Sofia."
Perasaan Sofia mendadak tidak enak. Dia bahkan tidak dapat mendengar deru napas Lily lagi. Dengan tenaga yang ada, dia mencoba melepaskan pelukannya pada Lily.
"Mah!!!!" teriak Sofia begitu kencang dan kembali memeluk ibunya. "Mama, jangan tinggalin Sofia. Sofia mohon, Mah!" Tangis Sofia kembali pecah. Bahkan lebih kencang daripada yang tadi.
"Mah, please. Bangun!!"
Tuhan ... padahal baru saja Sofia merasakan kehangatan, baru saja Sofia mengatakan akan tetap bahagia jika ia bersama kedua orang tuanya. Dan sekarang ... ibunya justru telah tiada. "Mama!!"
Pintu rumah terbuka dengan kuat, sehingga menghasilkan suara yang keras. Rodrigo masuk dengan penuh khawatir. Rupanya, ikatan batin dia dan Lily begitu kuat. "Lily!"
"Papa!" sahut Sofia yang masih menangis.
Rodrigo sepertinya sudah tahu hal ini akan terjadi. Dia langsung memeluk istri dan anaknya dengan erat. Hatinya begitu hancur saat wanita yang selama ini menemaninya meninggal dunia.
***
Malam itu, tepat peristiwa super blood moon. Sofia memandang ke arah langit dengan seksama. Pemakaman ibunya selesai sore tadi. Namun, banyak hal yang membuat Sofia bertanya-tanya.
Rasanya seakan kehilangan hal yang paling berharga dalam hidup, rasanya seakan kita tidak bisa mengambil napas dengan bebas, seperti itu yang Sofia rasakan.
Lily telah mendidik Sofia dengan baik selama 17 tahun. Lily telah menjadi ibunya, sahabatnya, menjadi apapun untuk Sofia. Lily adalah sumber kekuatan dan kehangatan bagi keluarga Rodrigo itu. Tanpa Lily, hidup Sofia seakan menggelap. Entah bagaimana kedepannya nanti.
Jadi, ini rasa kehilangan yang Sofia bimbangkan sejak siang tadi? Ternyata kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Bahkan Sofia belum mengucapkan maaf dan terima kasih, bahkan Sofia belum membalas jasa kepada ibunya.
Sofia mendekap erat buku kesayangan Lily. Gadis itu teriingat terus kalimat terakhir mamanya. "Cintailah dirimu dan jadilah pemberani."