Episode : Rahasia Hati Sang Penguasa Kerajaan di Dasar Danau Ariya (3)
Sang Ratu menyaksikan, Para Pengawalnya mulai kerepotan menghadapi Fabian yang membabi buta menyerakkan mereka.
Rasa geram bercampur heran menyapa Sang Ratu dalam waktu yang bersamaan. Ditatapnya lagi monitor tersebut, diamatinya baik-baik.
Pakai kekuatan dari mana sebetulnya dia itu, kenapa bisa sehebat dan semantap itu? Pasukanku dibuat kocar-kacir sama dia! Menyebalkan sekali! Padahal mereka itu Pasukan yang terlatih! Pikir Sang Ratu dalam resah dan gundah.
Dalam keadaan macam ini, yang terpikir oleh Sang Ratu adalah meminta tolong kepada Sang Guru, tiada yang lain. Itu sudah menjadi harapan terakhir baginya.
“Guru...,” panggil Sang Ratu lagi di dalam rasa putus asa yang begitu kuat menghimpitnya. Suaranya terdengar sangat pelan memelas dan meminta dikasihani.
Sang Ratu membayangkan dirinya akan mendapatkan solusi di detik-detik akhir yang mendebarkan ini. Solusi jitu yang menyenangkan hatinya. Dan ia sungguh-sungguh berpikir keras untuk itu.
Tampaknya, apa yang diperbuatnya itu tak luput dari pengamatan Sang Guru.
“Sudahlah, Fatin. Terima nasib saja. Kamu di sini saja, buat seterusnya,” mendadak ia mendengar suara ‘Sang Guru’.
“Guru..., aku mohon...,” pinta Sang Ratu kian memelas.
“Sudahlah, Fatin. Belajarlah untuk menerima nasibmu, garis hidupmu. Jangan selalu berambisi tinggi. Itu tidak baik bagimu. Dan ketahuilah, sikapmu yang demikian itu yang membuat Laki-laki yang kamu cintai menjadi tidak nyaman dan menjauhkan kamu darinya. Fatin, yang diperlukan oleh Handar adalah seorang Pendamping yang penuh belas kasihan terhadap sesamanya, Seseorang yang menjaga martabat keluarga, dan yang patuh kepda Suaminya,” kata-kata Sang Guru kemudian sungguh menyakiti perasaan Sang Ratu.
Ia sudah hampir protes karenanya. Hatinya bagai ditusuk belati tajam. Nyeri. Apa yang didengarnya dari Sang Guru membuatnya kian menyesali kisah hidupnya yang selalu ‘tidak dicintai’ dan tidak pernah dibela oleh pihak manapun.
Namun suara Sang Guru kembali terdengar di telinganya.
“Kamu juga tidak berkekurangan apa pun di sini. Kamu juga datang kemari dengan inisiatifmu sendiri. Berbeda dengan Shania. Kamu yang menarik-narik dia terus. Sudah, Fatin. Ketahuilah, pangkal dari semua keresahan dan rasa tak bahagiamu itu tak lain tak bukan adalah dirimu dan keinginanmu sendiri. Tidak tahukah kamu, selama kamu berada di sini, sebenarnya aku juga berusaha mendidikmu untuk menjadi pribadi yang lebih sabar dan mau menerima keadaan?” Suara Sang Guru terdengar melembut. Sepertinya Sang Guru benar-benar paham kegundahan hati Sang Ratu dan ingin sedikit menghibur dan menguatkan hatinya.
Sayangnya, Sang Ratu menanggapinya dengan berbeda. Ia justru sangat kecewa.
Bukan ini yang ia kehendaki kala ia meloloskan diri dari penjagaan ketat di rumah Pak Handara bertahun lalu. Bukan ini yang ia inginkan, sementara malam itu ia meminggirkan semua rasa takutnya, trus berjalan kaki dalam kegelapan, menuju Danau Ariya, berbekalkan semua pengetahuan yang ia dapatkan dari kanan kiri.
Saat itu ia tahu, bahwa ada Penguasa yang disegani di Danau Ariya. Dan ia tahu dari cerita selewatan yang dia rangkai sendiri, juga sesekali menyelinap ke kamar rahasia milik Sang Suami, bagaimana cara menuju ‘Kerajaan’ milik Sang Penguasa Danau Ariya. Ia yakin ia dapat meminta apa saja kepada Sang Penguasa. Bahkan ia sempat mendengar sendiri betapa Sang Penguasa Danau Ariya menawarkan sesuatu kepada Sang Suami.
Ya, malam itu dia nekad menceburkan dirinya ke dalam danau, terbawa arus air di bawah permukaan air, dan akhirnya mendapati dirinya tertidur saking kelelahan di depan gerbang istana yang megah.
Semua kejadian yang berlangsung cepat itu, membuatnya senang. Ia tak menyangka kalau dirinya justru dijadikan Pimpinan Kerajaan. Ia dilayani, dihormati. Bahkan ‘Sang Guru’ yang tidak terlihat olehnya, juga memulihkan kondisi kesehatan alat reproduksinya. Hanay saja, saat itu ada hal yang mengusiknya, yakni dia takkan dapat kembali ke darat, sebelum ada yang menggantikan posisinya. Dan Seseorang yang menggantikan posisinya, tentu saja idealnya adalah Sang Menantu dari keluarga Pak Handara, sebagaimana dirinya yang juga Menantu dari Orang tua Pak Handara.
Toh, saat itu dia tidak pikir panjang. Ia menerima dan memilih menikmatinya saja. Ia menunggu saat kemenangannya tiba. Dan ia baru tahu ternyata ada ‘perjanjian’ lain yang tidak diketahuinya. Perjanjian yang baru dapat diungkapnya setelah ia lama berada di kerajaan tersebut. Perjanjian sepihak, yang rupanya tidak pernah disetujui oleh pihak Keluarga Pak Handara. Toh Sang Penguasa Danau Ariya memaksakan kehendak.
Oleh karenanya, mereka berusaha menetapkan segala cara untuk mencegah agar jangan sampai Istri dari Fabian keluar dari rumah sebelum hari yang mereka perbolehkan jika tidak ingin sesuatu hal yang buruk menimpa mereka.
Sang Ratu tertawa sumbang.
“Mana mungkin kubiarkan semua usahaku jadi sia-sia? Si Shania itu harus menggantikan posisiku di sini. Biar dia sama si Fabian sekalian. Terserahlah mereka mau apa di sini. Biar Mbak Endah merasakan bagaimana sakitnya hatiku dulu, kehilangan perhatian Mas Handara, kehilangan Seseorang yang begitu aku cintai. Lagi pula dia itu kan lebih tua dari aku, semestinay tahu diri dan mengalah sama aku,” gumam Sang Ratu.
“Fatin, lupakan dendammu. Kamu tidak akan bahagia kalau begitu terus. Relakan saja semuanya,” terdengar lagi Suara dari Sang Guru.
“Sejauh ini, Keluarga Handara sangat menjaga pantangan dan aturan yang berlaku. Mereka adalah Panutan yang baik bagi Warga desa. Sudahlah, kamu di sini saja. Berusahalah untuk menerima garis hidupmu itu,” kata Sang Guru lagi.
Mata Sang Ratu langsung berkaca-kaca. Hatinya terasa amat pedih.
Apa gunanya aku mendapatkan kemungkinan bisa hamil lagi, kalau aku tetap di sini? Apa gunanya? Aku melakukan semua ini buatmu, Mas! Jerit hati Sang Ratu.
“Guru..., tolonglah...,” ucap Sang Ratu memelas.
Sia-sia. Kali ini Sang Guru benar-benar sudah pergi.
Sang Ratu tahu apa artinya. Dulu juga Sang Suami tidak dapat membantah kan, kala ‘Sang Guru’ mengatakan bahwa Sang Suami hanya akan mendapatkan keturunan sepasang Anak Lelaki dan Sepasang Anak Perempuan?
Hati Sang Ratu kian getir, mengenang masa lalunya.
Akhirnya ia bangkit, dengan sedikit asa yang tersisa di dadanya.
“Oke. Anggap saja aku sudah nggak bisa mencapai tujuanku. Aku kehabisan waktu. Tapi aku akan membuat si Fabian itu menderita, juga Orang tuanya. Aku akan sedikit bermain-main dengan dia. Tampaknya bakal mengasyikkan, menikmati Orang lain yang tidak dapat berkutik, berada sepenuhnya dalam kendaliku. Suka atau tidak suka, dia harus menuruti kemauanku. Hm..., Boleh juga. Lumayan untuk menghibur hatiku yang sakit. Hati yang disakiti oleh Ibunya dia,” Sang Ratu setengah bergumam.
Maka Sang Ratu menyeringai lalu melangkah dan membuka pintu.
Pengawal yang berjaga di depan kamarnya segera membungkukkan badan kepadanya.
“Baginda Ratu sudah siap untuk menemui Laki-laki itu?” tanya Sang Pengawal.
Sang Ratu mengiakan.
“Tetap persulit dia. Batasi terus pergerakannya. Ulur sedikit waktu lagi. Sebelum dia akhirnya dapat merobek tirai pembatas itu,” kata Sang Ratu sambil melangkah menuju ke singgasananya. Sepertinya dia sudah tahu, tirai pembatas antara tempat Fabian berada dengan singgasananya, pada akhirnya akan terkoyak jua. Hanya masalah waktu.
“Baik, Ratu. Laksanakan,” sahut Pengawalnya.
Sementara di luar, Fabian merasakan energinya kian terkuaras saja menghadapi Para Pasukan yang dirasanya tak kunjung berkurang dari waktu ke waktu.
Fabian akhirnya tahu, dia tidak mungkin menang menghadapi Pasukan di depannya. Dia teringat pesan Sang Nenek untuk menghemat waktu. Dan ia juga mulai merasakan kehadiran Sang Ratu di singgasananya. Maka, ia memutuskan untuk pasang strategi.
“Salam hormat, Ratu. Mohon ijinkan saya untuk menemui Ratu,” Fabian segera membungkukkan badannya dengan khidmat, bahasa tubuh memberikan penghormatan untuk melunakkkan hati Sang Penguasa kerajaan.
Lalu Fabian menanti. Sementara mendadak saja, Pasukan di depannya lenyap secara ajaib. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Fabian. Ia berpikir, pasti barusan Sang Nenek kembali membantunya secara diam-diam. Ia melangkah maju dan merobek tirai pembatas itu. Dipikirnya, tinggal satu langkah lagi, ia akan dapat menjemput Istri yang dicintainya.
Sabar, Dik Shania. Sabarkan hatimu. Aku sudah di sini. Semakin dekat denganmu. Aku juga bisa merasakan keberadaanmu. Tenangkan hatimu, Dik Shania, bisik hati Fabian.
Fabian melihat, ada Seseorang di singgasana. Anehnya, Orang tersebut tidak duduk, melainkan berdiri tegak.
“Salam hormat, Ratu. Saya Fabian, Ratu,” ucap Fabian.
Belum terdengar sahutan dari Sosok yang berdiri membelakanginya itu.
Fabian terus saja menatap ke arah singgasana tersebut. Diulanginya lagi salam hormatnya. Setelah empat kali dia mengulang melakukan hal sama, tampaknya hati sang Ratu mulai tergugah. Fabian mengamati, ada pergerakan yang dibuat oleh Sang Ratu di depan sana.
Wanita berpakaian mewah dengan hiasan tiara berat di kepalanya itu mengangkat tangan kanannya ke atas.
Mulanya Fabian tidak tahu sama sekali apa gerangan maksud acungan tangan dari Sang Ratu.
Selagi ia memikirkannya, Ia justru hanya dapat bergidik ngeri, sebab pada saat itu pula Fabian menyadari, di atas tiara sang Ratu, ada sepasang ular kobra yang posisi kepalanya menghadap ke arah depan. Itu artinya, saat ini kepala ular kobra tersebut tengah membelakangi dirinya pula. Dia tak dapat membayangkan apa jadinya jika mendadak Sang Ratu menoleh kepadanya nanti. Tentu saja kepala sepasang ular di atas tiara Sang Ratu pun bakal menatap ke arahnya, bukan? Dan yang namanya ular kobra, bukankah biasanya tepat membidik sasaran korbannya?
Rasa gamang menyapa Fabian. Menyergapnya tanpa ampun.
Diam-diam Fabian berharap, biarlah posisinya tetap seperti itu saja. Jangan ada yang berubah. Pun begitu, ia bersikap waspada, bersiap untuk segala kemungkinan yang bahkan tak sanggup terjangkau oleh akal sehatnya sendiri saat ini.
Tidak apa, posisi Sang Ratu membelakangiku begini. Malah kupikir, lebih baik seperti ini. Dari pada terjadi sesuatu hal buruk atas diriku yang menghalangi aku untuk menyelamatkan Wanita yang aku cintai, pikir Fabian, mencoba untuk menyabarkan dirinya sendiri di dalam diamnya.
$ $ Lucy Liestiyo $ $