Episode : Misteri Dari Sebuah Mimpi
“Mumpung Ibu ingat, sekarang saja Ibu kembali ke sana,” kata Bu Asnah penuh tekad. Tampak tangannya memegang erat-erat telepon genggamnya. Dia tersentak kaget saat menyadari Sang Suami menarik tangannya.
“Eh! Ada apa Pak? Kenapa mencegah Ibu?” protes Bu Asnah.
Pak Zacky berdecak dan berkata, “Nggak usah lah Bu. Jangan malu-maluin. Sudah, Ibu istirahat sebentar lalu bersih-bersih badan sana. Biar kita nggak terlambat turun untuk makan malam.”
Perkataan yang datar dan wajar. Namun anehnya, di telinga Bu Asnah, itu mengingatkannya akan situasi serupa yang dihadapinya ketika dirinya berada di kamar Pengantin tadi. Sontak, Ia menggaruk-garuk kepalanya.
Aku tahu. Aku ingat sekali sekarang. Selama berada di sana, aku seperti sedang diawasi entah oleh siapa. Sepasang mata yang tak terlihat. Dan aku seperti dibatasi, mengucapkan dan melakukan apa-apa. Tapi siapa yang melakukannya? Bu Endah saja tampak biasa dan santai menghadapiku? Eh..., jangan-jangan...? Ah, nggak, nggak mungkin. Rasanya aku terlalu lelah jadi pikiranku ngaco begini, pikir Bu Asnah dalam bingung sembari mengingat-ingat setiap detik yang dilewatkannya di kamar yang diperuntukkan bagi Fabian dan Shania. Dan tanpa diundang, perasaan enggan menyerangnya lagi. Otaknya serasa lumpuh sebagian. Memori otaknya seperti tercabut, khusus di bagian itu saja. Dan seperti ada kekuatan yang sengaja membekap ‘kerja otaknya’.
*
Waktu terus bergulir.
Hari ini merupakan hari keempat bagi Shania dan segenap Keluarganya berada di tempat tinggal keluarga Fabian yang fantastis itu. Rumah yang bagaikan bangunan istana, dengan segenap warga desa Watu Dasa sebagai rakyatnya.
Seperti telah diduga oleh Masyarakat sekitar, pesta pernikahan Fabian dengan Shania digelar dalam suasana yang luar biasa meriah. Bahkan jika dicermati, sudah mirip hiburan rakyat saja. Makanan serta minuman yang nikmat begitu berlimpah, terus memenuhi beberapa meja panjang. Seperti tidak ada istilah kehabisan, sebab setiap kali ada wadah makanan berkurang hingga setengahnya, maka para Pekerja sigap memindahkannya ke tempat yang lebih kecil dan mengeluarkan yang baru dan penuh. Begitu seterusnya.
Tamu yang datang silih berganti merasa senang, karena dapat menikmati berbagai makanan lezat yang tidak setiap hari datang ke meja makan mereka. Dan lantaran sistem kekerabatan di desa tersebut, para Ibu juga tak ragu untuk meminta kepada para Pekerja untuk membungkuskan sebagian hidangan favorit mereka agar dapat mereka bawa pulang meski Keluarga Pak Handara telah membekali juga masing-masing dua kotak berisi nasi campur serta aneka kue untuk dibawa pulang oleh setiap tamu. Namun Bu Endah yang mengetahui ulah para Ibu di desanya, hanya tersenyum kecil dan menyuruh agar para Pekerja melayani semua Tamu yang datang dengan baik.
Bukan itu saja. Panggung pertunjukkan juga menyuguhkan tontonan yang sambung-menyambung untuk menyenangkan hati para Tamu yang datang. Ada organ tunggal di malam kedua kedatangan Shania dan Fabian yang bertepatan dengan pesta perayaan pernikahan, ada beberapa penyanyi terkenal yang membawakan berbagai genre lagu. Namun tentu saja, ketika sang penyanyi membawakan lagu dangdur, para Tamu ikut bergoyang dan bahkan ada yang latah naik ke atas panggung. Kemudian di malam ketiga, ada pertunjukkan wayang kulit yang konon atas permintaan warga. Nanti malam, rencananya akan ada layar tancap untuk menghibur warga. Pendeknya, keluarga Handara melalui pesta pernikahan Putra tunggal mereka ini, berusaha berbagai suka cita dan memanjakan para Warga sekitar.
Shania mulai lega, sebab hari ini menurut perkiraannya, dia tak harus didandani secara berlebihan seperti malam-malam sebelumnya. Dipikir Shania, tentunya para Tamu yang datang nanti malam akan berkurang jumlahnya dibandingkan dua malam sebelumnya. Dia juga sangat berharap, busana yang dikenakannya tidak serumit dan ‘seberat’ yang kemarin-kemarin, sehingga agak membatasi geraknya.
Tak terasa, tiga malam sudah Shania tidur di kamar Pengantin meski tidurnya tak selalu nyenyak lantaran masih harus memikirkan rangkaian acara yang belum juga tuntas. Dan sudah tiga kali pula, dia mendapatkan mimpi yang aneh dalam tidurnya. Di dalam mimpinya itu, Shania melihat seorang Wanita cantik, tengah duduk anggun di sebuah kursi besar yang selintas mirip sebuah singgasana. Rambut panjang Wanita itu disanggul rapi. Pakaiannya amat indah, berkilau bak pakaian para Ratu di dalam dongeng bergambar yang sempat ia baca di masa bocahnya.
Shania mengingat-ingat isi mimpinya yang serupa, dan berusaha memahami artinya. Ia tahu, ada kalanya bahwa mimpi hanyalah bunga tidur.
“Tapi kalau mimpi yang terus berulang, dan tepat sama, masa iya sih, bunga tidur semata? Rasanya nggak mungkin. Itu..., seperti sebuah pesan tertentu yang sengaja ditujukan kepadaku,” gumam Shania, yang seketika terbayang kembali pada isi mimpinya.
...
Shania melihat Wanita tersebut duduk dan meletakkan kedua tangannya ke samping kiri kanan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan Wanita itu lurus ke depan. Lalu Wanita itu menunjuk ke arahnya dengan tangan kanan yang mendadak diangkatnya tinggi-tinggi. Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi apa pun di wajah cantiknya. Yang terpateri dalam ingatakan Shania hanyalah sorot mata yang amat berwibawa dari Wanita tersebut. Sorot mata yang membuat dirinya seketika menundukkan kepala, tak sanggup membalas tatapannya.
...
Selalu saja begitu. Dan pagi hari ketika dirinya terjaga serta ingin menanyakan pada sang Suami yang tidur sambil memeluk tubuhnya, sesuatu yang tak wajar terjadi. Shania langsung lupa hendak bertanya apa. Terlebih ketika Fabian yang terjaga dari tidur, mengetatkan pelukannya dan menciumi pundaknya seraya berbisik dengan suara mengoda, "Selamat pagi, Nyonya Fabian Aryo Sutedja."
Betapa itu distraksi yang sempurna bagi Shania. Terlebih setelahnya, Fabian mencumbunya dengan lembut, membuat dirinya bagai melayang hingga langit ke tujuh. Dan tentu saja itu juga menjadikan dirinya terlupa untuk bertanya perihal mimpinya.
Perasaan yang berbeda menyapa dirinya tatkala dirinya sendirian seperti sekarang ini. Ya, adegan-adegan yang ada dalam mimpi singkatnya yang senantiasa sama persis itu menggodanya. Dia merasa tengah dipermainkan, dan ini membuat dirinya sebal.
“Ah, terserah deh! Nanti pasti aku tanyakan ke Kak Fabian,” tekad Shania akhirnya.
Hari ini Shania mulai merasa bosan berada di rumah besar itu. Dia juga enggan untuk menelusuri lagi koridor demi koridor di antara kamar yang satu dengan yang lainnya.
Saat melintasi dapur, Shania melihat sekelompok Pekerja tengah sibuk mempersiapkan aneka hidangan. Tanpa harus dikomando, mereka mengangguk hormat padanya.
“Ya Non Shania. Non Shania perlu apa?” tanya salah satu Pekerja yang begitu gesit menghampiri dirinya.
Shania menggeleng singkat dan bertanya, apakah Pekerja tersebut melihat para Kerabatnya.
“Oh, itu. Kerabatnya Non Shania sedang tengah diajak berjalan-jalan ke desa sebelah. Tetapi pasti akan segera kembali ke rumah kok,” jawab Pekerja itu.
Hati Shania agak sedih karena merasa terkurung. Dia teringat pesan Fabian yang tetap sama setiap pagi dan malamnya, agar dirinya ‘tidak pergi kemana pun’ sebelum rangkaian acara pernikahan mereka purna’. Pesan yang membuat Shania sampai bosan, karena merasa Fabian berlebihan dan menganggap dirinya pelupa.
Lalu, Shania bertanya pula kepada Pekerja di depannya, apakah Ayah serta Ibunya juga ikut serta menengok desa sebelah.
“Oh, tidak, Non Shania. Ibu Asnah dengan Bapak Zacky sedang pergi bersama Pak Handara dan Ibu Endah,” jelas Sang Pekerja.
Shania terperangah.
“Oh, apakah ada urusan sehubungan acara pernikahan?” tanya Shania lirih seolah kepada dirinya dirinya.
“Tidak Non. Tidak ada hubungannya. Mereka sedang pergi melihat-lihat salah satu penggilingan padi dan peternakan yang dimiliki oleh Bapak. Setahu saya, sekalian meninjau pabrik tahu yang baru diperbesar karena letaknya tidak telalu berjauhan. Eng..., sebetulnya Non..,” Pekerja itu menggantung kalimatnya. Keraguan membayang di parasnya.
“Sebetulnya apa Bilang saja, Mbak,” suruh Shania.
“Eng..., tapi Non Shania jangan marah atau tersinggung ya,” pinta Si Pekerja pula.
“Enggak, enggak akan. Bilang saja ada apa,” kata Shania sambil menyentuh lembut lengan Pekerja tersebut. Sentuhan yang membuat Si Pekerja merasa nyaman, sebagaimana kala dirinya berkomunikasi dengan Bu Endah. Pikirnya, Sang Menantu perempuan dari keluarga Handara ini memang benar-benar dapat meneladani sikap baik Bu Endah kelak. Ini sedikit meminggirkan rasa tak nyaman yang dirasakannya tatkala berinteraksi dengan Bu Asnah.
^ * Lucy Liestiyo * ^