CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (19)

1887 Words
Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (4) Akan tetapi, Farah tidak tinggal diam.  Gadis kecil itu sepertinya cukup cerdas. Ia tahu ini merupakan kesempatan yang tepat baginya untuk menentukan sikap, dalam usahanya untuk membela kepentingan dari Ibu kandungnya. Menurut Farah, ini juga dapat membuat Sang Ibu semakin sayang, peduli, percaya pada dirinya seorang dan selalu mengandalkan dirinya kedepannya. Dan menurut perhitungan Farah, ini pula yang akan membedakan nilainya dengan nilai Sang Adik, di hadapan Sang Ibu. Ini akan membuat Sang Ibu terbuka lebar matanya, bahwa dirinya jauh lebih baik ketimbang Fina, di dalam segala hal. Biar Ibu tahu, yang sayang sama Ibu itu hanya aku. Kalau Fina...! Ah..., dia itu suka cari muka. Dia itu malah suka cari perhatian kak Fabian. Sepertinya dia sengaja untuk menyaingi aku. Kecil-kecil sudah suka bikin aku jengkel. Sudah kelihatan nih, besarnya nanti nggak akan bisa dikasih tahu baik-baik sama aku, kata Farah dalam hati. Ia langsung meletakkan kedua tangannya di pinggang, bahasa tubuh menentang Sang Ayah secara terbuka. Pak Handara sedikit terkejut melihat Gadis kecilnya berkacak pinggan. Tetapi ia lebih terkejut lagi kala mendengar ‘peringatan keras’ yang keluar dari celah bibir Farah setelahnya. “Bapak nggak boleh memarahi Ibunya Farah! Kasihan Ibunya Farah! Pokoknya Siapa saja yang jahat sama Ibunya Farah, mau Farah gigit, Farah pukul yang keras. Farah cubit, Farah tendang sekuat Farah. Biarin! Biar tahu rasa!” kata Farah sengit. Pak Handara geleng-geleng kepala mendengarnya. Kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun sebenarnya. Namun dia tetap menahannya agar tidak meledak di depan Anaknya. Terlebih kala kerlingan matanya tertaut dengan wajah Bu Endah yang mengisyaratkan agar ia menahan diri. Hatinya serasa disiram oleh seember air es rasanya, menemukan ketulusan di sorot mata Bu Endah. Endah itu benar-benar Istri yang luar biasa. Hatinya benar-benar seluas samudra. Aku yang sudah banyak berbuat salah sama dia saja, masih diberinya kesempatan memperbaiki diri. Ah! Sebenarnya aku menyesal, membawa Penyakit, ke rumah ini. Penyakit yang menggegoroti ketenangan di rumah ini. Aku menyesal akan godaan yang nggak bisa aku hindari karena kelemahanku. Dulu aku pikir, si Fatin itu selemah, sepolos dan sepenurut yang dikesankannya. Ternyata semakin lama semakin terlihat betapa dia bertingkah dan menyulitkan. Kalau saja tidak mendengarkan perkataan Endah, sudah sejak lama aku menceraikan dia dan kuberikan saja semua yang dia minta. Mau minta bagian uang dan kekayaan sebanyak yang dia mau, terserah, biar dia bawa semua. Selama bukan terus-menerus mengacak-ngacak kedamaian di rumah ini, pikir Pak Handara. Tangan Pak Handara terulur, membelai kepala Farah dan berkata, “Bapak nggak marah kok, sama Farah. Dan sekali lagi Bapak tegaskan, Bapak sayang sama kalian semua. Sekarang, Bapak harus buru-buru supaya Kakakmu Fabian nggak kesiangan sampai di asramanya, dan supaya Bapak tidak kemalaman pulang kemari. Lain kali, kalau Kakakmu sudah boleh ditengok sama Keluarganya, Bapak ajak Farah juga untuk menengok. Kakakmu dan Teman-teman yang satu asrama sama dia baru boleh ditengok sama keluarganya setelah satu bulan tinggal di sana.” Mata Farah mengerjap mendengar keterangan Sang Ayah. Ia melihat ada harapan yang pasti. “Benar, Pak?” tanya Farah untuk memastikan. Sang Ayah menganggukinya. “Janji ya Pak?” tuntut Gadis kecil itu. Sang Ayah kembali menangguki Farah. Ia juga menurut kala Farah menyodorkan jari kelingkingnya, dan tak keberatan kala Gadis kecil itu menautkan jari kelingking yang mungil itu ke jari kelingkingnya. Diam-diam Bu Endah yang melintas hal itu tersenyum kecil. Ia merasa Farah ini sebenarnya Gadis kecil yang lucu. Namun ia tetap tak berkomentar apa-apa. “Iya, Bapak janji,” kata Sang Ayah pula. Begitu lunak, begitu ringan tanpa beban. “Iya deh, kalau begitu.” Nada suara Farah mulai menurun. Melihat sikap Sang Anak mulai melunak, Pak Handara berangsur tenang. Sementara Sang Anak, terlihat mengukir senyum kepuasan di bibirnya, seolah baru saja berhasil mencapai sebuah kesepakatan penting dengan Sang Ayah. Lantas Pak Handara bergegas menghampiri Istri keduanya, menggamit lengannya dan membawanya sedikit menjauh. Pandangan mata Farah kecil mengikutinya dengan curiga. “Fatin, jangan pernah kamu racuni pikiran Farah dengan ambisi dan dendammu. Kalau kamu tidak bisa menjadi Istri yang baik, sudah, tidak apa-apa. Belajar saja memjadi Ibu yang baik. Jangan rusak Anakmu sendiri. Jangan memanfaatkan dia untuk kepentingan pribadimu. Farah itu juga Anakku, bukan cuma Anakmu,” kata Pak Handara. Yang diajak bicara menatap wajah Sang Suami lalu menyahut, “Sebelah mana dari  ucapan Farah yang keliru, Mas? Kamu memang memperlakukan aku dengan Mbak Endah secara berbeda. Mentang-mentang dia bisa memberikanmu Anak Lelaki. Benar begitu, kan? Masih mau menbantah kenyataan itu?” Pak Handara mendengkus kesal. “Berhenti membahas soal itu, Fatin! Dan ingat, pemikiranmu itu sangat keliru. Aku sudah berusaha seadil mungkin terhadap kalian berdua. Kamu yang selalu terang-terangan melawanku, menjauhiku, tidak melakukan tugasmu sebagai Istri dengan benar. Tapi sebaliknya, kamu selalu menuntut untuk dinomorsatukan.” Pak Handara berusaha memelankan suaranya, terutama pada ujung kalimatnya. Tapi tidak demikian dengan Sang Istri kedua. “Aku keliru? Di mana letak kekeliruannya? Sebutkan! Kamu hanya menghindari kenyatan, Mas! Aku ini tidak bodoh. Aku tahu tentang semua perjanjianmu. Perjanjian t***l yang kamu lakukan dengan Penguasa Kerajaan Gaib. Ya kan? Aku yang dijadikan sebagai korban di sini. Dan aku nggak rela. Jangan pikir aku mau dikorbankan begitu saja. Kalau aku menderita, maka Mbak Endah juga harus menderita.” Wajah Pak Handara sudah merah padam lantaran menahan marah. “Perjanjian apa? Sok tahu, kamu Fatin! Aku peringatkan kepadamu, jangan bertindak macam-macam kamu, Fatin! Dan jangan merusak mental Anak-anak dengan menanamkan kebencian dan kedengkianmu di hati mereka. Jangan pergunakan mereka untuk memenuhi ambisi dan keinginanmu.” Terlihat betapa Pak Handara menekan suaranya, sekaligus menekan emosinya yang mendesak hendak meledak. Namun Sang Istri Kedua tetap tak peduli. Seperti sengaja tak menunjukkan baktinya kepada Sang Suami, Ia malahan meninggalkan Pak Handara begitu saja dan membuang muka, lantas menghampiri Farah. “Ikut Ibu masuk ke kamar, Farah!” Katanya sembari mencekal pergelangan tangan Anak Pertamanya itu. Pak Handara hanya mampu menghela napas panjang. Dia tidak mungkin meladeni pertengkaran yang sengaja disulut oleh Sang Istri kedua pada saat dirinya tengah terburu-buru seperti ini. Selalu begini, aku benar-benar harus tegas kepadanya ke depannya nanti. Aku sudah cukup memboroskan kesabaranku selama ini. Dan nyatanya, dia tidak memperbaiki sikapnya. Malah semakin terang-terangan melawanku. Itu tadi kan sungguh tidak baik dilihat oleh Farah. Itu tidak baik untuk perkembangan jiwa Farah. Belum lagi kalau sempat ada Pegawai yang melihat perselisihanku dengan Fatin tadi. Bisa saja mereka membicarakannya di belakangku. Aku nggak mau ada keributan di rumah ini, kata Pak Handara dalam hati. Menyadari air muka Sang Suami berubah keruh, Bu Endah berjalan mendekatinya. “Pak, sudah lah. Bukannya sudah saatnya Bapak berangkat?” bujuk Bu Endah, menenangkan Suaminya. Tangan lembutnya mengelus pundak Sang Suami. Mendadak Pak Handara merasa pikirannya tak tenang. Ia menatap secara intens paras Bu Endah. Istriku ini sungguh luar biasa. Aku nggak habis pikir kenapa aku sampai tergelincir. Aku nggak habis pikir kenapa justru dia yang harus tersakiti terus-menerus perasaannya? Aku tahu pasti, di balik ketenangannya, pasti banyak luka yang dipendamnya. Padahal kalau tidak mendengarkan sarannya, sudah sejak lama aku menceraikan si Fatin itu! Si Fatin yang dari hari ke hari semakin menampakkan tabiat aslinya. Huh! Dia sama sekali bukan Wanita lemah, Wanita tertindas, apalagi Wanita yang tulus. Hatinya penuh dengan dendam kesumat dan siasat buruk, pikir Pak Handara. Saat ini juga, Pak Handara tersapa rasa khawatir yang hebat untuk meninggalkan Sang Istri. Firasatnya, akan ada sesuatu yang buruk terjadi sementara dia pergi. Ia segera mengungkapkan perihal kekhawatirannya ini kepada Bu Endah. “Apa nggak sebaiknya kamu ikut saja bersamaku, Endah? Hatiku kok nggak tenang kalau berjauhan sama kamu. Aku takut Fatin bakalan macam-macam selama aku di luar rumah. Aku nggak mau menyesal kemudian.” Bu Endah menyenyuminya. “Bapak ini selalu saja begitu. Tidak ada apa-apa, kok. Bapak harus yakin akan hal itu. Aku bisa menjaga diri. Lagi pula Fatin baik-baik saja, kok. Mungkin dia hanya emosi. Banyak Anak-anak pula, di sini. Sudah, sebaiknya Bapak berangkat sekarang. Kasihan Fabian kelamaan menunggu di mobil. Pasti dia bosan. Sudah begitu, aku juga nggak yakin Pak, kalau kelelahan di jalan nggak berpengaruh terhadap kondisi kandunganku,” bujuk Bu Endah, berusaha memberikan pengertian sembari menyingkirkan sendiri rasa resah yang mendadak menyelinap tanpa diundang ke dalam benaknya. Pak Handara mengangguki Bu Endah, walau hatinya terasa berat. “Kabar-kabari aku terus ya, Ndah! Biar hati aku agak  tenang,” pinta Pak Handara sungguh-sungguh. Bu Endah menganggukinya sembari berkata, “Iya, Pak. Pasti. Sudah, jangan mikir yang enggak-enggak.” Pak Handara mengangguk kecil, dan menatap mesra paras Sang Istri. “Kamu itu selalu saja menenangkan pikiran dan perasaanku,” kata Pak Handara sambil menjangkau kepala Sang Istri. Dengan lembut ia mencium puncak kepala dari Wanita yang hampir memberikannya dua Orang Anak itu. Apa yang dilakukan oleh Pak Handara tersebut sungguh membuat hati Sang Istri Kedua yang mengamati dari jauh, merasa kian tersakiti. Hatinya terbakar api cemburu. Panas membara. Bu Endah mengibaskan tangan dengan pelan dan berkata, “Nah, ayo Ibu antarkan keluar. Kasihan Fabian, sudah bosan pasti dia menunggu.” Pak Handara manggut kecil.             Lalu didampingi oleh Sang Istri, Pak Handara melangkah menuju mobilnya.             Melihat itu, Fabian langsung turun dari mobil dan bergegas mencium punggung tangan Sang Ibu.             “Dedeknya nggak dicium juga, Kakak Fabian? Nanti kalau Dedeknya kangen, terus bagaimana?” tanya Bu Endah sambil menunjuk perutnya.             Fabian tertawa kecil lalu mencium juga perut Sang Ibu dan mengusapnya dengan telapak tangannya. “Oh, iya. Maaf ya Dek, Kak Fabian hampir lupa,” ucap Fabian dengan mimik muka lucu.             “Dek, Kak Fabian mau sekolah dulu biar pintar ya. Biar kalau Dedek lahir nanti, Kak Fabian bisa ajari baca, ajari menulis, menggambar. Nanti kita main bola sama-sama ya Dek. Dedek jagain Ibu, ya, selama Kak Fabian sama Bapak pergi,” ucap Fabian setelahnya.             “Iya, Kak Fabian. Kak Fabian yang rajin ya, belajarnya, supaya pintar. Nanti kalau sudah pintar, bisa ajarin Dedek. Kak Fabian juga jangan nakal di asrama,” sahut Bu Endah dengan suara dibuat macam Anak kecil.             Fabian tertawa.             Pak Handara sedikit terhibur karenanya. Seakan sedikit keresahannya terhalau pergi.             Lalu dibiarkannya Sang Istri mencium punggung tangannya dan melepas kepergiannya.             “Jangan lupa untuk mengabari aku terus, Endah. Supaya hatiku tenang,” bisik Pak Handara.             Bu Endah tersenyum menggoda Sang Suami. Bukan hanya untuk membuat Sang Suami tenang, namun sekaligus bermaksud membujuk sendiri hatinya.             “I... ya Pak. Bapak sudah berapa kali deh bilangnya. Lagi pula Bapak juga nanti malam sudah balik ke rumah. Bapak ini seperti Anak Muda yang sedang pacaran saja. Nah, hati-hati di jalan, ya,” kata Bu Endah sambil mengelus pundak Sang Suamia.             “Aku jalan sekarang, Endah. Jaga dirimu baik-baik,” kata Pak Handara.             Bu Endah menganggukinya.             Bu Endah melambai-lambaikan tangannya melepas kepergian Sang Suami, hingga badan mobil yang membawa Suami dan Anaknya itu lenyap dari pandangan matanya.             Wanita itu terus menepis resah yang kian konstan menyergapnya.             “Semoga Bapak dan Fabian baik-baik saja,” kata Bu Endah pelan.             Bu Endah terus mendoakan dalam hati, untuk keselamatan Anak dan Suaminya di dalam perjalanan ke kota. Juga demi menentramkan perasaannya sendiri yang bergelombang.             Ia tak tahu saja, ada sesuatu yang demikian besar, yang bakal segera terjadi.             Sesuatu yang sesungguhnya sangat berbahaya dan tidak mungkin terhindarkan olehnya. Sesuatu yang akan membuat hatinya dilanda kepedihan yang sangat. Sebuah kehilangan yang tidak akan mungkin terlupakan dan terobati untuk selamanya. Wanita ini juga tidak tahu, betapa perasaan Sang Suami yang sedang dalam perjalanan untuk mengantarkan Putra pertama mereka ke kota, sama resahnya dengan perasaannya. *                                                                                                           * *  Lucy Liestiyo  * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD