Episode : Godaan Yang Tak Terelakkan (2)
“Mau tanya apa Kak Shania?” tanya Farah santai sembari mengurai kelopak mawar yang baru dipetiknya.
“Eng, itu..,” baru saja Shania membuka mulut dan merasa mantap untuk bertanya tentang mimpinya, namun mendadak mulutnya seolah terkunci. Di luar kemauannya, dia malah melontarkan pertanyaan lainnya.
“Taman bunga ini, kok seperti milik pribadi Keluargamu saja ya, Farah? Kita sudah lama berada di sini, tapi dari tadi nggak kelihatan orang lainnya,” ucap Shania setelahnya.
“Oh, cuma mau tanya itu?” ucap Farah sambil tersenyum geli.
“Ini bukan taman bunga milik Keluarga kami, Kak. Milik umum kok, ini. Mungkin penduduk desa sudah bosan, Kak. Di sini banyak taman seperti ini, soalnya” imbuh Farah pula.
Mata Shania langsung berpijar mendengarnya.
“Oh, ya? Beneran itu, Farah?” tanya Shania, yang dijawab anggukan kepala Farah.
“Beneran lah Kak. Mau kalau aku ajak ke taman bunga lainnya?” tanya Farah menawarkan.
Shania berpikir sesaat, menimbang-nimbang dalam diam.
“Besok-besok, mungkin boleh juga ya. Sekarang ini kita sudah harus kembali ke rumah, kelihatannya. Tapi..,” Shania menggantung ucapannya.
“Tapi apa, Kak?” tanya Farah pula. Dia benar-benar ingin tahu. Pantang dibuat penasaran.
“Farah, kamu tahu tidak? Jadi, sewaktu kendaraan yang kami tumpangi baru memasuki desa ini, aku melihat ada sebuah danau yang letaknya tak jauh dari jalanan. Danaunya indah sekali. Saat itu aku mengajak Kak Fabian singgah sebentar, tapi langsung ditolak. Kak Fabian bilang, sebaiknya besok-besok saja. Sempat nggak, kalau kita ke sana sebentar, sebelum kembali lagi kemari dan masuk lewat jalan rahasia yang tadi? Itu, danaunya jauh nggak sih dari sini?” tanya Shania beruntun.
“Danau?” tanya Farah. Ada kerutan yang tampak di keningnya.
“Iya, danau,” sahut Shania tak sabaran.
“Tapi Kak Shania... danau itu.., eng.., ” Farah tampak ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Kenapa, Farah? Ada apa dengan danau itu? Jauh ya dari sini?” tanya Shania.
Farah menjawab dengan gelengan kepala.
“Enggak jauh?” kejar Shania.
“Dekat kok Kak,” ucap Farah.
Hampir saja Shania tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Rasa senang yang berpadu dengan desakan kuat untuk segera menuju ke danau tersebut, membayar hasrat yang telah tertunda sekian lamanya.
“Dekat? Bagus dong kalau begitu. Tapi kenapa kelihatanya kamu agak ragu?” desak Shania.
Farah menelan ludah. Ia sampai menoleh ke sekitarnya dulu sebelum menjawab. Seolah akan mengatakan sebuah pantangan saja.
“Eng.., dulunya sih danau itu selalu ramai Kak. Tapi entah mengapa, setelah ada cerita-cerita aneh dari penduduk desa, Orang-orang, terutama para Tua-tua di desakami ini jadi membuat semacam larangan, nggak boleh berada di danau itu selepas Maghrib,” jelas Farah, ragu-ragu.
“Maksudnya, ada kejadian apa?” tanya Shania penasaran.
Farah mengedikkan bahunya.
“Setahuku belum ada kejadian apa-apa sih, Kak. Cuma nggak tahu deh. Setelah adanya larangan itu, para Warga hanya berani bermain di sana saat siang hari saja. Pokoknya, begitu senja, nggak ada yang mau main dekat situ. Ah, nggak tahu lah, katanya danau itu jadi seram. Suka dengar suara ini itu, cerita yang seperti dibuat-buat, begitu,” urai Farah enggan.
Shania manggut-manggut.
“Oh.., begitu rupanya. Tapi kan, sekarang ini masih terang? Aku kok, ngebayanginnya enak duduk-duduk di tepi danau. Kan ada pohon besarnya. Adem, begitu,” kata Shania dengan pandangan mata menerawang.
“Kak Shania kepengen banget ya?” tanya Farah iba.
“Iya sih, kalau kamu nggak keberatan mengajakku ke sana,” jawab Shania penuh harap.
Farah langsung tersadar, dia barusan menawarkan sesuatu yang ‘berbahaya” dan sekarang posisinya sendiri jadi sulit. Susah baginya untuk menarik kembali tawaran yang telah dilontarkan oleh mulutnya sendiri. Dihelanya napas panjang dan mengembuskannya perlahan, seperti tengah menghadapi persoalan berat saja.
Farah menggaruk-garuk kepalanya sesaat, lalu dia berkata, “Oke deh kalau begitu. Tapi janji, sebentar saja, ya Kak. Dan jangan jauh-jauh dari aku.”
“Maksudnya bagaimana? Coba diperjelas, Farah!” suruh Shania.
“Jadi maksudku Kak, kalau kita sudah berada di danau nanti, Kak Shania nggak boleh seperti di taman ini.Jangan seperti di sini ya Kak, Kak Shania lihat apa, langsung nyamperin, tanpa bilang apa-apa ke aku. Ya intinya, harus terus di dekatku, ya. Kalau mau apa-apa tanya aku dulu,” pinta Farah, yang tampak kesulitan memilih diksi yang diharapkannya dapat segera dimengerti oleh Shania.
“Itu saja? Ya sudah, deh. Nggak masalah itu, Farah. Ayo, cepetan, supaya kita punya cukup waktu menikmati suasana danau itu,” kata Shania penuh semangat.
Hanya dalam hitungan menit setelahnya, Farah merasakan tangannya ditarik keras oleh Shania. Dia tak punya pilihan lain jadinya, selain harus menuruti kemauan Sang Kakak ipar.
*
Farah dilanda panik yang luar biasa. Dia tahu, dirinya bakal diomeli habis-habisan bukan hanya oleh Fabian seorang, tetapi juga oleh semua anggota Keluarganya. Kemungkinan terburuk adalah, dia bisa saja diusir dari tempat nyaman yang telah menjadi tempatnya bernaung selama ini. Dilihatnya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah pukul 3 sore lewat 5 menit sekarang ini. Seharusnya, dia telah mengajak Shania pulang dan segera mandi. Sebab setelah itu, Shania harus dirias dan mengenakan busana yang telah ditetapkan karena para Tamu akan berdatangan menjelang pukul 7 malam nanti.
“Kak Shania! Kak Shania! Kakak kemana sih? Jangan bercanda begini, Kak!” teriak Farah berulang kali bersama gerakan tangannya yang tak henti menyibak-nyibak dahan-dahan pohon sekuat tenaga. Dia berpikir, Shania sengaja menggodanya dan bersembunyi di antara rimbunnya dahan itu.
Selagi menyibakkan dahan-dahan tersebut Farah tersadar, ternyata pepohonan di tepian danau ini sudah jauh lebih rapat jaraknya dibandingkan terakhir kalinya dia mengunjungi danau ini bersama teman-temannya.
Dan itu..., ! Ya ampun! Aku baru sadar, itu sudah lama sekali! bisik Farah dalam hatinya.
“Kak Shania! Tolong keluar, Kak! Kita harus segera pulang. Cepat, Kak! Nanti kalau ketahuan Kakak pergi, aku bisa dimarahi sama semuanya!” seru Farah lebih keras. Mata Farah menatap nyalang ke sekeliling. Ia memperhatikan dengan saksama, adakah daun-daun yang bergoyang atau sekelebatan bayangan tubuh Shania. Sampai-sampai dipaksanya agar matanya tak berkedip, lantaran takut ada gerakan Shania yang terlewat dari pengawasannya.
Namun apa daya. Sekian lama dia memelototkan matanya dan terus mengawasi sekitarnya, hasilnya tetap nihil. Dia hanya sibuk sendirian tanpa adanya tanda-tanda keberadaan Shania. Kini keringat dingin mulai membanjir di wajah Farah.
“Kak Shania! Kaaaak! Ayolah Kak, jangan bercanda lagi! Kakak di mana sih sebetulnya?” kini suara Farah mulai memelas. Bayangan kemarahan Fabian, Ayahnya serta Bu Endah, membuat badannya terasa menggigil seketika. Rasa takut yang besar menyergapnya.
Sekian lama meneriaki nama Shania dan terus mencari tanpa hasil berarti membuat Farah mulai dilanda putus asa. Matanya sudah mulai memanas.
“Bagaimana ini? Sebenarnya kemana perginya Kak Shania? Mana mungkin secepat itu lenyap, nggak berbekas? Dan sungguh aneh, kok nggak bilang-bilang ke aku dulu sih? Aduh, bisa gawat ini, kalau Kak Shania sampai kenapa-napa! Aku benar-benar bodoh dan ceroboh, kenapa aku mau saja menuruti kemauannya kemari? Bukan, bukan menuruti kemauannya, justru awalnya aku yang menawari dia untuk keluar dari rumah,” gumam Farah dengan hati mencelos.
Tiada hentinya Gadis itu menyalahkan dirinya sendiri.
Desir angin yang menerpa tubuhnya, seolah menghadirkan suasana mencekam yang hendak mengintimidasinya. Mau tak mau, Farah terpengaruh juga.
Farah menggigit bibirnya. Lalu ia menengadahkan kepalanya ke langit, berikutnya matanya menatap ke arah danau yang terhampar di depannya, lalu menatap langit lagi. Seakan-akan memohon pertolongan dari semesta agar ada petunjuk yang jelas tentang keberadaan Sang Kakak Ipar.
^ * Lucy Liestiyo * ^