CERITA MISTERI 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (27)

1598 Words
Episode : Jatuh Cinta Berjuta Rasanya (2)   Mendadak saja perasaan Windy jadi tidak enak. Dan celakanya, itu terbias di parasnya. Dan cukup untuk tertangkap  oleh mata Sang Penyapa, membuat Sang Penanya tersenyum kecil. “Oyyyy! Kenapa itu muka? Ada apa gerangan? Kok sudah macam ekspresi Para Koruptor yang kena Operasi Tangkap Tangan deh itu mah!” goda Sang Empunya Suara, yang ditingkahi dengan tawa kecilnya. Windy benar-benar terusik. Pernyataan Sang Sahabat sungguh mengena. “Ah! Ngaco! Enggak gitu juga kali Nek. Gue cuma..., lagi buru-buru mau keluar kantor nih. Ada urusan. Elo kok tumben ada di kantor gue sih Nek, siang-siang begini?” tanya Windy. Yang ditanya tersenyum dan menyahut, “Kantor elo, Nek? Hel... louuuu! Kantor elo itu cuma Salah Satu Tenant yang berkantor di Gedung ini. Coba, ya!” Bentuk candaaan yang biasa saja dari Yeslin. Namun akibatnya, Windy jadi grogi. “Ya itu, maksud gue tadi. Kok tumben? Mau ke atas ya, ketemu gue? Kok nggak bilang-bilang dulu ke gue?” tanya Windy agak tergeragap. Tak terhindar, Yeslin mengerutkan keningnya.  Ia mencermati mimik muka Sang Sahabat dengan lebih saksama. Mencoba meraba-raba apa yang sebenarnya tengah disembunyikan Windy darinya, dan mengapa harus segugup itu kepadanya. Selintas kecurigaan segera menyelinap di benak Yeslin. Rasanya dia sudah dapat menebak, Siapa gerangan 'Sang Tertuduh' yang menyebabkan sikap Sahabatnyan satu ini menjadi aneh belakangan ini. Tak lain tak bukan, tentu saja Si Tukang bunga. Siapa lagi memangnya?  Hanya saja, Yeslin agak bingung, mengapa sampai sebegitunya Windy gugup. Padahal seingatnya, dulu-dulu pun, saat dirinya memperingatkan tentang Para Mantan Windy, toh Windy tetap saja tak mengindahkan 'peringatan'nya. Dulu-dulu elo cuek bebek kok. Sok plegmatis, kalau dibilangin suruh hati-haati, elo iya-iya doang. Tapi sudahannya toh itu mulut bocor juga, cerita juga ke gue bahwa elo tetap jalan, sama Para Mantan elo. Ini yang sekarang kenapa pakai begini? Jangan-jangan masalahnya rumit, ya? Sudah punya Istri, kali? Atau..., bukan si Tukang bunga? Terus Siapa lagi? tanya Yeslin dalam diamnya.  “Heii! Elo kenapa sih? Kok aneh gitu. Gue lagi ada liputan dadakan di sini. Tuh, ada resto yang baru buka, kan? Dan gue harus mendampingi Jurnalis magang. Ini lagi break sebentar,” jelas Yeslin. “Ooooh..., kok elo yang ditunjuk Ini kan nggak gede-gede amat ya, acaranya?” Windy setengah bergumam. Nyata benar betapa Windy tengah berusaha menyembunyikan rasa sesal yang mencuat akibat perjumpaan yang tak disengaja ini. Yeslin bagai tertegur, walau dia tak paham apa yang tengah mengganggu pikiran Sang Sahabat. “Ya namanya juga Perusahaan kecil. Ini untuk majalah baru. Elo katanya buru-buru? Nanti deh, kita ngobrol ya? Gue juga harus balik ke sana. Tuh, Teman gue sudah kasih kode,” kata Yeslin. Windy merasa sebuah kelegaan menyapanya. Rasanya seperti terbebas dari rasa bersalah saja. Padahal dia juga tak paham kenapa harus merasa bersalah. “Oooh... oke. Selamat kerja, ya. By the way, thanks berat buat oleh-olehnya. Oya Nek, sorry juga, tadi malam jadi kelupaan mau telepon elo,” kata Windy.   “Santai deh Nek. Gue paham kok,” sahut Yeslin, melegakan Windy. Windy langsung menyunggingkan senyum kala berucap, “Thanks for your understanding.” Namun senyum Windy itu mengucap kala mendengar sahutan Yeslin setelahnya. “Biasanya sih, Teman gue yang satu ini, kalau sering lupa-lupa dan rada grogi gitu, kalau lagi jatuh cinta, ha ha ha. Gue tunggu ceritanya deh. Yuk, gue mau lanjut kerja dulu ya!” celetuk Yeslin ringan. Windy merasa bagai tertohok tepat di lambungnya. Tetapi ia berusaha bersikap biasa. Pun tatkala ia menyadari pandangan mata Yeslin yang tertuju pada tas kartonnya yang jelas-jelas berlabelkan sebuah nama Restaurant terkenal. Windy sempat melihat betapa Yeslin tersenyum penuh arti. Dan ia tahu, itu tidak menguntungkan baginya. Itu sama saja sebuah tebakan tak terucap, “Ehm..., lagi pacaran, ya? Sama Si Tukang Bunga, kan?” Bukan hal yang berat seandainya Si Tukang Bunga bukanlah Bagas. Aku sudah janji untuk menyimpan dulu hubungan kami ini. Nggak susah, kok. Ini kan cuma Yeslin. Kalau aku cuekin juga dia berhenti memancing-mancing atau bertanya, pikir Windy. Karenanya, Windy buru-buru melambaikan tangan dan berbalik badan. “Aku jalan dulu,” seru Windy. Yeslin balas melambaikan tangan kepadanya. Bersikap sewajar mungkin, seakan-akan memang tidak ada yang mengganjal perasaannya. Tetapi hal itu tak bertahan lama. Saat Anto, Sang Kameraman bertanya kepadanya, “Itu Teman elo, si Windy-Windy yang kapan hari elo bilang itu?” Toh Yeslin terusik pula. Ia mengangguk lantas setengah bergumam, “Tuh Anak rada aneh sikapnya. Nggak lepas. Seperti mau menyembunyikan sesuatu dari gue. Gue heran. Teralhir kali dia begitu kapan ya..., hm..., seingat gue, pas dia lagi dekat sama si Krismantoro itu dan gue kasih tahu bahwa Krismantoro itu punya Tunangan. Tapi ini kan..., gue nggak ada ngomong apa-apa tentang Siapa-siapa? Kenapa kesannya dia menjauh dan agak menutup diri dari gue ya?” Anto menepuk pundak Yeslin. “Paling cuma perasaan elo,” kata Anto. Yeslin menggeleng lalu menyahut, “Hm. Nggak mungkin. Gue malah jadi ingat..., ini sikap anehnya si Windy kalau gue tarik mundur ke belakang, semenjak dia bilang mau diajak ke kebun bunga sama Siapa itu, Cowok yang lagi dekat sama dia.” “Ya barangkali sekarang mereka berdua lagi penjajagan. Sudahlah, Yes, elo jangan terlalu ikut campur urusan Orang. Takutnya dia salah terima dan nyangkain yang enggak-enggak ke elo,” balas Anto, lalu mengembangkan kedua tangannya. Yeslin mengedikkan bahu. “May...! Maybe yes, maybe no!” cetus Yeslin, seolah tak peduli. Walau sejatinya, tetap saja dia menyimpan tanya di dalam hatinya. Semoga elo baik-baik saja ya Nek. Oke, gue nggak akan membuat elo semakin grogi. Pada saatnya elo juga akan cerita sendiri, harap Yeslin tak terucap. “Kadang-kadang susah ya jadi Jomblo. Saat kita tahu Sahabat kita lagi dalam bahaya karena terlibat hubungan asmara dengan Seseorang yang nggak semestinya, terus kita mau ngasih tahu, takutnya malahan dianggap iri karena lagi nggak punya Pacar. Huft,” gumam Yeslin lirih. “Hah? Apa? Lo ngomong apa Yes, barusan?” tanya Anto, yang hanya mendengar sepintas lalu gumaman lirih Yeslin. Yeslin mengibaskan tangannya. “Enggak. Gue bilang, ayo kerja lagi!” kata Yeslin cepat. * “Selamat siang, selamat datang di toko bunga kami,” terdengar sapaan ramah kala Windy membuka pintu kaca toko bunga itu. Windy menoleh. “Hallo,” sapa Windy. “Eeeh..., eng..., Mbak Windy kan ya?” tanya Cewek yang tadi menyapanya. Windy mengangguk. “Maaf, saya nggak langsung mengenali, tadi. Mbak Windy mau cari bunga? Atau mau ketemu sama Pak Bagas?” tanya Cewek itu. “Yang kedua, Diandra. Pak Bagasnya ada?” tanya Windy, yang tak bisa melupakan percakapan pertamanya dengan Gadis ini. Percakapan di mana Gadis ini meminta data berupa tanggal lahirnya yang justru ia berikan bonus berupa nomor telepon genggamnya. Dan percakapan awal itu pulalah yang menghubungkan dirinya dengan seorang Bagas, Sang Pemilik toko bunga All Ocassion ini. Percakapan yang membuatnya mesem kecil, mengingat perkembangannya yang cukup pesat atas hubungan mereka sekarang ini. “Ohh..., tapi Pak Bagas sedang nggak di toko. Saya malahan belum ketemu dari tadi pagi. Mbak Eka, yang membuka toko bunga, tadi pagi. Mbak Eka itu yang tugasnya membuka dan mengunci toko ini. Kalau dia berhalangan, baru diserahkan ke Mbak Sri. Itu juga baru satu kali, seingat saya, selama kami di sini,” kata Diandra. ‘Selama kami di sini.’ Kalimat ini sebenarnya memancing pertanyaan yang ingin diajukan oleh Windy, yakni : Oh, jadi sejak kapan sebenarnya toko bunga ini buka? Herannya, walau letaknya tidak seberapa jauh dari gedung kantorku, aku malah kurang memerhatikan. Windy urung mengucapkannya, dia lebih terfokus pada hal lain yang ingin dia lontarkan. “Lho, tapi Bos kalian kan menginap di sini, tadi malam,” hampir saja kalimat ini terucapkan oleh Windy. Untung saja dia buru-buru membatalkannya. Windy berpikir, barangkali saja Bagas pergi dari toko pagi-pagi benar, dan meneruskan istirahat di tempat tinggalnya yang entah di mana itu. Tempat tinggal yang kemarin ditawarkan oleh Bagas untuk dikunjungi olehnya, tetapi dengan sadar dia tolak. “Oooh..., begitu..,” ucap Windy. “Saya coba telepon Pak Bagas, ya. Cari tahu Pak Bagas mau kemari atau nggak. Atau..., Mbak Windy mau telepon sendiri?” Diandra menawarkan.   “Jangan telepon Pak Bagas, Diandra! Tadi pagi aku sempat mendapatkan pesan singkat dari Pak Bagas, katanya kalau enggak terlalu penting jangan hubungi Pak Bagas dulu. Kasih tahu aku saja. Nanti aku sampaikan,” mendadak terdengar sebuah suara yang agak dingin. Ya, belum juga Windy sempat menjawab tawaran Diandra, sudah ada Suara yang terdengar menyela. Asalnya dari belakang.   Windy tergerak memalingkan wajah, sebab Suara itu juga tidak sepenuhnya asing dengan indra pendengarannya, meski dirinya tidak terlampau sering bercakap-cakap dengan Para Pegawai Bagas. Windy mengingat-ingat jenis Suara itu, dan dia langsung mendapatkan semacam ‘petunjuk’. Aaaaaah..., iya. Suaranya! Dia itu yang dulu menolak diajak bergunjing sama Pegawai Bagas yang bernama Sri dan Reyn. Iya, iya. Dia yang menghindar dan mengatakan ada pekerjaan lain. Ya waktu itu aku memuji dalam hati apa yang Dia buat sih. Kan, memang nggak bagus membicarakan Bos mereka di belakang Orangnya. Tapi kok..., suaranya sedingin es begini? Apa tadi pagi dia disemprot habis-habisan sama Bagas, karena pekerjaannya nggak beres, lalu dia berusaha supaya yang lain nggak kena imbas? Tapi masa Bagas sepemarah itu? Rasanya kok enggak mungkin..., pikir Windy. Berpikir demikian, Windy mencoba tersenyum. Tetapi Orang yang Ia senyumi tampak sedikit terpaksa membalas senyumnya. Gerakan bibirnya terlihat agak kaku di mata Windy. Enggan membiarkan dirinya terjebak dalam situasi tak nyaman, Windy berkeras untuk membujuk hatinya sendiri, walau  di dalam diam. Orang itu juga melirik ke tas karton yang dipegang oleh Windy. Pandangan matanya agak sulit diterjemahkan oleh Windy. Apakah itu tatapan ingin tahu, curiga, waspada, kurang ajar, ataukah... cemburu? * $ $   Lucy Liestiyo   $ $

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD