Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (6)
Semakin dirinya dijajah dengan pemikiran itu, Merna semakin geregetan sendiri jadinya. Ia mendengkus kesal dan mengepalkan tangannya.
“Kasihan sekali Bu Endah. Bu Endah itu terlalu baik sih, hatinya. Sudah pasti dia makan hati. Dia itu kan suka memendam perasaannya. Aku juga nggak habis pikir, bagaimana ceritanya Pak Handara bisa terpikat dengan Wanita yang sok polos begini? Wanita yang jago memanipulasi keadaan, Wanita yang ambisius dan berhati jahat!” Gumam Merna lagi, masih sepelan tadi.
Di dalam diamnya, Merna terus menyesalkan bagaimana Majikan Laki-lakinya bisa terpikat pada Wanita berhati ular macam Bu Fatin. Di mata Merna, semua yang ada di diri Bu Fatin, apa yang ditampilkan oleh Wanita yang satu itu, melulu adalah kebohongan belaka. Semuanya palsu. Tak lebih dari tipu muslihat untuk membuat Orang jatuh kasihan, jatuh iba, serta memihaknya. Lantas setelah Orang berada di pihaknya, maka akan dipergunakannya sebagai ‘bala bantuan’ yang bisa ia kendalikan dan ia kuasai sepenuhnya.
Tampaknya memang sudah sejauh itu rasa antipati Merna pada Istri Kedua dari Pak Handara.
Dari pertama kali melihatnya saja aku sudah menangkap aura nggak baik di diri dia? Itu memancar lho, di mukanya dia yang sok disetel seperti Orang tertindas. Apa jangan-jangan Bapak dijebak sama dia? Dan entah apa yang dikatakan Bapak ke Bu Endah, sampai Bu Endah rela menerima kehadiran madunya di rumah ini. Sejauh ini, seingatku nggak pernah mendengar ribut-ribut pertengkaran hebat antara Bapak sama Ibu, pikir Merna setelahnya.
Ia merasa prihatin, mengenang hari pertama Bu Fatin menginjakkan kaki di rumah tersebut. Perut Bu Fatin telah mulai membesar kala itu. Dan memang, hanya beberapa bulan setelah ia tinggal di rumah tersebut, lahirlah Farah.
Merna tidak bisa lupa, betapa hari-hari awal di mana Bu Fatin dibawa ke rumah tersebut, ia kerap memergoki Bu Endah terbengong selagi duduk di taman samping, bahkan terkadang terihat menangis sendirian. Taman itu memng sudah seperti tempat pribadi saja bagi Bu Endah, di mana ia dapat berlama-lama duduk dan merenung.
Merna kerap melihat aura kemurungan di wajah Bu Endah. Dan ia merasa amat iba lagi prihatin. Dia takut, Majikan Perempuannya yang sangat dia sayangi itu tak kuat menahan tekanan batin dan mentalnya menjadi terganggu.
Hanya saja, ia tak berani untuk mendekati apalgi bertanya langsung. Ada peringatan yang keras dalam dirinya, yang membuatnya mengurungkan hal itu. Ia juga merasakan ada kerenggangan dan kecanggungan dalam interaksi Pak Handara dengan Bu Endah dalam masa-masa itu. Dan sebagai sesama Wanita, tentu saja ia dapat memperkirakan apa penyebabnya.
Mana ada Wanita yang mau dimadu? Wanita yang berhati seluas Bu Endah pun, tentu merasa berat harus berbagi Suami! Pikir Merna maklum, walau tetap salut atas sikap diam Bu Endah, dan bagaimana persisten-nya Wanita satu itu untuk terus bersikap baik.
Di kemudian hari berdasarkan atas kasak-kusuk beberapa Rekannya di dapur ia baru tahu, ternyata tanpa setahu Bu Endah, diam-diam Pak Handara mempunyai ‘rumah tangga’ yang lain di luar sana. Secara diam-diam rupanya Pak Handara telah menikahi Bu Fatin. Tak heran bila Pak Handara kerap pergi ‘ke luar kota’.
Dan di kemudian hari, entah bagaimana ceritanya, mendadak saja Pak Handara malah akhirnya mengajak Wanita Perusak Rumah tangganya itu ke rumah mewahnya, tinggal satu atap dengan Istri pertamanya. Entah bagaimana cara Pak Handara menyampaikan hal itu sebelumnya, sebab di hari ‘ha’ kedatangan si ‘Orang Ketiga’ itu, yang jelas saat itu Bu Endah bersikap baik dan justru menunjukkan kamar yang diperuntukkan buat Bu Fatin. Kamar yang cukup besar, dan sudah dipenuhi dengan furnitur baru atas perintah Pak Handara yang dilakukan oleh Para Pekerja tanpa banyak bertanya.
“Pasti itu atas rengekan si Istri Muda yang hatinya berulat ini. Uh, aku nggak kebayang, bagaimana Bu Endah mengatasi perasaannya sekarang. Pasti berat untuk menyetujui usulan Bapak, yang sudah seperti perintah tak terbantah di rumah ini. Kasihan Bu Endah,” cetus Salah satu rekan Merna di dapur, kala itu.
“Iya, padahal kurang apa Bu Endah itu? Dia begitu keibuan. Baik, pandai membawa diri. Dia juga merupakan Istri yang sangat berbakti. Tidak banyak bicara. Nggak mentang-mentang jadi Nyonya rumah, terus manja dan nggak mau mengerjakan hal-hal kecil. Bu Endah juga pintar dan tahu sedikit-sedikit tentang setiap usaha yang dijalankan sama Pak Handara. Terus, Bu Endah itu juga cantik. Kurang apa lagi, sih? Aku rasa cantiknya Bu Endah itu memang memancar dari hatinya,” kata Rekan Merna yang lain, menimpali perkataan Rekannya yang pertama.
Saat itu Merna menghela napas panjang dan terdorong menimpali mereka, “Makanya! Sudah begitu, tertariknya sama Orang yang kualitasnya berbanding terbalik sama Ibu. Wajahnya sih okelah, memang cantik, tapi nggak tahu deh..., aku merasa auranya itu buruk sekali.”
“Bu Endah baik sekali, kan? Semoga Bapak segera tersadar. Kalau bisa, cepat-cepat lah, itu Si Penggoda keluar dari rumah ini,” sahut Rekan Merna, yang bersambut anggukan yang lainnya.
“Amin,” sahut Merna sungguh-sungguh.
Kini mengenang semuanya, Merna mengelengkan kepala.
“Semua yang dikatakan sama Teman-teman dulu, nggak ada yang meleset. Bu Fatin ini memang jahat. Dan semakin kelihatan jahatnya. Aku lihat, Pak Handara juga mulai sebal sama dia, tapi nggak mau menunjukkan di depan Orang lain,” gumam Merna lagi.
“Aku hanya menuntut yang menjadi hakku. Di mana salahnya?” Suara Bu Fatin melemah.
“Hakmu yang mana lagi? Katakan! Kamu jangan keterlaluan, Fatin! Apa yang aku berikan ke kamu, semestinya kamu syukuri. Aku tidak ingin mengungkit, tetapi bukankah apa yang kamu enyam di sini jauh lebih baik dari pada kehidupanmu sebelumnya? Sadarilah hal ini!” sahut Pak Handara.
“Beraninya kamu mengungkit, Mas! Itu sudah kewajibanmu, untuk memenuhi kebutuhan Istrimu,” tentang Bu Fatin histeris.
“Dan aku sudah memenuhinya, kan? Aku cukupi kebutuhan lahir dan batin kamu. Aku cukupi kebutuhan Anak-anak. Kuperlakukan mereka semua secara adil. Bukankah itu cukup? Asal tahu saja, sepanjang pernikahan aku dengan Endah, dia tidak pernah menuntut ini dan itu. Endah itu sangat pengertian kepadaku. Dan bahkan aku yang mengkhianati kesetiaannya dengan membiarkan diriku larut dalam godaan..,” Pak handara kelepasan bicara.
“Jadi kamu menganggapku menggodamu, Mas? Kamu, kamu yang menggodaku! Mana ada Orang desa yang menggoda oarang kota? Kamu, yang Orang kota, yang menggoda akuyang tak tahu apa-apa, kamu merayuku, kamu biarkan aku berharap...,” Bu Fatin menghentikan kalimatnya sampai di sana.
“Siapa yang merayu Siapa? Ngomong yang jujur, Fatin, jangan memutarbalikkan fakta! Aku ini Laki-laki, sedang berjauhan sama Istriku dalam jangka waktu yang lama. Aku lemah, dan tergoda dengan pesona yang kamu tebarkan terus menerus, hampir di setiap hari aku memantau perkembangan di perkebunan luas itu. Kamu terang-terangan memikat aku, bersikap genit. Kamu buat aku terlarut, kamu jerat aku begitu kuat, selama aku mengawasi perkembangan di perkebunan itu. Padahal kamu juga tahu, aku ini Lelaki yang sudah beristri, bahkan sudah punya Anak,” kata Pak Handara kalem.
Merna yang mendengarnya dari luar, merasakan mendapat petunjuk yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul ke permukaan. Perihal awal pertemuan Pak Handara dengan si Penggoda bernama Fatin itu. Si Orang ketiga yang hadir ke rumah mewah tersebut yang mengacak-acak tatanan yang telah lama terawat dengan baik.
“Mas! Kamu keterlaluan sekali merendahkan aku! Aku genit dan menggoda apa maksudmu? Buktinya kamu menikmatinya! Kamu menginginkan hal itu! Kamu yang jatuh cinta duluan sama aku! Buktinya kamu datang dan datang lagi! Makanya, kamu jangan seenaknya begini, bersikap seolah awal hubungan kita adalah sebuah kesalahan!” Bu Fatin mulai berteriak histeris.
* * Lucy Liestiyo * *