CERITA MISTERI 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (24)

1887 Words
Episode : Ucapan Bagas Yang Membekas Di Hati Dan Pikiran Windy (1)                   Alangkah tak terduga apa yang diucapkan oleh Bagas itu!                   Berhubung Windy tidak bereaksi, Bagas melanjutkan ucapannya.                 “Aku sudah pernah bilang lebih dari satu kali kan, bahwa aku jatuh cinta pada pandangan pertama, denganmu. Dan ya, sampai sekarang  aku nggak akan ragu untuk mengakuinya. Kamu itu istimewa, Windy. Sungguh,” ucap Bagas.                 “Dan yang barusan aku katakan kepadamu, iya, itu keluar dari hatiku, Windy Sayang. Kalau sekiranya satu-satunya cara untuk nggak kehilangan rasa percaya kamu ke aku adalah dengan menikahi kamu, aku akan melakukannya,” ujar Bagas mantap.                 Sontak Windy disapa oleh rasa ngeri. Rasa ngeri yang meringkusnya, hingga membuat dirinya nyaris menggigil membayangkan akan ‘membeli kucing dalam karung’.                   Aiiiih! Menikah? Siapa yang nggak kepengen? Dengan kamu, pula! Tapi....? Secepat itu? Itu super duper ngeri. Aku bahkan belum tahu bagaimana kamu. Aku belum tahu secara detail. Aku nggak bisa membayangkan sekiranya kamu adalah Seorang yang kasar, suka memukul Pasanganmu, dan bahkan Seseorang yang mempunyai kecenderungan untuk selingkuh. No, no, no! Nggak usah setergesa itu. Kamu sendiri kan yang bilang supaya pelan-pelan saja? Pikir Windy dengan hati ciut.                 “Kamu marah atas kejadian yang tadi, ya? Maafkan aku keterusan ya. Aku..., ya seperti aku bilang, aku lemah. Soalnya..., kamu itu terlalu cantik, terlalu mempesona. Bukan, bukan maksudku menyalahkanmu,” ucap Bagas dengan nada rendah.                 Windy sudah nyaris membuka mulutnya, tetapi Bagas sudah lebih dahulu menambahkan pernyataannya.                 Windy kalah cepat.   “Aku yang salah, Win. Semestinya aku lebih bisa mengendalikan diri dan nggak membuat diri kamu menjadi takut sama aku. Hm..., kelihatannya untuk sementara ini kita jangan keseringan berdua di dalam ruangan tertutup begini, ya? Aku takut kalau aku nggak bisa menahan diri lagi. Aku serius, Win, tadi itu aku nggak ada maksud untuk kurang ajar. Jangan sampai kamu berpikir kalau aku berniat melecehkanmu. Ya?” kata Bagas lembut.                 Kali ini Windy tertawa. Namun ia juga tahu, suara tawanya itu sungguh terasa sumbang. Ia segera mengibaskan tangannya, supaya Bagas tidak bicara apa pun lagi.                 “Jangan dilanjutkan Bagas. Sudahlah. Aku percaya kok, sama kamu. Dan jangan kejauhan ngomongnya. Ngomongin segala nikah. Kamu sendiri yang bilang, kita harus menikmati semua momen yang kita punya. Tapi aku pikir, yang kamu katakan barusan ada benarnya. Mungkin bisa dimulai dengan membuka pintu ruangan kerja kamu? Eng..., kamu bisa kerja dengan daun pintu terbuka, kan?” tanya Windy sembari menatap ke arah daun pintu.                 Bagas menaruh telunjuknya ke bibir, berpikir sebentar.                 “Sebetulnya sih aku enggak terbiasa. Tapi buat kamu, nggak masalah. Ini hanya soal kecil. Bagian dari menyesuaikan diri. Iya, kan? Supaya kamu juga merasa nyaman di sini,” Bagas melempar kalimat retorik lalu bergegas bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah pintu ruangan kerjanya.                 Entah mengapa, hati Windy berbunga.                 Bagian dari penyesuaian diri dia bilang. Oh. Itu terdengar manis. Ya, memang sepatutnya aku nikmati proses ini, kata Windy dalam hati, membujuk dirinya sendiri.                 Kala Bagas membuka daun pintu tersebut, Windy menatap ke arah arlojinya.                 Diam-diam Windy menyesal, menyadari perputaran waktu yang terasa demikian cepat, selagi dirinya tengah menghabiskan kebersamaan dengan Bagas.                 “Tapi Bagas, kelihatannya aku harus siap-siap untuk pulang, deh. Supaya nggak terlalu malam. Aku mau pesan taksi daring dulu sekarang,” ujar Windy.                 Bagas memalingkan wajahnya.                 “Lho, nggak jadi singgah, untuk melakukan sidak ke tempat tinggalku?” tanya Bagas setengah menggoda.                 Windy mengerucutkan bibirnya.                 “Kamu ngeledek deh!” ujar Windy.                 “Aku serius, kok,” kata Bagas.                 “Enggak. Entar aku pulangnya kemalaman,” tolak Windy.                 “Maksudku, enggak sekarang. Lain kali saja baru boleh,” tambah Windy, lantaran takut tawaran Bagas berlalu begitu saja.                 “Oh, ya sudah. Terserah kamu saja. Lagi pula ada benarnya. Takutnya nanti di sana kita malahan ..., seperti tadi lagi. Lebih-lebih, di sana kan lebih privat tempatnya. Jangan dulu, ya,” ucap Bagas, yang mau tak mau memancing tawa Windy.                 Windy sudah hampir membuka aplikasi taksi daring yang ia pasang di telepon genggamnya ketika Bagas mendekat dan menutup layar telepon genggam itu.                 Windy menengadahkan wajahnya.                 “Kenapa?” tanya Windy.                 “Nggak usah pesan taksi daring. Sudah jam segini. Aku nggak bisa memercayakan Pacarku ke taksi daring yang bahkan nggak aku kenal,” kata Bagas.                 “Lho? Terus?” tanya windy, berbalut protes.                 “Aku antarkan kamu. Nggak keberatan, kan? Atau kalau misalnya kamu keberatan, belum siap untuk ditanya-tanya sama Orang rumahmu, ya nanti aku berhenti seratus atau dua ratus meter dari rumahmu. Bagaimana? Eng..., area rumahmu lumayan aman, kan buat kamu jalan kaki sedikit? Dan rasanya kalau sekadar jalan kaki sejauh itu nggak akan bikin kamu kecapekan, ya?” usul Bagas.                   Windy menimbang-nimbang dalam diam. Sampai akhirnya dia merasa yakin bahwa itu adalah ide yang bagus.                 “Boleh juga. Ayo!” kata Windy lantas meraih tasnya.                 Bagas tersenyum dengan matanya.                 Windy semakin terbelit oleh pesonanya.                 “Dan lain kali aku rasa nggak ada salahnya kalau kamu main kemari, atau pas kita ketemuan di mana begitu, kamu juga membawa kendaraanmu,” cetus Bagas.                 Wajah windy seketika merengut mendengarnya.                 “Please deh! Baru mau mengantarkan aku sekali, dilakukan juga belum, kamu sudah terbebani. Bilang saja menyesal, karena sudah telanjur mengungkapkan mau mengantarkan aku,” kata Windy.                 Bagas menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Lalu ia menyentil hidung Windy sepelan mungkin.                 “Kamu salah kira, Windy! Kalau kamu bawa mobil, aku lebih tenang karena nggak harus memercayakanmu ke Pengemudi taksi daring. Dan Siapa bilang aku menyesal mau mengantarmu? Enggak dong! Kamu bawa mobil juga aku bisa tetap mengantarmu. Caranya, aku mengikutimu dari belakang. Malahan dengan begitu, kamu nggak perlu jalan kaki segala. Enggak keringatan, ya kan?” papar Bagas.                 Windy mengangguk setuju.                 “Ternyata kamu detail juga. Mikirnya sampai ke sana,” komentar Windy.                 Bagas tertawa geli.                 “Maklum, namanya juga Pengusaha kecil. Terbiasa mengurus hal-hal yang remeh. Apa-apa masih dikerjakan sendiri,” ujar Bagas merendah.                 Windy mencibir lalu berkata, “Terus deh, merendahkan diri. Yuk ah. Jalan sekarang.”                 “Ayo!” ajak Bagas pula. *                 Selama dalam perjalanan menuju ke rumahnya, tidak terlampau banyak percakapan yang mereka lakukan. Sepertinya hati mereka berdua yang lebih banyak bicara.  Bagas tampaknya juga sengaja menyetel lagu instrumentalia yang lembut untuk mendukung suasana.                 Nyaris di setiap kali perjalanan mereka terkendala oleh menyalanya lampu merah, Bagas menyempatkan diri untuk melirik pada Windy dan mengusap kepala Windy, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.                                 Pun begitu, tetap ada sejumlah percakapan yang tampak selewatan, namun toh bagai tertanam di dalam memory otak kiri Windy.                 Salah satunya, adalah ketika Bagas mendadak melemparkan kalimat tanya yang tidak disangka-sangka oleh Windy. Jenis kalimat tanya yang menurut Windy, lebih tepat untuk dilontarkan pada awal-awal perkenalan mereka.                 “Win..., kamu suka baca cerita fiksi nggak?” tanya Bagas tiba-tiba.                 Windy memalingkan wajah dan balik bertanya, “Maksud kamu..., semacam n****+, begitu?”                 Bagas mengangguk.                 “Betul.”                 Windy menjawab dengan jujur, “Aku lupa pernah menyebut soal ini atau nggak. Aku ini nggak terlalu suka membaca. Ya apalagi baca cerita fiksi. Tapi pernah, sih, beberapa kali.”                 “Suatu saat kamu akan menyukainya,” ucap Bagas yakin.                 “Masa? Kenapa kamu bisa bilang begitu?” tanya Windy.                 “Terlepas dari bentuk cerita fiksinya apa, banyak di antaranya diambil dari kejadian nyata,” ucap Bagas.                 “Oh. Aku pernah dengar soal itu,” sahut Windy pula.                 “Itu baru alasan pertama,” kata Bagas.                 “Alasan lainnya?” tanya Windy.                 “Nah, itu, kamu sudah mulai tertarik membicarakan tentang cerita fiksi,” balas Bagas.                 Windy tertawa kecil.                 Ia mengangkat bahu sebentar lalu berkata, “Hm..., anggap sebagai salah satu bentuk nyata penyesuaian diri. Tapi boleh dikerucutkan, yang kita omongin cerita fiksi yang berbobot, ya? Bukan yang asal tulis, modal copy dan paste sana-sini. Bukan pula yang isinya melulu adegan syur hanya untuk memenuhi selera Para Pembacanya, tapi nggak ada jalan cerita dan karakter yang kuat. Juga jangan ngomongin tentang n****+ yang nggak realistis, ya. Aku nggak suka. Yang melulu kisahnya Ceweknya bak Cinderella, miskin papa, tertindas, lalu ketemu sama Pangeran berkuda Putih yang menyelamatkan dia. Pakai kalimat ala dongeng saja sekalian : Dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.”                 Bagas tertawa danmengacak rambut Windy perlahan.                 “Waaaah..., kamu tahu jauh lebih banyak dari aku rupanya,” seloroh Bagas. “Enggak juga. Itu hasil dengar Para Anak buahku yang setiap makan siang kerjanya baca n****+ digital melulu. Habis itu mereka sibuk berdebat sendiri. Katanya nggak suka karena themanya nggak jauh dari Orang Ketiga, Kawin Paksa, CEO – CEO an, Benci Tapi Cinta, ya yang semacam itu. Tapi herannya tiap hari masiiiih aja mau ngikuti jalan ceritanya terus masih komentar melulu. Eh tapi leave it lah! Nggak penting juga dibahas. Buruan deh mau ngomong apa? Jangan dibuat muter-muter,” bantah Windy untuk membela dirinya. Bagas berdeham. Mimik mukanya berubah menjadi serius, membuat Windy penasaran dan pasang telinga. “Oke. Sebetulnya alasannya banyak Win. Dan sesuai yang kamu sebut tai, konteksnya dalah n****+ yang bermutu yang ktia bicarakan di sini. Jadi, aku itu paling suka dengan cara Narator untuk membuka secara pelan-pelan karakter tokoh dan kejadian yang dia alami. Sampai latar belakang mengapa karakternya si A begitu mengapa karakter si B lain lagi. Cara menyingkap yang dilakukan sedikit demi sedikit bahkan membuat Para Pembaca menjadi menebak-nebak itu bagus dan mengasyikkan. Itu...,  mirip dengan kehidupan, kan? Apa asyiknya dan di mana serunya kalau begitu kita berkenalan dengan Seseorang, terus kita langsung tahu semua tentang diri dia? Bisa-bisa rasa tertarik itu malah luntur. Menurutmu bagaimana?” tanya Bagas. Windy tertegun. Otaknya cukup cerdas untuk mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bagas. Dan dia juga cukup perasa. Karenanya dia tahu ke mana gerangan arah pembicaraan Bagas.                   Ingin benar dia berkata, “Maksudmu? Kamu itu mau nunjuk tepat ke hidungku, dan mau mengatakan aku ini baru kenal sudah mau tahu segala hal tentang kamu? Eh! Itu beda konteks, ya! Kamu kan sudah tahu apa alasannya.”                 Untung saja ia mengurungkannya.                 Baginya, momen yang tengah ia lalui ini terlalu indah. Dan mereka juga tak lama lagi akan tiba di area tempat tinggalnya. Haruskah dia membiarkan sisa waktu kebersamaan ini menjadi sia-sia dengan meributkan hal yang tak penting macam itu?                   Maka Windy mengucapkan hal yang bertentangan dengan hati nuraninya, “Hmmm..., ada benarnya. Membiarkan beberapa sisi dari Orang yang kita sayangi tetap menjadi misteri memang membuat kita ingin selalu memahami tentang dia. Dan menurutku, itu seru.”                 “Cewek cerdas,” puji Bagas.                 Ya, itu benar Bagas.  Aku memang cerdas. Itu memang maumu, kan? Oke, aku jawab tantanganmu. Aku akan berusaha menahan diri. Aku akan mengimbangimu. Dan aku merasa aku mampu. Aku hanya harus lebih sabar dalam menghadapimu. Itu saja. Aku juga yakin kok, bahwa hubungan kita akan berhasil, kata Windy dalam hati.                 “Bahkan dari n****+ pula, terkadang aku itu menarik kesimpulan bahwa..., nggak ada manfaatnya untuk menakutkan apa-apa yang belum terjadi. Justru yang terpenting adalah, meresapi dan menikmati tiap momen. Eh, aku terdengar seperti Seseorang yang bicara tentang teori tanpa praktek, ya Win? Sebenarnyalah, aku sedang berusaha untuk menerapkan itu dalam hidupku. Dan itu tentu saja butuh waktu. Begitu juga halnya dengan hubungan kita. Aku sedang berusaha untuk tidak takut bahwa kamu akan meninggalkan aku suatu saat kelak, ketika kamu tahu sisi burukku. Aku lebih memacu diriku untuk berusaha menyenangkan kamu, dan menikmati setiap kejap kebersamaan kita. Aku nggak mau mengkhawatirkan apa-apa dulu,” papar Bagas.                 Windy terkesiap.                 Begitu banyak kata yang hendak ia lontarkan saat ini, namun semuanya bagai menyangkut di tenggorokan. Tidak terkatakan. *                                                                                                                        $ $  LUCY LIESTIYO  $ $ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD