Episode : Aura Romantis Yang Dirasa Kurang Sempurna (5)
“Silakan,” kata Pegawai Bagas dengan ramah, didukung dengan gesturnya.
Kini yang tertinggal hanya salah satu dari Pegawai Bagas saja, sebab yang satunya telah memohon diri dengan bahasa tubuh yang amat sopan.
Windy menganggukinya.
“Seadanya ya, Win,” kata Bagas. Seperti biasanya, nadanya merendah. Windy merasa tak perlu menyahutinya.
Aroma makanan yang tersedia benar-benar menerbitkan selera makannya. Semuanya khas menu makanan Indonesia. Ada nasi putih yang terlihat mash mengepulkan asap. Ada sayur asem dengan aroma sedapnya. Ada berbagai sambal serta lalapan. Belum lagi segala macam goreng-gorengan, dari ayam goreng, ikan goreng, tahu goreng, tempe goreng serta empal yang tampak lezat. Ada pula pilihan sayur lain yaitu sop ayam dengan potongan daging sapi. Masih ada lagi beberapa menu lainnya yang tersedia. Tak heran mengapa harus sampai dua Orang yang membawa hidangannya tadi.
“Wuah..., ini seperti mau makan sekeluarga. Menunya banyak, ya,” komentar Windy.
“Supaya kamu bisa memilih,” timpal Bagas.
Windy tertawa kecil.
“Harap maklum kalau rasanya masih ada yang kurang ya. Ini mereka masak sendiri soalnya. Bukan makanan yagn dipesan dari restaurant. Mereka sudah terbiasa memasakkan hidangan buatku kalau aku berkunjung kemari,” jelas Bagas kemudian.
“Ah! Kamu suka banget merendah sih. Itu kalau dari tampilan dan aromanya, sudah pasti bisa menggagalkan program diet Siapa saja,” ucap Windy.
“Ha ha ha. Kamu paling bisa. Murah pujian banget ya. Nah, duduk Win,” suruh Bagas.
Begitu Windy dan Bagas sudah duduk, Pegawai Bagas yang masih ada di gazebo segera mendekati mereka. Seperti telah hafal akan kewajibannya, dia mengangsurkan terlebih dahulu wadah air untuk mencuci tangan, yang juga berisi sepotong jeruk nipis serta handuk kecil untuk mengeringkan tangan mereka. Selanjutnya, tanpa bertanya lagi dia menyendokkan nasi serta lauk-pauk ke piring Bagas. Tindakannya itu macam Orang yang telah hafal kesukaan Bagas saja.
Windy mengamatinya dalam diam.
Padahal tadi aku yang mau menyendokkan makanan ke piringnya Bagas. Tapi ya sudahlah. Mungkin di sini memang aturannya begitu, batin Windy.
“Terima kasih Fira,” ucap Bagas, yang diangguki dengan sopan oleh Fira.
Pegawa yang dipanggil Fira itu kemudian melakukan hal yang sama ke piring Windy, menyendokkan nasi. Lantas dia bertanya Windy mau makan pakai apa. Windy agak terkejut dengan perlakuan Fira, tapi ia memilih menerima saja. Ia menunjuk-nunjuk menu yang dia suka dan membiarkan Fira menghidangkan baginya.
Apa sih! Seperti makan di warteg saja, harus dilayani segala. Nah, yang model begini sebenarnya yang suka si Nenek Yeslin nih! Duh! Aku kok baru keingat sama dia! Jadi kepengen telepon dia deh, pikir Windy lalu refleks merogoh saku celananya.
Namun Bagas rupanya mengamatinya. Dan entah mengapa, walau Bagas takmengatakan apa-apa, gerakan Windy langsung surut. Ia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Yeslin atau sekadar mengirimkan pesan dan memotret menu makanan yang tersedia lalu mengirimkan kepada Yeslin dengan memberi judul : Makan siang di gazebo dengan santapan menu rumahan yang super romantis, sembari memandang keindahan danau buatan di depan mata.
Sekejap saja niat Windy menguap. Hanya karena tatap matanya tertaut dengan tatap mata Bagas. Bahkan Bagas belum menegurnya sama sekali baik lewat pandangan mata yang kuang ramah apalagi kata-kata.
“Memang nggak sopan sih, pegang telepon saat makan. Sorry, tadi itu aku cuma mau mengecek, ada pesan masuk atau tidak. Ada panggilan telepon nggak terjawab atau enggak,” tanpa diminta, Windy menerangkan.
Bagas diam saja.
Windy jadi merasa bersalah.
Gini amat sih. Kaku. Ya oke, aku salah. Tapi apa dia nggak tahu? Aku tuh sampai bela-belain ngeset telepon genggamku ke mode silent buat memastikan waktu berkualitasku sama dia nggak terganggu. Hm..., sabar, sabar Windy. Mau dapatin yang bagus ya memang harus ada pengorbanannya, kata Windy dalam hati, demi menyemangati dirinya sendiri.
“Yuk, langsung dimakan. Nanti keburu dingin jadi terasa kurang nikmat hidangannya,” ucap Bagas ringan, seolah barusan tidak ada ‘setitik nila’ yang membuat Windy tak enak hati.
Jauh dari harapan Windy yang berangan-angan mereka akan menikmati santapan yang terhidang dengan saling bercakap-cakap, sesekali bercanda, atau saling menawarkan makanan satu sama lain, yang terjadi bukan itu. Mereka berdua menikmati makan dalam diam.
Windy jadi terpancing untuk membandingkan suasana ini dengan momen makan malamnya di sebuah kafe yang berlokasi tak jauh dari toko bunga All Ocassion.
Situasinya sedikit berbeda dengan yang pernah dialami olehnya saat itu. Keadaan kafe yang lumayan ramai, memungkinkan mereka berdua untuk sesekali mengobrol walau hanya sebatas mengomentari cita rasa hidangan serta aura kafe. Pun begitu, Windy ingat, dia amat menikmati momen yang berlangsung, kala itu.
Tetapi di kebun ini, dia merasakan ada jarak yang membentang di antara mereka. Jarak yang aneh. Jarak yang membatasi keakraban dirinya dengan Bagas.
Nggak begini nih suasana makan siang yang aku harapkan. Saling diam begini. Seperti makan di kuburan. Eits, maksudku, seperti Pasangan yang lagi ada konflik dan adu bisu. Jauh dari romantis. Padahal tempatnya sudah lumayan mendukung juga, sesal Windy dalam hatinya.
Dan lantaran dia merasa kurang nyaman, sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya dia mencari tahu, apa yang bisa dikambing hitamkannya atas ‘kurang sempurnanya’ momen kebersamaannya dengan Bagas ini.
Cukup sebentar mata Gadis itu mengerling, ia sudah langsung mendapatkan jawabannya. Ya, Pegawai yang bernama Fira itu. Dia masih saja berdiri, walau sedikit di luar gazebo. Ya, Fira belum beranjak dari sana. Sikap tubuhnya seperti sikap seorang Pelayan yang bersiap untuk disuruh-suruh oleh mereka berdua.
Nyaris Windy menggelengkan kepala dengan gemas.
Ya ampun. Please, deh! Harus banget, ya, makan pakai ditungguin begitu? kan kalau mau tambah apa-apa juga bisa aku lakukan sendiri? Fix! Keberadaan dia di dekat kami yang membuat Bagas ekstra menjaga sikap, kelihatannya. Hm. Sabar, sabar, Windy. Masih ada momen berikutnya, kan? Setelah makan, kan bisa jalan-jalan berdua dan memutari danau. Alasannya, sambil menunggu supaya makanan turun. Iya, kan? terus nanti dalam perjalanan pulang juga masih ada kesempatan kok. Ya, santai saja, Windy, bisik hati Windy. Lagi-lagi hendak menghibur dirinya sendiri.
Malangnya, baru sekitar sepuluh menit seusai makan dan dirinya tengah berdiri di tepian danau buatan, harapan Windy kembali terenggut kenyataan.
“Kita istirahat sebentar ya. Nanti sekitar tiga puluh menit lagi, kita siap-siap untuk kembali ke Jakarta. Tadi aku dapat kabar, pertemuannya dimajukan. Nggak apa kan Win?” Suara Bagas terdengar, membuayarkan keasyikkan Windy.
Windy berusaha menelan kecewanya. Mana dia tahu mereka malahan harus pulang lebih cepat dari perkiraannya? Sekarang saja belum baru jam setengah satu siang!
Windy langsung memutar otak dan mencari ide, harus ia habiskan di mana waktunya dari siang hingga menjelang malam nanti? Yang jelas, dia tidak ingin langsung pulang ke rumah. Jika ia mengunjungi Mal, ia tahu pasti itu tidak aman untuk suasana hatinya yang sedang kurang baik. Sejumlah besar rupiah dipastikannya akan keluar dari koceknya demi pembenaran ‘menghibur hati, menghibur diri sendiri’. Namun bila dia menghubungi Yeslin, belum tentu Yeslin tidak sedang liputan. Andaipun Yeslin sedang bisa ditemuinya, begitu dia berkisah tentang ‘nasib sialnya’ serta perilaku Bagas yang kurang sreg untuknya, dia takut justru akan menjadi bumerang. Kepalanya jadi pusing sendiri memikirkannya.
Nanti saja aku pikirkan sewaktu sudah dekat dengan toko bunganya Bagas. Malahan kalau sampai terpaksa, pulang dengan cara menyelinap diam-diam deh, kata Windy dalam hati, pada akhirnya.
Ia memalingkan wajahnya.
“Nggak apa, Bagas,” ucap Windy.
Sejatinya saat ini dia tengah menghibur hatinya, dan di dalam diamnya ia menanamkan sebuah afirmasi ke kepalanya, “Sabar. Sebuah hubungan kan memang perlu saling pengertian. Nggak masalah, kan? Ini kan baru awal. Apa boleh buat, aku akui bahwa aku yang jatuh cinta duluan sama dia. Otomatis aku yang harus banyak mengalah dan mengikuti iramanya. Tapi nanti pelan-pelan, begitu cinta mulai tumbuh kuat di hati dia, aku yakin dia mau melakukan apa saja buatku. Aku yakin dia bakal mau memenuhi permintaanku.”
Menyadari raut wajah Windy yang berubah, Bagas menyentuh pundak Windy dan mengelusnya perlahan.
“Hei! Kamu jangan sedih begitu dong Win. Aku jadi merasa nggak enak hati. Nanti lain kali, kalau ada kesempatan lagi, dan kalau waktunya pas, kita bisa kunjungi lagi kok, kebun ini. Atau kebun milikku yang di Parung. Aku minta maaf, ya. Kadang-kadang jadwalku itu harus mengalami perubahan di menit terakhir. Yaa..., namanya juga Pengusaha kecil. Kalau mau bertemu mitra, vendor atau relasi, aku yang harus lebih banyak menyesuaikan dengan jadwal yang mereka miliki. Harap maklum, ya,” kata Bagas lembut.
Hati Windy tersentuh.
“Ih, kamu tuh, low profile banget,” ucap Windy pelan.
“Nggak apa kok. Tapi sungguhan. Lain kali kamu mau mengajakku kemari lagi? Atau melihat kebun yang di Parung?” tanya Windy setelahnya.
Barangkali karena merasa bersalah, Bagas segera mengangguk singkat.
“He eh. Nanti kita atur-atur waktu yang cocok ya, buat kamu dan buat aku. Aku nggak mau mengecewakan kamu, Win. Karenanya aku tuh nggak mau janji-janji sebenarnya. Tapi nggak tahu deh, sewaktu di pertemuan pertama, aku kelepasan bicara. Aku jadi menyesal karena belum bisa memenuhinya,” kata Bagas lirih.
Melihat bagas sungguh-sungguh mengucapkannya, hati Windy tergelitik. Seketika semua rasa tak nyamannya yang semenjak tadi menggoda, tereliminasi. Sikap Bagas serta keadaan yang kurang berpihak menjadi termaafkan olehnya.
“Eh. Sudah Bagas. Nggak usah disebut-sebut lagi soal itu. Jangan anggap itu sebagai sebuah janji. Anggap saja itu ucapan yang spontan. Nanti saja suatu saat deh kita bicara soal itu. Tapi aku berterima kasih karena kamu ajak berkunjung kemari. Aku senang sama tempat ini,” kata Windy.
Mendadak Bagas menangkup kedua pipi Windy.
Gerakan yang begitu cepat dan tak terhindarkan oleh Windy, namun sekaligus lembut dan melenakan Gadis itu.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $