Episode : Pernikahan Fabian dan Shania (2)
Hubungan pernikahan antara pak Handara dengan Bu Fatin, mendadak tidak jelas kelanjutannya. Masyarakat setempat hanya tahu bahwa delapan tahun silam, tepatnya sewaktu Farah baru berusia tujuh tahun sementara Fina berumur lima tahun, tiba-tiba Bu Fatin menghilang begitu saja. Farah dan Fina pun lantas diasuh oleh ibu kandung Fabian. Sekali lagi, warga desa Watu Dasa merasa kagum karena Bu Endah tampak memperlakukan dua Putri sambungnya dengan dengan baik, layaknya kepada putri kandung yang terlahir dari rahimnya saja. Dan mau tak mau, hal itu seolah membekap mulut usil mereka yang semula masih bergosip di belakang keluarga Pak Handara. Sikap baik Bu Endah bagaikan pengalih perhatian yang sempurna.
Padahal, tidak ada satu orang jua yang tahu kemana perginya Bu Fatin yang semenjak dinikahi oleh Pak Handara, tinggal di bawah satu atap dengan Bu Endah dan Pak Handara. Tidak ada satu penduduk desa pun yang berani menanyakannya secara verbal.
Bahkan ketika perangkat desa berganti dan setengah menyelidik dan bertanya tentang kepergian Bu Fatin yang misterius itu, tidak ada jawaban pasti dari keluarga pak Handara. Kecurigaan akan kemungkinan bahwa Bu Fatin dicelakai juga berguguran. Tidak ada bukti yang mengarah ke sana, dari waktu ke waktu.
Keluarga Pak Handara serta segenap pekerja yang ada di rumahnya, satu suara menjelaskan faktor penyebab hengkangnya Bu Fatin dari rumah tersebut. Mereka mengatakan bahwa Bu Fatin bertengkar hebat dengan Bu Endah, menuntut agar dirinya menjadi Istri satu-satunya dari Pak Handara. Ya, dia meminta agar Pak Handara menceraikan Bu Endah.
“Memang seperti itu, Pak, kejadiannya. Bu Fatin itu benar-benar keterlaluan. Dan sepertinya itu bukan pertama kalinya dia menuntut untuk dijadikan satu-satunya Ratu rumah tangga di sini. Padahal Bu Endah itu kurang baik apa sama dia? Terus malam itu, dikarenakan Pak Handara menolak tegas dan mengatakan seharusnya Bu Fatin tahu diri dan menyadari bahwa dirinya hanyalah Istri kedua yang juga menerima kehadirannya dengan baik, Bu Fatin mengamuk hebat. Dia mengancam akan menghancurkan keluarga Pak Handara dan Bu Endah. Katanya, tinggal tunggu waktu. Ngeri sekali,” Ucapan para Pekerja di rumah Pak Handara ini sempat mampir ke telinga Fabian dulu. Dan Fabian juga mendengar dari para Pekerja di rumahnya, bahwa malam itu Bu Fatin merusak barang-barang dan terus berteriak bahwa dia akan membalas perlakuan Pak Handara.
Setahu Fabian, esok paginya para Pekerja dikejutkan oleh kabar bahwa Bu Fatin nekad pergi tanpa pesan dan tidak pernah kembali lagi. Salah satu Pekerja di rumah pak Handara bahkan menjelaskan bahwa Pak Handara pernah berusaha menghubungi Orang tua Bu Fatin, tetapi mereka mengatakan bahwa Bu Fatin tidak pernah kembali ke rumah mereka.
Dan seiring bergulirnya waktu, toh lama kelamaan penduduk desa enggan membahas atau menyinggung lagi. Itu persis seperti yang dilakukan para Pekerja di rumah Pak Handara, yang juga memilih untuk melupakan sosok Bu Fatin beserta kabar tentang pertengkaran sengit pada malam sebelum kepergiannya. Semua orang seperti kompak untuk tutut mulut pada siapa pun juga yang menanyai mereka.
Fabian menggelengkan kepalanya mengenang kisah keluarganya itu. Dan sejujurnya, dia tak ingin tahu lebih banyak lagi bagian-bagian kelam itu.
“Saya bantu Mas,” sambutan Mang Didu membuyarkan sisa-sisa lamunan Fabian, sekaligus menyadarkan dirinya telah tiba di pinggir jalan besar.
“Mari Pak, Bu,” Fabian mempersilakan Pak Zacky dan Bu Asnah, Orang tua dari Shania untuk naik ke mobil.
Mang Didu telah membukakan pintu mobil van bagi mereka, dan segera membantu menaikkan barang-barang bawaan mereka yang terbilang lumayan berlebihan dibandingkan dengan jumlah orangnya, ke dalam bagasi.
“Dari sini kita jemput Kakak-kakak saya ya, Pak?” tanya Rahadi kepada Mang Didu, selagi menaikkan kopernya.
“Kakak-kakak yang mana ya Mas?” tanya Mang Didu hendak memastikan.
“Maksud saya, Kakak-kakak dari Shania,” Rahadi buru-buru meralat kalimat tanyanya supaya tidak membingungkan Mang Didu.
Mang Didu menaggut-manggut lalu menjawab, “Lho, enggak. Setahu saya, Mas Fabian sudah menyewakan sebuah bus buat keluarga Kakak dari Istrinya, sama para Kerabat.”
Selagi memerhatikan Pak Zacky menuntun Bu Asnah, Sang Istri untuk memasuki mobil, Rahadi tampak agak kecewa dengan jawaban Mang Didu.
“Kenapa Mas?” tanya Mang Didu yang terusik dengan perubahan ekspresi wajah Rahadi.
“Kirain kami semua satu mobil. Ini kan mobilnya besar, Pak,” kata Rahadi lirih. Tersirat nada protes pada suara yang sengaja ditekannya agar tak terdengar hingga ke telinga Fabian.
Mang Didu tersenyum dan menepuk lembut pundak Rahadi.
“Kata Mas Fabian, selain supaya nggak tunggu-tungguan, juga supaya nyaman. Keluarga dari dua Kakaknya Mbak siapa namanya? Oh, ya, Mbak Shania maksudnya. Ya, katanya masing-masing juga mempunyai tiga anak, ya. Jadi mungkin biar nyaman kalau berada di bus. Kan bawaannya juga pasti banyak,” terang Mang Didu.
“Masa iya nggak muat di sini? Desak-desakan nggak apa padahal, namanya juga keluarga. Ini kan jadi mubazir, gede gini mobilnya,” gerutu Rahadi pelan.
“Tenang Mas, Mas Fabian itu pasti sudah memikirkan semuanya dengan cermat. Mungkin termasuk, kalau Masnya mau tidur-tiduran di jok belakang, jadi bisa leluasa,” ucap Mang Didu.
Rahadi hanya mengedikkan bahu. Ia masih merasa tak puas sebetulnya, tapi tak ingin sampai Fabian mengetahui gerutuannya.
Berbanding terbalik dengan sikap Rahadi yang berani menyuarakan protesnya meski di belakang Fabian, Pak Zacky maupun Bu Asnah diam seribu bahasa. Mereka menurut saja kala Fabian mempersilakan mereka duduk. Semua berlangsung dalam diam.
Tampaknya, baik Pak Zacky maupun bu Asnah, sudah cukup lelah memperdebatkan mengenai tempat berlangsungnya pesta pernikahan dan apakah pantas keluarga mereka ‘diperlakukan’ seperti ini?
“Aku kecewa sama sikap Fabian. Shania itu Putri bungsu kita, kesayangannya kita. Semestinya dipestakan di sini, kalau perlu pakai acara ngunduh mantu, Pak. Bapak kurang gigih meminta hal itu kepada Fabian,” keluhan sang Istri pada hari-hari kemarin mendadak terngiang lagi di telinga Pak Zacky.
Lelaki yang telah berusia lebih dari setengah abad itu mendengkus pelan lantaran merasa tidak berdaya untuk memperjuangkan kemauan Sang Istri di depan seseorang yang kala itu masih menjadi sekadar Calon Menantu baginya. Dia sangat paham bagaimana perasaan Istrinya. Dia tahu, Istrinya pasti ingin membungkam mulut para Tetangga yang kerap membicarakan keburukan keluarga mereka bahkan memberikan cap ‘banyak gaya tapi kantungnya merana’.
Tetapi melihat keteguhan Shania dan Fabian mempertahankan serta memperjuangkan hubungan cinta yang dijalin, kesopanan, perhatian, serta tanggung jawab Fabian yang terbilang besar terhadap keluarga mereka selama ini, akhirnya toh Pak Zacky berusaha berdamai dengan keadaan. Dia sampi pada satu titik di mana dirinya memilih untuk menuruti dan menerima saja, fakta bahwa dirinya kalah pengaruh dengan pak Handara.
Pak Zacky mempunyai pertimbangan yang paling utama. Yakni, betapa dia telah melihat kesungguhan Fabian yang rela membayarkan hutang-hutang keluarganya kepada para rentenir, bahkan sebelum Fabian mendapatkan restu untuk menikahi Shania. Ya, Shania yang karena kemolekannya dijadikan semacam ‘asset berharga’ oleh Istrinya yang tahu benar, banyak Pemuda selain Fabian yang menaruh hati pada Shania. Itu membuat Sang Istri terdorong memberikan semacam penawaran kepada para peminat, demi mendapatkan yang paling berkualitas di matanya. Tentu saja, semua lebih mengarah ke urusan harta duniawi.
Tapi Shania tak bergeming saat ‘Calon’ lain yang dinilai Sang Ibu mempunyai kualitas lebih baik secara materi dan masa depan, di banding Fabian. Shania seperti telah terpaku pada satu cinta, cintanya Fabian!
Pak Zacky menggelengkan kepalanya.
Sudahlah. Toh Fabian juga baik orangnya. Dan berkat Fabian pula, keluargaku nggak kehilangan rumah tinggal sampai saat ini. Aku juga ngak akan lupa, dia juga yang sudah memberikan pekerjaan yang baik buat kakak-kakaknya Shania, di perusahaan milik kenalannya. Menurutku, dia bisa membahagiakan Putriku itu. Aku juga melihat Sosoknya sebagai pekerja keras yang akan mengutamakan keluarga, nantinya, bisik hati Pak Zacky.
*
Senja sudah turun ketika rombongan Fabian memasuki desa Watu Dasa. Semburat kemerahan di langit yang terlihat begitu indah, membuat Shania melupakan rasa lelah yang menggayut di tubuhnya akibat duduk berjam-jam di dalam kendaraan.
Sewaktu melihat sebuah danau sejarak beberapa ratus meter di depan sana, Shania mengungkapkan keinginannya untuk singgah sesaat. Dia tidak berani mengungkapkan kepada Fabian, bahwa seolah danau itu memanggilnya untuk mendekat, bak seorang kekasih yang telah lama menanti dalam kerinduan. Dan seakan-akan kedatangannya memang telah ditunggu.
“Kak Fabian, kita singgah sebentar di danau yang terlihat itu, ya? Boleh kan?” pinta Shania hati-hati.
Fabian kontan mengerutkan kening. Keraguan menyergapnya.
Entah mengapa, sebuah firasat buruk melintas di benaknya. Membawa ingatannya ke masa lalu. Masa kecilnya. ^ * Lucy Liestiyo * ^