Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (5)
“Duh, Windy Sayang, mana mungkin aku ngetawain kamu sih? Enggak, dong, nggak akan,” ucap Bagas lembut.
Kemudian, Bagas mempererat genggaman tangannya pada tangan Windy dan kembali mengecup tangan itu.
Windy meresapinya di dalam diam. Meresapi perasaan indah yang melingkupinya, seolah dengan begitu, ia dapat menahannya di sana selama mungkin.
Tepat pada saat itu, seorang Waitress datang membawakan pesanan mereka berdua. Saking mesranya perlakuan dan tatap mata Bagas kepada Windy, sampai-sampai Sang Waitress yang menghampiri meja mereka agak rikuh dan memperlihatkan gelagat akan mempercepat menaruh pesanan mereka di meja agar dapat segera berlalu supaya tak perlu menyaksikan lebih lama lagi dua Sejoli yang tengah kasmaaran itu. Sepertinya Waitress tersebut juga paham, sebagaimana Pasangan yang sedang dimabuk cinta lainnya, tentu saja bagas dan Windy tidak butuh kehadiran Orang lain di dekat mereka.
Windy menyadari tatapan rikuh dari Sang Waitress yang mengenakan celemek berwarna biru muda itu.
Dengan selembut mungkin agar Bagas tak salah pengertian, Windy menarik tangannya, semata agar Sang Waitress dapat melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin dan dengan perasaan yang nyaman.
Bagas hanya mesem kecil mencermati bahasa tubuh Windy.
“Apa kubilang juga? Hati kamu tuh benar-benar baik, Windy Sayang. Kamu selalu peduli pada Orang lain,” puji Bagas lirih.
“Silakan, Pak, Bu,” ucap Sang Waitress setelah memastikan semua pesanan Windy dan Bagas telah diantarkan ke meja mereka.
“Terima kasih ya Mbak,” kata Windy, yang bersambut anggukan santun Sang Waitress.
“Jika ada yang hendak dipesan lagi atau ada yang kurang, Bapak dan Ibu silakan hubungi saya, Hesti,” kata Sang Waitress sembari menunjuk pin berwarna emas bertuliskan namanya yang tersemat di d**a dirinya. Begitu ramah dan tetap sopan.
“Oke,” kata Windy tak kalah ramah.
Sementara Bagas, hanya mengacungkan ibu jarinya saja.
“Langsung dimakan yuk Sayang. Steak Wagnyu itu favoritnya Para pengunjung kafetaria ini, setahuku,” kata Bagas, selepas kepergian Sang Waitress dari area meja mereka.
Windy mengangguk-angguk.
“Oh ya? Tapi dari aromanya saja memang sudah menggoda sih,” sahut Windy.
Namun Gadis itu menyempatkan menyedot dulu Lime Juice yang ia pesan.
“Aku sempat baca ulasan tentang kafetaria ini. Orang bilang, semua jenis steak di kafetaria ini memang enak,” kata Windy kemudian.
“Begitu ya? Kamu rajin juga baca-baca ulasan soal makanan rupanya,” komentar Bagas sembari mulai memotong daging steak di piringnya.
“Kadang-kadang, kalau lagi sempat. Soalnya kerjaanku di kantor enggak tentu. Kadang sibuk sekali. Kadang biasa saja. Nggak jarang juga kelewat santai. Namanya juga ngurusin yang umum-umum,” kata Windy.
“Ngerti, ngerti. Namanya juga General Affair ya,” sahut Bagas.
Mereka berdua segera menikmati menu yang terhidang.
Sesekali Windy memberikan komentar atas cita rasa makanan tersebut. Mereka juga menyelingi dengan pembicaraan ringan lainnya. Malahan ada saat ketika saling menyinggung juga beberapa kejadian lucu yang merkea alami beberapa hari sebelumnya.
Dan di saat mereka baru saja merampungkan acara makan mereka, mendadak Bagas kembali bertanya.
“Windy Sayang, kamu tahu nggak kenapa tadi aku tanya bunga favoritmu?”
Hati Windy sungguh tergelitik.
Ya elah, itu lagi! Nggak penting banget pertanyaannya! Kata Windy di dalam hatinya.
Ia menyempatkan melap bibirnya dengan tisu basah sebelum menyahuti Cowok itu.
“Memangnya kenapa? Kamu mau kasih aku buket bunga lagi? He he he..., boleh dong aku gede rasa,” timpal Windy dengan mimik muka lucu.
Bagas sampai merasa gemas dibuatnya. Tangan Cowok itu terulur dan mencubit pelan pipi Windy.
“Penting dong Sayang. Masa aku sampai nggak tahu bunga favoritmu? Atau, bagaimana kalau aku yang pilihkan saja buatmu?” tanya Bagas lagi.
“Hm. Kamu belum jawab pertanyaanku lho, Bagas Sayang,” sela Windy.
“Pertanyaan apa?” Bagas balik melemparkan pertanyaan kepada Windy.
“Alasan kamu menanyakan soal bunga kesukaanku. Terus malahan kamu mau pilihkan buatku,” timpal Windy.
Bagas mengusap dagunya dengan dua jari sebelum menjawab.
Tak sadar, pandangan mata Windy jadi tertuju pada dagu Bagas. Dagu yang tampak kehijauan bak baru bercukur. Ia semakin terkagum pada penampilan fisik Cowok ini. Di matanya, Bagas memang selalu tampak klimis meski tidak berlebihan. Pokoknya pas. Sedap dipandang mata.
Bagas tampak mencermati cara Windy menatapnya.
Hatinya bersorak.
Kena kamu! Kena! Kata Bagas dalam hati.
Bagas berdeham kecil.
Windy terkejut karena merasa dipergoki tengah mengagumi paras Bagas. Ia buru-buru menoleh ke arah lain untuk mengalihkan rasa gugupnya.
“Hei...! Nggak usah grogi begitu dong. Masa cuma pandang-pandangan sama Pacar sendiri, kamu jadi grogi? Kalau kamu lagi sama-sama aku terus menatap kagum ke Cowok lain, nah itu baru masalah,” olok Bagas pelan.
“Ih apa sih,” keluh Windy.
Parasnya memerah bagai baru mengenakan blush on.
Bagas tertawa.
“Windy Sayang...,” panggil Bagas melodius setelah tawanya mereda.
Windy tersenyum kecil dan menyahut, “Apa sih?”
“Jadi begini lho Sayang. Suatu saat, kalau waktunya sudah pas untuk mengajakmu mengunjungi kebun bungaku yang ada di Puncak, bunga kesukaanmu sudah siap untuk menyambut kedatanganmu. Sesederhana itu, ya? Tapi memang, aku belum bisa menentukan waktunya,” ungkap Bagas kemudian.
Mata Windy langsung membulat mendengarnya.
“Oh, ya?” tanyanya.
Bagas mengiakan.
Windy merasa tersanjung.
“Eng... begini saja, Bagas. Kalau begitu, yang gampang saja deh. Aku suka mawar yang warna pink,” celetuk Windy kemudian. Sifatnya asal saja.
Pertimbangan Windy sangat remeh.
Dia tak mau merepotkan Sang Pacar. Apalagi Pacara yang seromantis ini. Pantanglah, baginya! Untuk bunga mawar yang berwarna pink kan, berdasarkan perkiraannya, pasti amat mudah ditemukan, dan tentunya ada di kebun Bagas sepanjang waktu. Ia sendiri juga sering melihat jenis bunga yang satu itu di mana-mana kok.
Yang terpenting baginya, suatu saat nanti dia akan diajak menengok kebun itu, kan? Bukan soal bunganya. Dia ingin melihat secara langsung kebun itu, yang diyakininya pasti jauh lebih asri dari kebun Bagas yang berada di pinggiran Jakarta maupun yang di Bogor, yang sudah pernah dikunjunginya bersama Bagas.
“Oh! Jenis bunga Mawar yang berwarna pink, ya Sayang? Wah, pilihan yang bagus itu. kalau sampai waktunya nanti, aku akan suruh orang aku untuk mempersiapkannya buatmu seorang. Jadi saat kamu ke sana nanti, akan disambut dengan mawar pink. Semoga kamu suka,” ucap Bagas serius.
Hm. So sweet banget ini Cowok, ucap Windy di dalam hati.
“Beneran itu?” seolah masih perlu meyakinkan apa yang barusan didengarnya, Windy melontarkan kalimat tanya ini dengan ata yang berbinar.
“Pasti dong,” janji Bagas. Suaranya penuh dengan kemantapan.
Tubuh Windy rasanya melayang mendengar janji Sang Pacar. Meski itu hanyalah janji yang remeh saja sifatnya.
*
Semestinya kenangan indah saja yang patut tersirat dari kebersamaan mereka.
Sayangnya, segalanya itu terusik, ketika Windy yang masih belum ingin berpisah secepat itu dengan Bagas seusai makan, masih meminta untuk diajak singgah ke toko bunga.
“Oh, oke. Tapi aku sambil kerja, nggak apa? Kalau kamu bosan atau merasa iseng setelah melihat-lihat tanaman dan kegiatan di toko, kamu nonton film atau apa deh, di ruanganku,” kata Bagas.
Windy berpikir sesaat. Sebetulnya dia agak keberatan.
Namun usai berpikir bahwa Sang Pacar adalah Pengusaha yang sibuk, akhirnya ia mengangguk setuju.
Maka mereka berdua menghabiskan waktu di ruangan kerja Bagas.
Bagas duduk di depan laptopnya, mengerjakan sesuatu. Sementara Windy yang sesekali mengintip apa yang Bagas lakukan, akhirnya merasa bosan dan memilih duduk di sofa.
“Sayang,” panggil Windy kemudian.
“Hm?” sahut Bagas dari tempatnya, tanpa mengalihkan pendangan matanyanya dari layar laptopnya.
Windy mengeluh di dalam hati.
Resiko punya Pacar yang menjalankan usahanya sendiri, terus hobby menulis pula. Jadi ya berasa di dicuekin begini. Padahal jadiannya juga baru. Mestinya kan lagi hangat-hangatnya. Apa jangan-jangan, dari dulu juga dia putus sama Para Mantannya ya gara-gara Para Mantannya kurang dianggap, sementara dia asyik sama kegiatannya sendiri? Pikir Windy.
“Kamu lagi ngerjain apa sih dari tadi? Kok nggak kelar-kelar?” tanya Windy, setengah merajuk.
“Ini. baru saja aku cek email. Sekadar melihat laporan yang disampaikan sama Orang Kebun. Kenapa, Sayang?” tanya Bagas.
Windy menggelengkan kepalanya.
“Oh. Kamu masih mengerjakan sendiri hal-hal macam itu?” tanya Windy.
Bagas mengangkat wajahnya, seperti terusik dengan pertanyaan Windy.
Ia menatap Windy dengan pandangan yang aneh.
“Kok kamu begitu tanyanya? Ya namanya juga ini usaha kecil. Banyak hal yang masih harus aku kerjakan sendiri. Ini kan juga supaya Ibuku nggak merasa sia-sia sudah mewariskan usaha ini kepadaku,” kata Bagas datar.
Windy terperangah, mendapati kesan bahwa Bagas tersinggung oleh pertanyaannya.
“Eh, bukan itu maksudku...,” ralat Windy cepat.
Gadis itu bangkit dan bermaksud untuk menghampiri Bagas.
Akan tetapi, dering telepon genggamnya membuat gerakannya surut.
Ia melirik sekejap ke layar telepon genggamnya dan tersenyum mendapati Siapa yang menghubunginya.
“Aku angkat dulu ya,” kata Windy.
Entah mengapa, Bagas tidak menyahut.
Itu sungguh membuat Windy disapa rasa tidak enak hati, walau ia tetap menerima juga panggilan telepon tersebut.
Dia tidak tahu saja, justru akibat panggilan telepon tersebut dia tak dapat menghindarkan adanya kesalah pahaman dengan Bagas beberapa menit setelahnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $