Tubuh Shakila masih mematung dengan suara wanita itu yang seolah terus berdengung dalam telinga. Suamiku … suamiku ….
Kedua kaki Shakila seolah kehilangan kekuatan menopang berat tubuhnya. Tubuhnya mendadak lemas terlebih saat pandang mata Arga telah tertuju padanya.
Mata pria itu melotot melihat Shakila berdiri di belakang sang istri. “Sha– Shakila?” Suaranya tercekat dengan keringat dingin yang mulai membasahi wajah. Keringat semakin membanjiri saat sang istri berjalan menghampiri.
“Sayang, ada yang mencarimu. Dia benar teman kerjamu?” tanya istri Arga yang tak menaruh curiga. Dirinya sangat mencintai Arga hingga percaya suaminya itu tak akan pernah bermain di belakangnya.
Arga yang tampak gugup meminta istrinya itu masuk ke dalam rumah. “Sa– sayang, masuk lah ke dalam dulu. Ada yang harus kubicarakan dengan wanita itu. Dia itu anak dari bosku.”
Istri Arga menoleh ke belakang pada Shakila yang terdiam bak patung. “Tapi … kenapa tidak ajak masuk saja?”
“Ka– kalau begitu kau buatkan dia minum biar aku mengajaknya bicara dulu.” Arga mendorong istrinya masuk ke dalam rumah kemudian segera menghampiri Shakila.
Istri Arga hanya menurut. Dengan tetap menggendong sang anak, dirinya menuju dapur untuk membuatkan Shakila minum.
“Sha– Shakila, a– apa yang kau lakukan di sini?”
Air mata telah menggenang di kedua mata Shakila. Ia yang sebelumnya menatap rumah Arga dengan tatapan kosong, kini menatap Arga dengan lelehan air mata mulai jatuh bercucuran. Wajah ayunya pun tampak menyedihkan seakan tertampar dengan kenyataan. “Jadi … ini yang selama ini kau sembunyikan dariku?”
“Shaki, tu– tunggu dulu, aku bisa jelaskan,” kata Arga dengan menggenggam tangan Shakila.
Shakila menarik tangannya dan menepis tangan Arga kasar. Tak dapat dikatakan dan diungkapkan seperti apa rasa kecewanya sekarang.
“Aku menentang orang tuaku hanya karena dirimu! Aku kabur dari rumah berniat menyerahkan hidupku di pundakmu, ingin menjadai istrimu walau orang tuaku tak merestui sekalipun! Tapi … tapi apa yang kulihat sekarang?! Apa yang aku dapatkan?! Dasar b******k! b******n! Dasar b******n sialan!” racau Shakila dengan berteriak dan memukul d**a bidang Arga dengan tangannya yang gemetar.
Arga mulai panik dan segera menyeret Shakila pergi dari sana sebelum orang lain melihat.
“Shaki, dengarkan aku! Dengarkan aku! Aku akan menjelaskannya! Aku akan menjelaskannya!” teriak Arga berharap Shakila berhenti meracau dan menangis setelah membawanya ke tempat cukup sepi. “Ya! Dia, dia adalah istriku. Aku minta maaf, kumohon maafkan aku.”
Pertahanan hati Shakila kian runtuh. Ia menatap Arga dengan tatapan kosong seakan apa yang Arga katakan berhasil menusuk ulu hatinya. Bukan hanya menusuk tapi juga menghancurkannya hingga menjadi abu.
“Kumohon, maafkan aku, maafkan aku ….” Arga berlutut meminta pengampunan Shakila. Ia mendongak menatap Shakila dengan rasa penyesalan yang tampak.
“Apa kau mencintaiku?” tanya Shakila dengan lirih. “Apa kau mencintaiku? Katakan dengan jujur jika tidak aku akan membawa ini ke polisi karena kau sudah menipuku!”
Mendengar kata polisi membuat Arga melebarkan mata. “Tentu saja, tentu saja aku mencintaimu, Sha.”
“Kalau begitu tinggalkan dia dan kita menikah!”
“A– apa?”
“Kenapa? Bukankah kau bilang mencintaiku? Kalau begitu tinggalkan dia dan hiduplah denganku!” jerit Shakila yang seolah telah kehilangan akal sehatnya.
Arga menatap Shakila nanar sampai tiba-tiba ia menunduk dan menggeleng ringan. Senyum kecutnya pun tercipta dan Shakila tak dapat melihatnya. “Bagaimana mungkin aku meninggalkannya?” gumamnya namun dapat Shakila dengar walau samar.
Shakila terhenyak dan menatap Arga penuh tanya.
Arga yang sebelumnya berlutut, perlahan bangkit berdiri dan menatap Shakila dengan tatapan angkuh dan tawa remeh. “Bagaimana mungkin aku meninggalkannya? Hah … tak kusangka aku harus jujur hari ini padamu. Kuberitahu sesuatu, aku sama sekali tak tertarik denganmu. Aku mendekatimu semata ingin menjadikanmu ladang uang untukku untuk membiayai anak dan istriku. Yah, kalau saja orang tuamu merestui kita, aku dengan senang hati akan menikahimu. Karena aku bisa memiliki uang dengan mudah, bekerja di kantor ayahmu dengan jabatan tinggi dan bisa bersenang-senang sebagai orang kaya. Tapi, orang tuamu membenciku, dan kau kabur dari rumah, jadi, mana mungkin aku sudi menikahimu? Yang ada kau hanya menjadi beban dan bergantung padaku.”
Dunia Shakila seakan runtuh jatuh ke jurang bersama reruntuhan hatinya yang menjadi debu. Seperti apapun dirinya mencari kebohongan lewat sorot mata Arga yang menatapnya, ia sama sekali tak menemukannya. Mungknkah ini bayaran dari keegoisannya dan keberaniannya menentang kedua orang tua? Mengabaikan nasehat kedua orang tuanya hanya demi laki-laki seperti Arga.
Air mata Shakila kian jatuh bercucuran terlebih saat Arga kembali mengucap kata yang kian membuat luka menganga dalam hatinya.
“Jadi sebaiknya kau pergi. Kecuali, jika orang tuamu merestui kita dan menjadikanku menantu emas. Mungkin aku masih bisa mempertimbangkannya.”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Arga setelah kalimat itu terucap. Dengan membawa rasa sakit dan kecewa, Shakila berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Arga. Semakin lama melihat wajah Arga semakin membuat rasa sakit menyebar ke seluruh hatinya. Shakila bersumpah tak akan memaafkan Arga bahkan jika saatnya tiba, akan ia buat Arga menyesal seumur hidupnya.
Sementara Arga hanya diam menatap punggung Shakila yang mulai jauh dari pandangan. “Tsk. Bank uang yang tak berguna memang sudah saatnya dibuang,” gumamnya. Dirinya sama sekali tak merasa bersalah setelah membuka kedoknya.
Satu minggu sejak kejadian itu Shakila masih mengurung diri di kamar rumah kontrakannya. Setelah kejadian menyesakkan itu Shakila memutuskan tak kembali ke rumah dan tetap dalam pelariannya. Menyewa sebuah kontrakan kecil dan telah menggunakan sebagian uangnya untuk membayar selama dua bulan ke depan. Saat ia kabur dirinya hanya membawa uang tabungan seadanya. Uangnya telah terkuras habis sejak dirinya menjalin kasih dengan Arga dan membuatnya merasa bodoh kenapa baru menyadarinya sekarang setelah Arga membuka semuanya.
“Hah ….” Shakila menghela nafas berat. “Penyesalan memang selalu datang terlambat,” ucapnya pelan dan membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang tertekuk. Matanya masih sembab namun kesedihannya berangsur berkurang dari hari-hari sebelumnya. Dirinya berusaha kuat tak ingin terus berlarut dalam kesedihan hanya karena pria b******k seperti Arga.
Kruuuk ….
Suara perut Shakila yang bernyanyi membuatnya mengangkat kepala. Tangannya mengusap perut dan baru menyadari perutnya belum terisi. Ia menoleh melihat jam dinding dan sudah waktunya jam makan siang. Dengan sedikit lemas ia bangun dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka lalu mencari makanan di luar. Dirinya berusaha berhemat, tak ingin tabungannya habis sebelum dirinya mendapat pekerjaan. Namun, Tuhan berkehendak lain seolah memberinya hukuman karena berani menentang kedua orang tuanya. Hampir satu bulan dalam pelarian, Shakila masih belum memiliki pekerjaan.
Shakila berjalan lesu dan menjatuhkan bokongnya kasar di tepi ranjang setelah melihat kalender. Sekarang dirinya sudah bisa melupakan pengkhianatan Arga karena lebih memikirkan caranya menyambung hidup sementara dirinya tak ingin pulang dulu. Sekarang ia menyesal telah kabur dari rumah tapi, nasi sudah terlanjur basi dan tak mungkin baginya kembali kecuali orang tuanya mencari. Kira-kira, apa kedua orang tuanya merindukannya? Apa mereka mencarinya? Tapi, jika itu benar harusnya kedua orang tuanya sudah menjemputnya bukan?
Kepalan tangan Shakila mengetuk dahi merutuki kebodohan. Tak ingin terus memikirkan kebodohannya dan membuatnya semakin menyesal, ia memilih memikirkan kehidupan yang harus dijalaninya sekarang. “Ayo, Shaki, pikirkan sesuatu. Kau juga harus memikirkan bayar kontrakanmu, makanmu, hidupmu!” ucapnya pada diri sendiri. Ia pun berpikir pekerjaan apa yang sekiranya membuatnya tak perlu memikirkan membayar kontrakan, makan dan sebagainya.
Sembari berpikir, Shakila membuka ponselnya dan mencari lowongan pekerjaan yang tidak membutuhkan ijazah dan dokumen lain karena ia tak membawanya. Sangat tidak mungkin ia pulang ke rumah sekedar mengambilnya, bukan? “Jadi, kira-kira pekerjaan apa yang tak membutuhkan pengalaman, ijazah, dan aku bisa tinggal dan makan gratis di sana?” gumamnya sembari menscroll layar. Satu-satunya pengalaman kerjanya hanyalah menjadi karyawan magang di perusahaan ayahnya sendiri.
Gerak ibu jari Shakila terhenti saat menemukan lowongan pekerjaan seperti yang ia cari. Tanpa menunggu ia segera mengirim DM dan tak berselang lama mendapat balasan di mana pemilik akun menyuruhnya datang ke sebuah alamat saat itu juga.
“Apa? Sekarang?” gumam Shakila yang mulai berpikir negatif. Tapi, pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan yang ia cari. Ia bisa tinggal dan makan gratis dan tak perlu dokumen penting sebagai syarat melamar. Karena pekerjaan itu adalah mengurus seorang bayi, menjadi babysitter seorang anak laki-laki.