Matahari bersinar cerah di langit biru, meski begitu tetap saja tidak mampu mencerahkan suasana hati Sissy yang sedang suram. Tangannya bergetar memegang alat tes kehamilan yang menunjukkan tanda dua garis merah. Ia berharap, apa yang dipandanginya sekarang hanyalah bualan mimpi yang membelenggu.
Sissy melempar alat tes kehamilan tersebut. Napasnya tercekat. Kakinya seakan tidak kuat lagi untuk tetap berdiri. Tubuhnya merosot terduduk lemas di lantai. Tangis yang sedari tadi ia tahan, akhirnya pecah juga.
"AAAARGH!"
Sissy menjerit frustasi sambil meremas kuat rambutnya. Lalu bagaimana sekarang? Sissy tidak bisa menjalani hidup dengan janin yang tumbuh setiap hari dalam perutnya. Dia tidak akan sanggup menerima cemoohan dari orang-orang karena hamil diluar pernikahan.
"Tuhaaan! Kenapa tidak kau cabut saja nyawaku ini, Tuhaaaan!"
Sissy menampar wajahnya sendiri. Tidak sampai berhenti di situ, ia memukul-mukul tubuhnya berusaha untuk bangun dari mimpi menyeramkan ini.
"Dek! Buka pintunya, Dek!"
Suara Sherina yang memanggil di luar pintu kamar mandi, semakin menampar Sissy kalau yang terjadi saat ini bukan mimpi.
"Biar Mas yang dobrak, Sayang." Aiden ikut bersuara.
Laki-laki itu mulai mengambil ancang-ancang lalu mendobrak pintu kamar mandi. Sampai didobrakan kedua, pintu berhasil Aiden buka.
Sherina tersentak kaget melihat kondisi Sissy yang kacau. Perempuan itu langsung berjongkok memeluk tubuh adiknya.
"Ya ampun, Dek! Kamu kenapa?"
Sissy membalas pelukan Sherina tak kalah erat. Tangisnya semakin pecah dalam dekapan sang kakak.
"Aku kotor, Mbak! Aku hina!"
Sherina tidak mengeluarkan suara apa-apa. Ia fokus menenangkan Sissy dengan memberi usapan di punggungnya.
Sementara itu, Aiden berjongkok mengambil salah satu dari tiga alat tes kehamilan yang tergeletak di lantai. Wajah kagetnya tidak bisa Aiden sembunyikan. Laki-laki itu menatap tak percaya pada adik iparnya yang menangis tersedu-sedu dalam dekapan Sherina.
***
"Siapa orangnya, Dek? Biar Mas yang cari dia dan bawa dia ke sini untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya."
Sissy menunduk sambil meremas tangannya. Matanya terlihat sembab karena tidak berhenti menangis.
Sherina mengusap-usap bahu Sissy. Ia juga ikut menangis meratapi nasib malang yang menimpa adik satu-satunya ini.
"Dek?"
Sissy mengangkat kepalanya menatap Aiden yang berdiri di depannya. Laki-laki itu terlihat marah. Aiden merasa kecolongan. Dia tidak mempunyai adik perempuan dan setelah menikah dengan Sherina, dia menganggap Sissy seperti adik kandungnya sendiri.
"Aku gak tahu, Mas," lirih Sissy menjawab dengan kebohongan.
"Jangan bohong, Dek. Bilang yang jujur sama Mas. Jangan takut. Ini demi kebaikan masa depan kamu."
"Masa depan aku udah hancur, Mas. Gak bisa diperbaiki lagi," jawab Sissy diiringi isak tangis pilu.
Sherina menarik bahu Sissy agar bersandar padanya. Rasanya tidak adil sekali. Kehamilan itu harusnya Sherina yang mendapatkan, bukan Sissy.
Aiden berjongkok dihadapan Sissy. Menghela napas lalu menghembuskan napas panjang. Ia menatap sendu wajah adik iparnya.
"Selama kita hidup, masa depan akan selalu ada, Dek. Satu kesalahan gak akan merusak semuanya. Kamu harus bisa memperjuangkan hak kamu dan juga janin yang gak berdosa ini."
"Janin?"
Suara berat seorang pria yang baru masuk ke dalam kamar, mengejutkan ketiga orang itu. Pandangan mereka kompak menoleh ke sumber suara.
"Papa?"
Sissy terpejam rapat. Sebentar lagi Tama akan mengetahui tentang kehamilan Sissy. Pria itu pasti akan menyalahkannya.
Ternyata Tama tidak datang sendirian, tapi juga bersama Bryan yang kini berdiri dibelakang pria itu. Habis sudah harga diri Sissy. Perlahan orang-orang akan mulai menghujatnya.
"Janin siapa yang sedang kalian bicarakan?" Tama menatap curiga pada putri bungsunya yang menangis. Kalaulah Sherina yang mengandung, suasananya pasti tidak akan seperti ini.
Aiden berjalan menghampiri Tama, lalu bersalaman dengan papa mertuanya tersebut.
"Kita bicarakan diluar ya, Pa," ajaknya sambil menyentuh lengan Tama.
Sebelum benar-benar pergi, pria itu menatap Sissy sejenak. Perasaan semakin tidak enak. Dia sudah menduga-duga tentang apa yang sedang dibicarakan anak dan menantunya tadi.
"Mbak minta sama kamu buat bicara yang jujur, Dek. Mbak mohon, tolong katakan siapa orang yang sudah melakukan ini sama kamu," bujuk Sherina memohon sambil mengusap air mata di pipi sang adik.
"Aku gak tahu siapa orangnya, Mbak. Malam itu aku mabuk. Aku gak sadar," jawab Sissy yang masih mempertahankan kebohongannya.
Sherina menautkan alisnya. "Mabuk?"
Sissy terisak. "Ini memang salah aku, Mbak. Aku yang bandel. Malam itu aku pergi ke klub sama temen-temen buat merayakan kelulusan kami. Aku minum banyak di sana, sampai akhirnya mabuk, lalu seseorang membawaku pergi dan dia melakukan itu sama aku, Mbak...."
"Astagfirullah, Dek...."
Sissy semakin mengencangkan tangisannya. Sherina terlihat kecewa mendengar penjelasan Sissy. Padahal perempuan itu selalu berpesan pada Sissy agar bisa menjaga diri.
Sissy menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Sherina. "Maaf, Mbak. Aku menyesal. Aku minta maaf...."
Seandainya Sissy mempunyai mesin waktu ajaib Doraemon, maka Sissy ingin dikembalikan ke masa lalu dan dia tidak akan pernah menginjakkan kaki ke klub malam. Sebab tempat itulah yang menjadi saksi penodaan Elkan kepadanya.
"Jujur Mbak kecewa karena kamu gak bisa menjaga diri kamu sendiri. Tapi Mbak juga gak berhak untuk menghakimi kamu. Sekarang semuanya sudah terlambat. Ada nyawa yang bergantung di dalam sini," ucap Sherina sambil menyentuh perut rata Sissy. "Dia gak berdosa, Dek. Dia wajib mendapat perlindungan dari kamu."
Sissy menitihkan air mata tanpa bisa berkata-kata.
"Kita jaga dia sama-sama ya. Tolong untuk menjadi kuat demi dia yang gak berdosa, bisa?"
***
Ingin tahu bagaimana reaksi Tama setelah mendengar kehamilan putri bungsunya dari Aiden? Pria itu luar biasa sangat marah. Kalau saja Aiden tidak pandai membujuk Tama agar tidak meluapkan amarahnya kepada Sissy, mungkin pagi itu sudah terjadi perang besar.
"Jadi Papa langsung balik ke Jakarta, Mas?"
Aiden mengangguk. Tama memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta, karena dia merasa tidak sanggup untuk tenang jika melihat Sissy.
"Terus cowok yang tadi datang sama Papa itu siapa?"
"Mas gak sempet kenalan. Tadi cuma ngomong berdua sama Papa tentang Sissy."
Sherina mengangguk. Tidak peduli banyak tentang siapa pemuda yang tadi datang bersama papanya.
"Mbak," panggil Sissy yang sudah siap untuk pergi ke dokter kandungan.
Berkat pengertian dan bujukan Sherina, akhirnya Sissy mau diajak untuk memeriksa kandungannya.
Sherina mengulas senyum. "Kita berangkat sekarang?"
Sissy menghela napas. Terlihat berat, tapi akhirnya dia mengangguk.
Aiden tidak bisa ikut menemani dua perempuan itu ke rumah sakit. Dia seorang dosen yang harus mengajar siang ini.
Sesampainya di rumah sakit, Sissy berjalan dengan jantung yang berdebar kencang. Ia takut dengan tanggapan dokter nanti kalau tahu ia hamil tanpa seorang suami.
"Mbak Sherina!"
Lamunan Sissy buyar saat mendengar suara tak asing itu. Benar saja, itu suara milik Elkan.
"Hai, El. Kamu lagi apa di sini? Kamu sakit?"
Elkan mengulas senyum sambil melirik Sissy. Perempuan itu segera memalingkan wajahnya.
"Oh, enggak kok. Mau nebus obat insomnia."
"Kamu insomnia?"
Elkan membalasnya dengan senyuman dan anggukan yang siapa saja akan mudah jatuh hati kepadanya.
"Mbak sendiri sama Sissy ngapain ke sini? Mau periksa, nebus obat, atau jengukin orang sakit?"
Tubuh Sissy menegang saat pertanyaan itu Elkan lontarkan. Jangan sampai Sherina mengatakan kalau dirinya sedang hamil dan akan memeriksa kandungannya.
"Periksa, El. Ke dokter kandungan."
Jantung Sissy seakan berhenti berdetak mendengarnya.
"Mbak-kan udah nikah tiga tahun. Pengen periksa barangkali ada keajaiban kali ini," lanjut Sherina berucap yang membuat Sissy bernapas lega.
Elkan mengangguk. "Semoga apa yang diharapkan bisa terjadi ya, Mbak," ucapnya terdengar tulus.
Sissy berdecih dalam hati. Pintar sekali Elkan bersikap manis. Siapapun akan mudah tertipu dengan tampang sok sucinya. Jika saja Sherina tahu kalau Elkan-lah yang telah menghamili adik perempuannya ini, mungkin sudah habis rambut Elkan dijambak oleh Sherina.
"Aamiin, terima kasih ya, El. Kalau begitu Mbak sama Sissy permisi."
Setelah beberapa langkah menjauh dari Elkan, entah dorongan apa yang membuat kepala Sissy menoleh kebelakang dan melakukan kontak mata dengan Elkan.
Seringai di wajah Elkan membuat d**a Sissy sakit. Bagaimana kalau laki-laki itu tahu tentang kehamilannya? Akankah dia berniat baik untuk menikahi Sissy? Atau justru meminta Sissy untuk mengaborsi kandungannya?