Senja menjadi korban kebohongan Sissy selanjutnya. Sissy mengatakan kalau kemarin dirinya sakit sampai tidak sempat menyentuh ponsel. Dan dengan mudahnya Senja mempercayai kebohongan itu.
"Masya Allah! Gak sia-sia gue mimpiin bintang jatoh semalem. Emang ya, cowok bakal keliatan lebih ganteng kalo rambutnya basah begitu. Apalagi kalo orangnya itu Pak Abi. Duh, jadi pengen gue kawinin," ucap Senja menatap kagum Abidzar yang baru keluar dari musholla. Sepertinya dia baru selesai sholat dhuha.
Sissy memutar bola matanya jengah. "Ampun deh, Ja. Kayak gak ada cowok yang lebih ganteng aja di kampus ini."
"Yang ganteng emang banyak, Sy. Tapi yang memikat sampe ke sum-sum tulang belakang, ya cuma Pak Abi seorang!"
Sissy menggelengkan kepala. Kembali fokus mengerjakan tugas yang belum dia selesaikan.
Handphone Sissy berdenting menandakan adanya pesan masuk. Nomor yang tertera tidak tersimpan di kontak. Sissy segera membukanya untuk melihat isi pesan tersebut.
Nomor Tak Dikenal: Balik jam berapa? Gue jemput.
Sissy menghela napas. Sudah pasti ini nomor milik Elkan.
Me: Jam dua. Gak usah dijemput.
Nomor Tak Dikenal: Balik duluan gue bikin lo gak bisa jalan.
Sissy berdecak kesal, membuat Senja menoleh kearahnya.
"Dasar nyebelin! Bisanya ngancem-ngancem terus," gerutu Sissy semakin membuat Senja penasaran.
"Chat dari siapa?"
"Orang gila," ketus Sissy menjawab. Akhirnya mau tidak mau Sissy setuju untuk dijemput oleh Elkan setelah selesai kelas.
Mengenai Fabian, sampai sekarang tidak ada kabar dari laki-laki itu. Bahkan pesan yang Sissy kirim semalam belum Fabian buka.
***
Sissy membasuh bibirnya setelah selesai muntah. Lagi-lagi ia terganggu dengan aroma parfum. Kali ini bukan karena parfum Abidzar, melainkan salah satu mahasiswa yang tidak sengaja berpasangan dengannya di jalan.
Sissy menatap wajah lelahnya di pantulan cermin toilet. Satu tangannya terangkat menyentuh perut ratanya.
"Gimana ke depannya nanti? Perut gue bakal tambah besar dan pastinya orang-orang bakal tahu kalo gue lagi hamil."
Sejenak Sissy diam di toilet untuk menenangkan diri. Kelas sudah berakhir lima belas menit yang lalu. Kemudian Sissy berjalan keluar dari kampus sambil memikirkan nasib hidup ke depannya. Dia sampai tidak ingat dengan pesan Elkan yang akan datang menjemputnya.
Dari kejauhan, Elkan memantau pergerakan Sissy di depan mobil. Laki-laki itu mengenakan kacamata hitam dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam kantong celana. Keberadaan Elkan menghadirkan pekikan tertahan dari para mahasiswi yang melihatnya.
Sissy berjalan menuju warung yang berada di seberang jalan kampus. Dia mengambil sebungkus rokok serta satu korek api gas.
"Ini uangnya, Pak."
Setelah membayar, Sissy duduk di bangku panjang yang berada di sana. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari sana, mengapitnya di mulut lalu menyalakan korek api gas. Sissy terpejam sambil mengepulkan asap rokok ke udara. Tepat di hisapan yang ketiga, seseorang datang merampas rokok yang sedang dinikmatinya itu.
Sissy mendengus saat tahu kalau Elkan yang mengganggunya. Ternyata Elkan benar-benar membuktikan ucapannya untuk menjemput Sissy.
Elkan menghirup dalam rokok tersebut, lalu mengepulkan asapnya ke wajah Sissy. Ia tersenyum miring saat Sissy mengipas-ngipas asap itu.
"Gue bisa ngasih sesuatu yang lebih nikmat daripada ini," ucap Elkan yang dapat langsung Sissy tebak maksudnya.
"Malem ini gue mau lo nginep di rumah gue."
Sissy menatap Elkan dengan wajah protes. "Enggak. Diperjanjian juga gak tertulis kalo gue harus nginep di rumah lo kan?"
"Iya, emang. Tapi di sana tertulis lo harus selalu patuh sama perintah gue."
Sissy berdecak pelan. "Mbak gue juga gak bakal ngasih izin."
"Apa susahnya tinggal bilang nginep di rumah temen perempuan lo, buat ngerjain tugas, atau girls time gitu."
Sissy terdiam sejenak. Alasan itu tidak mungkin meluluhkan Sherina untuk membiarkannya tidur di rumah orang lain. Apalagi kondisinya saat ini sedang hamil.
Elkan menjentikkan jari di depan wajah Sissy, mengembalikan kesadaran perempuan itu.
"Gimana?"
"Lihat nanti deh. Gue gak bisa janji."
Elkan memutar bola mata jengah. Setelah menghabiskan rokoknya, barulah Elkan mengantar Sissy pulang untuk menyetor wajah kepada Sherina. Setelah itu, Elkan akan membawa Sissy pergi ke hotel terdekat untuk menghabiskan waktu berdua. Biarlah tidak ada acara menginap, asal Elkan bisa melepas sesuatu yang sudah ia tahan sejak pagi pada perempuan itu.
"Papa? Mama? Mereka ada di sini?" gumam Sissy saat melihat mobil orang tuanya terparkir di halaman rumah.
Sissy langsung keluar dari mobil. Berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Elkan sudah akan keluar menyusul Sissy, namun suara dentingan pada ponselnya mengurungkan niat Elkan.
Marcel: Bang, bisa ke restoran sekarang? Ada masalah nih.
Elkan berdecak pelan. Sudah tadi pagi gagal menyentuh Sissy, sekarang juga terganggu. Akhirnya ia kembali menyalakan mesin mobil lalu pergi dari sini.
Begitu Sissy masuk ke rumah, benar saja di sana ada Tama, Niken, Mario, dan juga Bryan. Sementara si pemilik rumah sedang tidak ada di sini. Aiden yang masih di kampus dan Sherina yang berada di toko kue nya.
"Akhirnya kamu pulang juga," ucap Tama dengan wajah kesal menatap Sissy.
Pandangan Niken langsung jatuh pada perut rata Sissy. Wanita itu seakan masih tidak percaya kalau Sissy sedang mengandung.
"Sayang," lirih Niken sambil mengulurkan tangan ingin memeluk putri bungsunya.
Sissy memalingkan wajah saat Niken berhasil memeluknya. Wanita itu menangis. Sissy bisa menebak kalau berkumpulnya mereka di sini untuk menanyakan tentang kehamilannya. Tapi kenapa harus ada Mario dan Bryan. Mereka orang lain, kan?
"Papa sudah ambil keputusan."
Niken melepaskan pelukannya pada Sissy. Mengusap air mata di pipinya, lalu menatap Tama yang mulai membuka inti pembicaraan.
"Keputusan apa?"
Tama menatap putri bungsunya dengan tangan terkepal. Dia sangat marah dengan kehamilan Sissy.
"Bryan bersedia menikahi kamu."
Kepala Sissy sontak menoleh menatap Bryan. Laki-laki itu melempar senyum kepadanya.
"Aku gak mau," tolak Sissy membuat emosi Tama semakin memuncak.
"Bisa-bisanya kamu menolak kebaikan Bryan. Jangan bodoh, Sissy! Sudah cukup kamu membuat malu nama Papa. Masih untung Bryan mau menikahi kamu yang sudah dihamili laki-laki lain!"
Sissy merasa hatinya seakan dihujam oleh benda tajam. Air matanya menetes deras membahasi pipi.
"Kamu mau melahirkan tanpa seorang suami? Memalukan!"
"Mas!" Niken membentak Tama. Ia tidak tega putrinya dimarahi seperti ini.
"Cukup! Jangan kebanyakan drama. Papa sudah menentukan tanggal pernikahan kamu dengan Bryan. Kalian akan menikah Minggu depan, mumpung perut kamu masih kecil, jadi orang-orang gak akan curiga kamu hamil diluar nikah," ucap Tama dengan tegas tak ingin dibantah.
"Enggak!" Sissy menggeleng kuat. "Papa gak bisa paksa aku! Ini hidup aku! Aku punya pilihan untuk masa depan aku!"
"Masa depan apa, Sissy? Masa depan yang sudah kamu rusak?!"
Sissy terpejam rapat. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Tama selalu berhasil menggores hatinya.
"Berulang kali Papa katakan sama kamu, jangan pernah mendatangi klub malam, tapi kamu gak mau mendengarkan Papa. Sekarang kalau sudah begini nangis-nangis merasa sok paling tersakiti. Ini namanya hukum karma karena membantah orang tua!"
Sissy menangis tersedu-sedu sambil menutup kedua telinganya menggunakan tangan.
"Cukup, Pa!" Aiden datang melerai keributan yang terjadi di rumahnya.
"Kenapa? Kamu mau membela adik kamu ini? Dia sudah menjadi aib untuk keluarga kita. Dan sekarang dengan sombongnya dia menolak untuk dinikahkan dengan laki-laki baik yang menerima dia apa adanya."
Aiden menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa Tama bicara seenak itu tanpa memikirkan perasaan putrinya.
"Kamu ke kamar, Dek. Biar Mas yang bicara sama Papa," ucap Aiden kepada Sissy.
Langsung saja Sissy lari menuju kamarnya di lantai atas. Meninggalkan perseteruan yang terjadi di bawah sana.
Sissy menutup serta mengunci kamarnya. Ia bersandar dibalik pintu berwarna putih tersebut. Tubuhnya merosot terduduk dibawah. Sissy meremas rambutnya dengan kuat. Menangis sejadi-jadinya dengan ucapan Tama yang seakan terus menggema di telinganya. Dia juga tidak ingin hamil dengan cara seperti ini.
Aborsi.
Apa mungkin itu jalan terbaik yang harus Sissy ambil?