Eva adalah orang yang baik. Ya, Rossa bisa menyimpulkan itu setelah beberapa hari mereka berinteraksi. Dari pada dengan Dewa, justru Rossa lebih banyak bertemu dengan Eva. Hanya saja ya, sampai sekarang Rossa masih tak mengerti kenapa Eva bisa sampai seperti ini. Dia terlihat santai ketika berinteraksi dengannya. Seolah tak ada rasa cemburu walau tahu Rossa akan menikah dengan suaminya.
Rumah tersebut, rumah yang akan Rossa tempati ternyata sudah dipersiapkan sejak lama. Dan rupanya, rumah yang Eva tempati persis di samping rumah tersebut. Dan hal tersebut pun memang di sengaja dan masuk ke dalam rencana Eva.
"Setelah menikah denganmu nanti, aku yakin Dewa akan lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu di rumah ini." Eva berucap. Mereka kini sedang berada di kamar utama rumah tersebut, yang juga akan menjadi kamar pengantin bagi Rossa dan Dewa. Dan ya, Rossa sudah menempati kamar itu sejak awal dia tinggal di sana.
"Kenapa kamu bisa sesantai ini, Kak? Tak ada istri yang benar-benar ikhlas suaminya menikah lagi." Rossa berkata. Eva tertawa pelan mendengar itu. Dia menyimpan gelas minumnya lalu menatap ke arah Rossa.
"Aku sudah berdamai dengan keadaanku sendiri, Rossa. Dan aku sudah menyiapkan hatiku untuk ini semua sejak lama. Dewa berhak bahagia juga," ujar Eva. Rossa menatap Eva dengan lekat, dan tatapan wanita itu tidak memperlihatkan kebohongan.
"Aku justru senang bisa bertemu denganmu, dan memilih kamu untuk menjadi istri Dewa selanjutnya. Kamu adakah gadis yang baik, dan aku yakin kamu orang yang tepat untuk Dewa," lanjut Eva. Dia menghela nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Matanya kemudian melihat sekeliling kamar tersebut.
"Aku dulu memiliki banyak impian. Menjadi seorang wanita sukses, menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia. Namun sekarang, aku sadar tak semua yang aku inginkan bisa aku gapai. Tapi aku tetap bersyukur dengan kehidupanku yang sekarang. Tak sedikit wanita yang ingin berada di posisiku." Eva berucap. Dia tersenyum seraya memandangi langit-langit kamar. Sedangkan Rossa, terus memperhatikan Eva dengan seksama.
"Aku sudah mengenal Dewa sejak lama, Rossa. Dan dia adalah pria yang sangat baik. Aku tahu kalau awalnya kalian pasti akan merasa kaku dan canggung. Tapi percayalah, seiring berjalannya waktu hatinya akan luluh padamu." Eva berkata lagi. Dia menengok ke arah Rossa dan tertawa pelan.
"Aku tahu kamu pasti menganggap aku sudah gila sekarang. Tapi jujur saja, aku malah senang melihat kamu bersama dengan Dewa. Walau interaksi kalian sangat kaku, aku merasa kalian cocok."
Rossa hanya diam saja mendengar itu. Dia harus memberikan respon seperti apa? Yang jelas dia tak memahami jalan pikiran Eva.
"Nanti setelah kalian menikah, jika Dewa menyakitimu, katakan padaku. Biar aku menegurnya," ujar Eva lagi. Dan Rossa tetap diam saja. Sungguh, jika ini semua adalah mimpi, Rossa ingin secepatnya bangun. Masuk ke dalam rumah tangga Dewa dan Eva yang menurutnya aneh bukanlah sesuatu yang bagus.
***
Rossa duduk di balkon kamar ditemani secangkir teh hangat. Matanya melihat ke arah langit malam yang terlihat cerah dan dihiasi oleh ribuan bintang.
Sekarang, Rossa memang sudah tinggal di rumah milik Dewa. Seperti yang Eva katakan, dia adalah nyonya di rumah tersebut mulai sekarang. Walau dia dan Dewa belum resmi menikah, tapi kebutuhan Rossa sudah dipenuhi sejak awal dia menginjakkan kaki di rumah megah tersebut.
Saat Rossa sedang merenungi nasibnya sekarang, terdengar suara ponselnya yang berdering singkat. Dengan agak malas Rossa mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk barusan. Bukan orang asing, melainkan salah satu teman Rossa.
Rossa, udah dapat kerjaan belum? Kebetulan aku ada lowongan kerja untukmu. Mungkin kamu bisa mencoba melamar dulu.
Ya, temannya tersebut adalah salah satu teman seperjuangan Rossa dalam mencari pekerjaan. Rossa ingin membalasnya dan mengatakan kalau dia akan sangat senang bisa melamar kerja dan diterima. Namun, tentu dia tak bisa melakukan itu.
Dua hari yang lalu, Rossa bicara berdua dengan Dewa. Mereka membuat sebuah kesepakatan yang harus dipatuhi setelah menikah nanti. Dan salah satu kesepakatan yang sudah disetujui adalah Rossa tidak boleh bekerja, dengan imbalan semua kebutuhannya akan dipenuhi oleh Dewa.
Ya, Dewa tak mau Rossa bekerja. Jadi, Dewa ingin Rossa menjadi seorang istri yang kesehariannya hanya di rumah saja. Intinya sih, bukan itu.
Aku ingin kamu siap kapan pun aku membutukanmu dan menginginkanmu.
Itulah yang sebenarnya Dewa maksud. Dan ya, tubuh Rossa merinding ngeri dan takut ketika Dewa mengatakan itu dengan jelas dan tanpa beban. Mau tak mau, dia harus siap dan terima kenyataan kalau dia memang akan menjadi pemuas nafsu bagi Dewa.
Rossa tak tahu harus merasa senang atau sedih dengan nasibnya sekarang. Di satu sisi, dia merasa sedih karena Marcel menjualnya demi uang, dan pria itu lebih mementingkan pacarnya ketimbang dia yang merupakan adik kandung. Di satu sisi, Rossa bersyukur juga karena dia bisa menjalani hidup tanpa harus memikirkan biaya. Dia bisa makan, jajan, dan belanja apapun tanpa harus pusing memikirkan uangnya dari mana.
Jika Rossa bercerita pada orang-orang yang dia kenal tentang keadaannya sekarang, Rossa yakin sih mereka ingin berada di posisinya sekarang.
Rossa jadi teringat dengan kata-kata Eva. Tak semua yang diinginkan bisa di gapai. Yang penting adalah harus bersyukur, karena tak sedikit orang yang ingin berada di posisinya sekarang.
Ya, mulai sekarang memang Rossa hanya perlu menerima keadaan saja. Walau dia merasa masa muda dan impiannya di rampas, setidaknya masih ada sedikit hal yang bisa dia syukuri.
Suara dering ponselnya yang berbunyi membuat Rossa kembali tersadar dari lamunannya. Ada sebuah pesan masuk dari Eva. Dan wanita itu memperingati Rossa agar segera tidur dan jangan begadang.
Ingat, besok kamu dan Dewa akan menikah. Aku tak mau kamu bangun kesiangan di hari pernikahanmu sendiri.
Rossa tertawa miris membaca itu. Ingin dia menekankan pada Eva, kalau pernikahan yang akan terjadi besok bukanlah keinginannya. Namun, sudahlah. Eva adalah orang yang baik. Rossa tak mau membuat wanita itu merasa bersalah padanya.