"AYYAA!! Coklat Papa mana?" kesalnya dengan mata mendelik tajam kearah perempuan berjilbab pendek yang sedang sibuk menatap layar lebar di depan sana.
"Coklat Papa mana?" ulahnya lagi, Sedang yang ditanya hanya mengerjap matanya beberapa kali menatap Papanya.
"Mana?"
"Di perut Ayya dong. Papa tuh udah tua engga baik makan coklat terus lagian Papa itukan laki-laki masa suka coklat sih." Herannya, dan perkataannya itu semakin membuat Papa-nya kesal bukan main.
"Papa pindah gih, Ayya mau nonton jangan digangguin. Ush ush!" Ayya berdiri menarik Papanya menjauh dari hadapannya karena sejak tadi menghalangi pandangannya menonton kartun kesukaannya.
"Kamu itu sudah 23 tahun, Ayya. Masa umuran segitu masih nonton kartun mana disney kayak gitu harusnya yang kamu tonton itu hal bermanfaat buk-"
"Papa juga suka nonton spongebob loh ya!"
"Tapikan cuman sesekali engga kayak kamu sehari-hari, mending kamu keluar ke supermarket beliin Papa coklat kayak biasanya daripada nonton kartun mulu."
"Engga mau. Papa juga, udah tau masih aja suka makan coklat nanti diabetes makan manis terus."
"Kamu doa'in Papa diabetes?"
Ayya berdecak kesal, mau bagaimanapun Ayya berbicara kalau Papa-nya sudah mencari coklat maka harus di turuti. Tapi salah Ayya juga kenapa makan coklat Papa padahal sudah tau bagaimana gilanya sang Papa terhadap coklat. Tapi Ayya juga kayak gitu sih!
"Kak... Ayya pengen coklat, pokoknya coklat. SEKARANG!" Kenan, Papa dari Ayya melototkan matanya mendengar rengekan putrinya pada seseorang diseberang telepon sana.
"Udah. Papa tunggu aja sebentar lagi pasti kak Zam kemari bawa coklat yang banyak. Untuk Papa sebungkus dan untuk Ayya sisanya." Ayya bertepuk tangan senang kemudian berjalan masuk kedalam kamarnya mengabaikan tatapan murka Papanya.
"KAMU MAKAN COKLAT PAPA SEKOTAK DAN HARUS DIGANTI SEGITU JUGA." teriak Kenan kesal.
"Masa bodo." balas Ayya dari dalam.
"JANGAN TERIAK! MAMA ENGGA SUKA!"
"MAMA JUGA TERIAK LOH." balas Ayya lagi, dan di ruang keluarga Kenan memijat keningnya pelan. Ada apa dengan keluarganya hari ini?
"Hellooo everybody, Panji sang petualang pulang." Kenan menatap malas kedatangan putranya,
"Ehh Papa. Kenapa Pa? Mau coklat engga?" Mata Kenan langsung berbinar saat melihat sekotak coklat dalam pegangan Panji, putra bungsunya yang masih berumur 17 tahun.
Tanpa mengucapkan apapun Kenan menyambar sekotak coklat itu kemudian berjalan masuk ke dapur, padahal niatnya tadi ingin memarahi anaknya karena baru pulang setelah 2 hari tidak menampakkan diri di rumah.
"Untung gue ingat Papa suka coklat." gumamnya dengan tangan mengelus dadanya pertanda lega.
"Kamu nyogok papa pake coklat?" Panji meringis pelan mendengar alarm paling bahaya itu,
"Bidadariku makin cantik aja, ma-"
"Darimana kamu? Kenapa baru pulang setelah dua hari menghilang tanpa kabar sama sekali." Tessa, Mama dari Ayya dan Panji itu melipat tangannya didepan dadanya dengan tatapan tajam penuh selidik.
"Habis camping sama teman, Ma." Jawab Panji kalem.
"Mama engga mau denger ada perempuan lagi yang datang kerumah terus nangis gara-gara di putusin sama kamu. Kalau kamu gonta ganti perempuan terus maka alat camping kamu semua mama sita tanpa terkecuali."
"Ma, mereka sendiri yang pengen jadi pacar aku dan aku udah bilang kalau engga punya perasaan sama mereka. Jad-"
"Intinya, jika ada perempuan datang kerumah dengan alasan yang sama maka kamu tau sendiri akibatnya." ia berlalu meninggalkan Panji yang kesal setengah mati.
Panji memutuskan untuk masuk kedalam kamarnya saja tapi langkahnya terhenti saat melihat kakaknya sibuk berbincang dengan seseorang via telepon,
"Kak."
"Bentar... Ehh Panji sudah pulang, mana oleh-oleh aku?" Ayya mengulurkan tangannya menunggu sang adik menyimpan sesuatu disana.
"Lagi teleponan sama siapa kak?" bukannya menjawab pertanyaan Ayya, Panji malah menanyakan dengan siapa sang kakak menelpon.
"Dengan Kak Zam, dia lagi di supermarket sekarang soalnya kakak suruh dia beli coklat buat gantiin coklat papa." jawab Ayya enteng dan kembali berbincang dengan Zam mengabaikan Adiknya.
Melihat Ayya sibuk dengan teleponnya kembali Panji membalikkan badannya cepat dan berjalan dengan terburu-buru kearah kamarnya.
BRAKK.
"PANJI! OLEH-OLEHKU MANA?" teriaknya
"AYYA! MAMA ENGGA SUKA KAMU TERIAK." sahut Tessa dari arah dapur.
"MAMA JUGA TERIAK." balas Ayya dan tak ada lagi sahutan dari ibu negara.
***
"Jangan belepotan kamu itu udah tua." tegurnya
"Masa bodo yang penting Ayya makan coklat sebelum ketahuan sama papa bisa-bisa coklat Ayya dimakan papa lagi." memilih diam dan malas berbicara itu adalah pilihan yang bijak.
"Ayya ambil uang dulu untuk ganti uang Kak Zam yang terpakai." Ayya sudah berdiri tapi tangannya langsung dipegang oleh Zam, pikiran Ayya jadi melayang ke drama-drama sosweet yang biasa ia tonton.
"Engga usah," ujar Zam sambari melepaskan pegangannya pada tangan Ayya.
Ayya tidak menjawab memilih sibuk dengan sebungkus coklat yang ada di tangannya, mereka berdua bukanlah sepasang kekasih seperti orang-orang pada umumnya atau sepasang anak yang saling di jodohkan oleh orang ruang, mereka berdua hanya sebatas senior dan junior sewaktu kuliah dulu yang masih terjalin sampai sekarang.
Zam memperhatikan Ayya yang menyuapkan sepotong coklat ke mulutnya dengan senang, Ayya sebenarnya cantik dan sewaktu kuliah termasuk orang yang sangat aktif dalam organisasi. Tapi sayangnya Zam masih bingung dengan perasaannya sendiri, entahlah.
Zam mencoba memutar otaknya untuk membuka suara lagi, Ayya ini terbilang seimbang sikapnya kadang cerewet kadang juga kalem seperti perempuan pada umumnya tapi akan sangat menyebalkan kalau sudah berurusan dengan coklat.
Seperti sejam lalu, padahal Zam baru tiba di kantornya tapi Ayya sudah menelepon meminta Zam untuk membelikannya coklat ia bisa saja menolak tapi kalau sudah bersangkutan dengan Ayya rasanya sulit mengatakan tidak.
"Coklat itu manis, lagian kamu kan sudah manis ngapain makan coklat lagi sih?" itu adalah perkataan jujur tetapi dianggap gombalan, dan yang terlintas dalam pikirannya hanyalah itu.
"Alzam Arrazi, yang sangat tidak suka makanan manis. Kamu tidak perlu gombal-gombal gitu, engga cocok banget."
"Habisin cepetan, aku harus balik ke kantor. Lain kali mau kamu ngambek berjam-jam pun aku engga bakalan beliin kamu coklat." perempuan berjilbab sepinggang itu berdecak kesal.
"Tau ah! Kak Zam nyebelin."
"Masa bodo."
"Tapi Ayya Cinta. Gimana dong?"
"Bucin."
"Kak Zam kapan Cinta sama Ayya sih?"
"Nanti."
"Nantinya kapan?"
"Pas kamu SAH jadi istriku, boleh engga?"
"Ihh! Kak Zam lebih bucin."
"Hahahha."
Ayya mendengus kesal mendengar tawa Zam, Ayya berdiri membuang bungkusan coklatnya pada tong s****h yang tersedia, mamanya bisa mengomel tanpa henti kalau sampai melihat bungkusan coklat berserakah dimana-mana.
"Nanti malam temanin aku ya."
"Kemana?"
"Ada acara pesta gitu, mau ya? Sebagai imbalan karena aku udah beliin kamu coklat."
"Boleh deh!." Zam tersenyum senang mendengar jawaban itu, ia mengusap kepala Ayya sejenak sebelum berlalu pergi diri teras rumahnya.
Ayya tertegun dan suara mobil Zam yang menjauh membuyarkan lamunannya, sebenarnya hubungan mereka apasih? Teman tapi mesra gitu?
"Ayya! Kalau udah selesai, tolong bantu mama jemur cucian pake gantungan ya." perintah ibu negera terdengar dan tentu Ayya harus segera menurutinya.
"Ayya sama Kak Zam kayak cucian. Gantung!" gumamnya pelan.