Penampakan Yang Semakin Jelas

1506 Words
“Maksud lo … hantu itu … eng … hantunya ….” Sarah menghentikan kalimatnya dan ikut melirik ke kanan dan ke kiri dengan ekspresi sedikit takut. “Beberapa malam lalu … yang setelah kita pulang nongkrong dari Kafe Daun itu, loh. Malam itu … gue ngelihat Mas Bayu di dalam kamar ….” bisik Mayang lirih. “Hah? Masa sih?” seru Sarah dengan ekspresi ngeri. “Maksudnya? Lo ngelihatnya gimana, May? Maksud gue, lo lihat Bayu dalam kondisi apa? Bayu posisinya ada di mana? Dan dia lagi ngapain? Eh, tunggu dulu. Lo ngeliat beneran atau cuma mimpi, nih?” tanya Reindra yang tampak sangat penasaran. “Gue nggak lagi tidur, kok,” ucap Mayang sambil menggeleng. “Jadi kan, gue lagi tiduran dengan posisi telentang. Gue cuma lagi mikirin tentang packing barang-barang gue buat pindahan, terus inget kata-kata si Jennifer tentang rumah ini yang harus segera gue tinggalkan. Terus setelah itu, lama-lama kan, gue ngantuk, tuh. Ya terus gue berguling ke samping, mau tidur. Dan … ternyata … ada Mas Bayu di samping gue!” Sarah dan Reindra terpaku menatap Mayang dengan tegang, menunggu ia melanjutkan ceritanya. “Mas Bayu posisinya sama seperti waktu dia pertama dan terakhir kalinya tidur di situ. Berbaring dengan posisi telentang, matanya terbuka, terus napasnya tersengal-sengal gitu! Persis kayak waktu terakhir gue ngeliat dia kena serangan jantung di depan mata gue ….” desis Mayang lirih. Di wajahnya tersirat kesedihan dan rasa takut yang bercampur menjadi satu. “Serius lo, May …?” tanya Sarah sembari melirik ke arah pintu kamar Mayang yang letaknya tepat berhadapan dengan lokasi ruang tengah tempat mereka sedang duduk itu.  “Emang … penampakannya kelihatan jelas banget ya, May?” tanya Reindra yang ikut-ikut melirik ke arah yang sama dengan Sarah. “Sedikit buram, kayak kalau kita lagi memandang melalui sebuah area berkabut. Tapi kabutnya tipis aja,” ucap Mayang sembari sedikit bergidik, “dan bagi gue, itu udah termasuk kategori jelas banget dibandingkan yang sebelumnya.” “Tapi, May,” ucap Sarah akhirnya, “waktu itu kan, waktu kita ngobrol di kantor, lo juga pernah bilang kalau lo beberapa kali ngeliat hal seperti itu, yang lo asumsikan sebagai ‘pengulangan kejadian’ yang masih terekam di dalam kepala. Yah, bahasa lainnya mungkin halusinasi, ya. Nah sekarang, lo udah nggak merasa kalau yang lo lihat itu cuma sekadar halusinasi?” “Iya, May,” sahut Reindra. “Waktu itu gue kira lo biasa-biasa aja melihat hal seperti itu, nggak takut.” Mayang mengangguk. “Iya, memang benar waktu itu gue menganggap yang gue lihat itu hanya halusinasi karena pikiran gue yang masih capek dan stress. Karena awalnya memang hanya kayak sekelebatan bayangan aja, nggak tertangkap oleh fokus pandangan mata. Jadi gue kayak masih suka liat Mas Bayu di sampin gue, atau lagi duduk di meja makan, atau di mana gitu. Tapi bener-bener cuma kelihatan di sudut mata, yang kalau gue nengok untuk melihat lebih jelas, bayangan itu nggak kelihatan lagi. Tapi … setelah gue perhatiin dan gue ingat-ingat lagi, semakin lama bayangan-bayangan itu terlihat semakin jelas. Semakin bukan seperti bayangan yang warna keseluruhannya cuma hitam gelap aja, tapi mulai muncul warnanya, dan kayak lebih hidup, gitu. Apalagi yang terakhir kemarin. Gue bahkan bisa melihat napasnya tersengal-sengal! Berarti kan, kemunculan penampakan itu semakin jelas terlihat di depan mata, dan bukan hanya di sudut mata aja. Dan gambarannya cukup lama bertahan. Itu aja karena kemarin gue langsung lompat dari tempat tidur saking takutnya, jadi setelah itu waktu gue tengok lagi ke atas tempat tidur, sosok Mas Bayu udah nggak ada. Nah, jangan-jangan kalau gue bertahan untuk ngeliatin sosoknya, dia bakal nggak hilang-hilang ….” Kali ini giliran Sarah yang bergidik. “Serem, May ….” Ia kembali menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tegang. “Mm … waktu sama mendiang Ridho dulu, lo ngalamin hal kayak gini juga, nggak?” tanya Reindra. “Ngalamin juga sebenernya, tapi cuma beberapa kali aja dan nggak sampai terlalu jelas terlihat. Cuma kayak … bayangan tipis banget gitu, di sudut mata,” jawab Mayang pelan. “Makanya gue nggak terlalu pikirin dan gue abaikan. Nah, tapi yang Mas Bayu ini, bayangan itu entah kenapa semakin pekat dan semakin padat.” Sarah dan Reindra saling tatap dengan ekspresi tak terjelaskan. “Tapi May, menurut lo sendiri, yang lo lihat itu … memang Bayu, atau makhluk lain yang menyerupai Bayu?” tanya Sarah. Mayang mengerutkan dahi, berpikir sejenak. “Mungkin ya … makhluk lain yang menyerupai Mas Bayu. Makanya tadi awalnya gue tanya sama lo berdua, lo pernah liat hantu atau nggak.” “Gue sih nggak pernah,” ucap Reindra. “Gue juga nggak pernah. Jangan sampe deh,” ucap Sarah.  “Sempat sih terpikir, kalau rumah ini sebenarnya memang dari awal ada yang agak serem gitu, meskipun tampilannya sama sekali nggak serem,” ucap Mayang. “Ini kan bangunan baru, tapi kan kita ngga tahu sebelum dibangun jadi perumahan, lokasi ini tadinya tempat apa?” “Mungkin komplek pekuburan tua,” celetuk Reindra. “Ih, apaan sih, lo! Nakutin aja!” bentak Sarah sambil melempar Reindra dengan bantal kursi. “Dih!” Reindra menangkis bantal kiriman ekspress dari Sarah. “Emang lo punya rasa takut, Sar? Katanya jagoan, kok takut?” “Gue tuh nggak takut sama manusia,” tukas Sarah kesal. “Tapi kalau sama non manusia, beda urusannya! Manusia kan bisa dipukul, makhluk halus kan nggak bisa!” “Oh iya, bener juga, yah,” ucap Reindra sembari nyengir. “Ya udah, berarti keputusan lo untuk segera mengembalikan rumah ini ke keluarganya Bayu udah tepat, May. Ngapain juga tinggal di rumah yang banyak penampakannya,” ucap Sarah yang diangguki oleh Mayang dan Reindra. “Ya udah, berhubung sekarang kita semua udah kenyang, kita siap-siap berangkat, yuk,” ajak Reindra. “Gue siapin mobil dulu ya, setelah itu kita masukkin barang-barangnya Mayang.” “Oke, siap!” ucap Sarah yang langsung bangkit dan menghampiri tumpukan kardus dan tas-tas besar yang sudah mereka packing tadi. “Oke, gue beresin ini dulu,” sahut Mayang sembari mulai mengumpulkan sampah bekas makanan mereka untuk dibuang ke tempat sampah. Sekesal-kesalnya Mayang pada keluarga Bayu, namun ia bukan tipe orang yang suka berbalas kejelekkan. Dia tidak ingin meninggalkan rumah ini dalam keadaan kotor sebagai balasan atas sikap keluarga Bayu. Lagipula tak tega rasanya jika teringat rumah yang dibeli sebagai bukti cinta Bayu kepadanya ini ia tinggalkan dalam keadaan kotor. Meskipun Bayu sudah tidak bisa melihatnya lagi, namun bagi Mayang ini masalah sikap dan kepribadian saja. Kemudian mereka bertiga segera memasukkan barang-barang milik Mayang ke dalam bagasi mobil Reindra yang cukup besar. Mayang juga sudah memeriksa ulang ke seluruh bagian rumah, apakah masih ada barang miliknya yang tertinggal di dalam. Sebelum mereka benar-benar meninggalkan tempat itu, Mayang menyempatkan diri untuk memandangi rumah yang akan ditinggalkannya itu dengan diiringi ucapan permohonan maaf dalam hati kepada Bayu karena tidak bisa mempertahankan rumah tersebut.  “May, lo nggak apa-apa, kan? Jangan sedih ya,” tanya Sarah dengan lembut. Gadis tomboy itu merangkul bahu Mayang sebagai usahanya menenteramkan hati Mayang. “Iya, nggak apa-apa, Sar,” ucap Mayang sambil mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menghilangkan bulir-bulir kecil air mata yang mau tak mau merebak juga ketika teringat Mas Bayu. Kebersamaan mereka yang amat sangat singkat membuat d**a Mayang terasa sesak. “Gue bukan nangisin rumahnya, kok. Tapi nangisin Mas Bayu,” ucap Mayang menjelaskan. Sarah mengangguk mengerti sambil mengusap-usap bahu Mayang. “Nanti setelah kita kembaliin kunci ke rumah keluarga Bayu, mau mampir dulu ke makam? Mumpung belum begitu sore,” ucap Sarah. “Iya, boleh. Eh tapi … nggak enak sama Reindra kalau ….” Mayang menoleh ke arah Reindra yang tampak sedang sibuk membereskan barang-barang Mayang yang memenuhi bagasi mobilnya. “Justru Reindra yang ngasih usul ini tadi,” potong Sarah, “gue suruh nanya ke lo.” “Oh, gitu, ya?” ucap Mayang yang tak enak hati kalau merepotkan teman-temannya terus menerus. “Udaah, nggak usah nggak enak nggak enakan, May,” tukas Sarah pura-pura kesal, “kayak tamu aja, lo.” Mayang terkekeh mendengar ucapan Sarah. “Iya, iya. Ya udah, setelah kembaliin kunci, kita ke makam Mas Bayu, ya.” “Oke,” sahut Sarah. “Tapi nanti kembaliin kuncinya lo aja yang turun ya, sama Reindra, Gue males, takut emosi kalau lihat muka si Jennifer. Lo nggak lama kan, kembaliin kuncinya?” “Yaa ... pinginnya sih ngopi-ngopi dulu sama si Jennifer, terus bikin mie rebus pake telur. Sekalian ngocok arisan bulan ini,” jawab Mayang kalem, yang menghasilkan dorongan kesal di bahunya. Mayang tertawa geli. “Rese lu!” omel Sarah, yang ditimpali oleh suara mereka berdua. “Woi! Jadi berangkat nggak, nih, ibu-ibu? Apa mau ngerumpi dulu sambil main kartu remi?” seru Reindra sambil menjulurkan kepalanya dari balik kursi kemudi. Mayang dan Sarah kembali terkekeh melihat tampang Reindra yang mengerutkan kedua alisnya hingga hampir menyatu di tengah dahi.  “Sori, soriii! Gue kunci pintu dulu!” seru Mayang. Dan setelah itu, Mayang dengan ditemani kedua sahabatnya meninggalkan rumah besar tersebut untuk menuju ke rumah kost yang akan ditempati Mayang untuk seterusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD