Kepulangan Alvaro disambut dehaman keras oleh Malini. Wanita tua yang terjaga di sofa keluarga itu melirik tajam Alvaro dengan banyak kekecewaan. Sampai-sampai, Alvaro yang awalnya masih senyum-senyum sendiri, terlepas dari pria itu yang memang sedang berbunga-bunga karena hubungannya dengan Arina, juga menjadi langsung terdiam. Tak hanya senyum berikut kebahagiaan yang seketika sirna dari wajah berwibawa Alvaro, sebab langkah pria itu juga langsung terhenti.
“Mah ...?” panggil Alvaro berusaha memecahkan kebekuan yang menyelimuti kebersamaan di sana. Apalagi, dari sikap Malini yang begitu dingin kepadanya, bisa Alvaro pastikan wanita itu sangat marah bahkan kecewa kepadanya.
“Jangan panggil aku mamah lagi. Karena semenjak kamu memutuskan untuk tetap maju dengan wanita pilihanmu, kamu bukan anakku lagi, Al!”
Mendengar balasan yang begitu dingin sekaligus menusuk barusan, Alvaro langsung diam. Sakit, kecewa, sekaligus bingung, itulah yang ia rasakan. Karena meski semenjak usianya menginjak dua puluh lima tahun, ia sudah dipaksa untuk segera memperlangsungkan pernikahan oleh sang mamah, tapi pada kenyataannya, Malini hanya menginginkan Alvaro menikahi wanita pilihan Malini. Bukan wanita lain, wanita pilihan Alvaro yang mampu membuat Alvaro nyaman sekaligus bahagia. Bahkan sekalipun Alvaro sudah memantapkan pilihannya pada Arina, terlepas dari Alvaro yang yakin, dirinya tidak mampu hidup tanpa Arina yang beberapa jam lalu, baru Alvaro lamar.
Malini sungguh tetap dengan keputusannya. Mengenai perjanjian perjodohan yang sudah Malini lakukan jauh-jauh hari dengan sahabatnya. Dan Malini sangat berharap, Alvaro menikahi anak perempuan sahabat Malini, sesuai perjodohan yang mereka sepakati. Bahkan seperti penegasannya, Malini rela kehilangan Alvaro jika anak semata wayangnya itu tetap membangkang.
Setelah merasa cukup sesak dan membuatnya menghela napas dalam, Malini justru terbatuk-batuk. Tentu kenyaaan tersebut membuat Alvaro merasa peduli sekaligus semakin serba salah. Di antara suasana remang-remang dan hanya tersorot cahaya dari luar ruang kebersamaan mereka, Alvaro menatap Malini dengan perasaan serba salah. Pria itu melangkah dan mendekati wanita tua yang sampai mengenakan kain hangat untuk melilit leher.
Semenjak mengetahui hubungan Arina dan Alvaro, kesehatan Malini memang menjadi memburuk. Malini kerap sakit tapi wanita itu juga tidak mau menjalani pengobatan sebalum Alvaro mengakhiri hubungannya dengan Arina. Dan seperti biasa, ketika Malini nyaris sekarat layaknya sekarang, yang wanita tua itu butuhkan hanyalah Sanya. Sanya anak dari sahabat Malini yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak dan sangat Malini harapkan menjadi wanita yang akan menikah dengan Alvaro.
“Panggil Sanya saja. Lagi pula, hanya Sanya yang bisa ngertiin Mamah!”
“Ini sudah malam, Mah! Kita ke rumah sakit saja, ya?”
“Mamah cuma mau Sanya! Sanya paham dengan apa yang harus dia lakukan ke Mamah!”
“Tapi aku juga bisa kasih Mamah pengobatan lebih sekaligus paling baik, Mah! Please, Mah. Aku cinta Arina, aku sayang sama Arina! Bahkan aku yakin, andai Mamah mau membuka hati untuk Arina, Mamah juga bakalan sayang sama dia. Arina itu gadis yang sangat istimewa, Mah!”
“Cukup, Al! Cukup!” Suara Malini naik drastis dan terdengar sangat tinggi.
Perdebatan yang mengikat ke duanya sukses membuat Malini sesak napas hingga Alvaro langsung panik.
“Mah ...?”
Sambil berlinang air mata, di tengah kenyataannya yang masih sesak napas, Malini berkata, “semenjak kamu sama wanita itu, kamu beneran sudah jadi anak durhaka, Al. Kamu jahat sama Mamah ... kamu enggak pernah peduli lagi sama Mamah!”
Alvaro yang awalnya berdiri dan cukup membungkuk demi merangkul Malini, menjadi merunduk dan terduduk. Alvaro mendekap kedua lutut Malini, sambil terisak-isak. “Mah ... aku sayang sama Mamah. Dan aku juga sayang sama Arina. Arina gadis baik-baik, aku nyaman, aku bahagia sama dia, Mah. Dan aku beneran enggak bisa, kalau enggak sama dia.”
Dalam diamnya, Malini yang menyimak rintihan Alvaro menjadi menahan kekesalan yang membeludak. Rahang wanita itu mengeras sedangkan ke dua tangannya mengepal tersimpan di pangkuan menjadi mengepal kencang. “Sampai kapan pun, Mamah pastikan, kalian tidak bisa bersama. Kamu harus dan hanya boleh menikah dengan Sanya! Dan Mamah akan melakukan semua cara agar itu terjadi! Karena daripada kamu tetap bersamanya, lebih baik Mamah mati!” batin Malini yang merasa sangat tersiksa, atas sesak yang memenuhi dadanya. Belum lagi, kenyataan Alvaro yang tetap maju bersama Arina juga membuat sekujur tubuh Malini diliputi rasa sakit.
Sakit, kecewa, itulah yang saat ini Malini rasakan. Malini sungguh akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan Arina dari kehidupan Alvaro. Akan tetapi, di antara kesedihannya, Alvaro juga tak gentar dan akan melakukan segala cara agar Malini mau menerima Arina. Apalagi Alvaro hanya ingin menikah dengan Arina tanpa ada wanita lain.
***
Di sofa bekas Malini menunggunya, Alvaro terjaga dan langsung menoleh ke belakang selaku keberadaan pintu kamar Malini yang terdengar bunyi dan menandakan, seseorang telah keluar dari sana.
Seorang wanita berambut lurus sebahu dan berwarna agak kecokelatan, keluar dari sana. Wanita cantik yang tidak lain Sanya selaku wanita pilihan Malini itu, menyambut Alvaro dengan senyum yang sangat ramah. Sanya melangkah tenang ke arah Alvaro, di mana Alvaro juga bergegas bangun dari duduknya.
Karena keadaan Malini yang semakin memburuk di mana Malini juga hanya mengharapkan pengobatan sekaligus kehadiran Sanya, Alvaro terpaksa mengabari wanita yang kiranya hanya tiga tahun lebih muda darinya itu.
“Mas Al, kalau Mas capek, Mas istirahat saja. Biar aku yang jaga Tante,” ucap Sanya sarat perhatian dengan tutur kata yang begitu lembut.
Senyum tulus masih menyertai wajah cantik Sanya, kontras dari Alvaro yang masih lesu bahkan tak hentinya uring-uringan dalam hati. Apalgi Alvaro sadar, sebanyak apa pun ia menolak, wanita di hadapannya juga akan bertahan, sebab Alvaro bahkan keluarga mereka paham, Sanya sangat mencintai Alvaro. Karena andai saja Sanya juga tidak sampai mencintai Alvaro, tentu Alvaro bisa menghancurkan perjodohan konyol di antara mereka dengan jauh lebih mudah.
Alvaro mengatupkan ke dua tangannya ke wajah, lantaran pria itu merasa depresi dengan kenyataan yang harus dihadapi. Di saat yang sama, Sanya yang awalnya masih memandangi pria di hadapannya penuh senyum dan sampai akan mengusap kepala Alvaro, menjadi terdiam. Pandangan Sanya tertuju pada cincin emas yang tersemat di jari manis tangan kiri Alvaro. Biasanya jari manis itu kosong, tapi hari ini? Sedangkan jika melihat penamilan Alvaro yang begitu resmi, Sanya yakin jika Alvaro juga baru menghadiri acara resmi.
“Jangan-jangan, gara-gara cincin itu juga, keadaan tante Malini jadi semakin memburuk?” tanya Sanya sambil menatap Alvaro tak habis pikir.
Alvaro yang awalnya masih menutup rapat wajahnya menggunakan ke dua tangan langsung terdiam. Pria itu berangsur menarik ke dua tangannya dan menatap Sanya dengan saksama.
“Nya ... please, ... aku sayang, aku cinta banget sama Arina. Jadi aku mohon banget sama kamu, tolong ... tolong bantu aku buat ngeyakinin orang tua kita. Aku beneran enggak setuju dengan perjodohan konyol kita!” tegas Alvaro. “Iya. Cincin ini, cincin ini penyebab Mamah drop. Tapi seandainya kamu juga bisa mau menerima kenyataan aku hanya mencintai Arina, dan aku enggak akan menikah dengan wanita selain Arina, semuanya pasti akan lebih baik!”
Meski terkesan kejam, tapi Alvaro merasa harus menjelaskan sejelas-jelasnya agar Sanya mengerti dan segera melupakannya. “Malam ini aku dan Arina sudah tunangan. Dan kami sudah mulai mempersiapkan pernikahan!” tegasnya.
Sakit. Hati Sanya hancur sehancur-hancurnya mendengar pria yang sangat ia cintai justru menamparnya dengan cinta lain. Pria itu justru berusaha menyingkirkan sekaligus mengakhiri cinta sekaligus perjuangan Sanya. Bahkan kerena kenyataan tersebut pula, Sanya tak kuasa menahan air matanya untuk tidak mengalir.
“Yang menikah saja masih bisa cerai, kan, Mas?” tegas Sanya.
Alvaro langsung syok dan sudah sangat ingin mengamuk pada wanita di hadapannya, andai saja pria itu tidak ingat, jika semua yang ia lakukan harus dipertanggung jawabkan. Alvaro sungguh tidak bisa berkata-kata dan tak tau lagi harus bagaimana dalam menghadapi Sanya? Andai, dering telepon masuk tak mengusik ponsel yang ia kantongi di celana bahan panjang berwarna hitam yang dikenakan, mungkin ia sudah semakin muak kepada Sanya yang masih saja bertahan di hadapannya.
Alvaro langsung merogoh ponselnya dan mengeluarkannya dari saku. Ia dapati, foto Arina yang tersenyum sangat cantik dalam dekapannya, memenuhi layar ponselnya dengan nama kontak ‘Sayangku’ yang tertera di sana. Dan bisa Alvaro pastikan, Sanya juga melihat layar ponselnya. Di mana ketika tatapan mereka bertemu, wanita itu tampak sangat terluka. Namun, tetap saja, Alvaro tidak peduli dengan tanggapan sekaligus perasaan Sanya, terlepas dari Alvaro yang sangat berharap Sanya segera menyerah dan menghilang dari kehidupannya maupun kehidupan Malini.
“Iya, Sayang?” Alvaro berangsur meninggalkan Sanya. “Kok kamu panik gitu? Kamu nangis? Hah? Kritis? I-iya ... iya, aku ke kamu sekarang juga. Iya, iya ... kamu tenang, ya? Jangan panik gitu. Tenang, semuanya pasti baik-baik saja!”
Tanpa pamit pada Sanya maupun Malini, Alvaro berlalu begitu saja. “Bentar, ya, aku pakai mobil. Sudah malam. Takut kamu masuk angin. Takut tiba-tiba hujan juga,” ucap Alvaro masih buru-buru.
Sanya dapati, Alvaro yang keluar dari kamar dan masih melakukannya dengan buru-buru seperti ketika pria itu memasuki kamar, mengganggam sebuah kunci mobil di tangan kirinya. Dan seperti sebelum bahkan biasanya, Alvaro langsung pergi begitu saja tanpa pamit kepada Sanya maupun Malini.
Alvaro, ... pria itu sungguh mengabaikan dan memang tidak menganggap Sanya, padahal jelas-jelas, mereka sudah dijodohkan dan keluarga mereka sudah mendesak adanya pernikahan. Enam tahun. Enam tahun Sanya menunggu, dan selama enam tahun itu juga, Sanya sudah banyak menelan kecewa.
Bersambung ....