"Kenapa?" tanya Leo ketika menghampiri Ara di mana perempuan itu turun dari mobil sendirian, masih di area parkiran.
Leo tak langsung menjalankan mobilnya barusan. Dia menunggu mobilnya Ara keluar lebih dulu. Namun, mobil yang terparkir tak jauh dari mobilnya itu tidak kunjung beranjak pergi.
"Mobilnya enggak bisa di starter," jawab Ara sebal.
"Panggil montir aja kayaknya, Beb!” seru Beni dari dari kaca mobil yang yang terbuka. "Ini mobil jarang dipakai, udah gitu lama banget belum service lagi."
Ara memang beberapa bulan belakangan ini jarang menggunakan mobilnya, apa lagi sebulan belakangan ini. Ke mana-mana, dia sering bersama Beni menggunakan mobil lelaki kemayu itu. Ara sedang malas mengendarai mobil sendiri.
"Saya punya nomor orang bengkel langganan saya, sih. Yang bisa dipanggil kalau kendaraan saya sedang ada masalah," ujar Leo menyela. "Tapi boleh saya cek dulu mobilnya sebelum panggil montir?"
"Boleh deh!" Beni menjawab, lalu membuka pintu mobil dan turun. "Coba Pak Leo starter dulu."
Leo mencoba starter, namun tidak bisa juga. "Tadi pas ke sini, aman?" tanya Leo.
"Nggak juga, sih," jawab Beni.
Memang agak cukup lama tadi, baru bisa dinyalakan.
Beni melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 22:00.
"Montirnya masih bisa dihubungi jam segini, Pak?" tanya Beni pada Leo yang baru saja membuka pintu mobil dan turun.
"Saya coba dulu. Pernah sekali saya hubungin dia jam 9 malam dan dia mau-mau aja. Wait... semoga aja dia bersedia."
Leo mengeluarkan ponselnya dari kantong celananya. Dia menghubungi sang montir dan kira-kira orangnya baru bisa sampai dalam waktu 1 jam kemudian.
"Lo pulang duluan aja deh, Beb," ujar Beni pada Ara. Beni khawatir pada Ara yang belakangan ini kurang istirahat. Ara bercerita jika dirinya mengantuk, akan tetapi sulit untuk tidur. "Mobil lo, biar gue yang urus. Besok gue anterin. Dari pada nungguin lama nantinya. Belum lagu nunggu mobil lo dibenerin."
Ara menghela napas. "Ya udah, gue naik taksi."
"Apa mau bareng saya aja?" Leo menawarkan diri.
Ara menoleh seketika.
Leo mengusap tengkuknya tampak salah tingkah—hanya karena Ara meliriknya sekilas. "Kamu pulang ke daerah mana emang?"
"Darmawangsa," jawab Ara singkat.
"Wah, kebetulan sekali. Saya mau ketemu teman di daerah Kebayoran sana."
"Nah, mending lo bareng Pak Leo aja, Ra. Dari pada lo sama taksi sendirian udah malam gini. Kita ngobrol di sini aja, nggak kerasa udah mau jam setengah sebelas malam."
"Ta-pi... "
"Udah, bareng Pak Leo aja," tukas Beni. "Kita emang baru kenal sama dia, tapi setelah gue perhatiin dari tadi, kayaknya dia orang baik. Gue yakin, dia nggak bakalan macam-macam. CEO e-commerce yang cukup ternama soalnya, ya kali dia mau cari gara-gara," ujar Leo berbisik pelan di dekat telinga Ara.
"Gimana?" tanya Leo memastikan.
"Boleh, Pak. Saya nitip Arabella, ya?" Beni yang bersuara, sementara Ara hanya diam saja.
Akhirnya Ara mengikuti saran manajernya itu, dari pada pulang dengan kendaraan online sendirian malam-malam begini. Ara memang tidak pernah pulang lewat dari jam 10 malam sendirian.
Dari awal memasuki mobil hingga sekarang dalam perjalanan menuju apartemennya Ara, Leo terus saja mencari bahan pembicaraan dengan Ara. Namun, Ara hanya menjawab singkat atau merespon dengan sebuah deheman.
Leo jadi semakin yakin jika Ara masih sama seperti dahulu, tidak mudah jatuh cinta. Tidak seperti yang sering digosipkan jika perempuan itu mudah dekat dan jatuh cinta dengan beberapa artis atau pebisnis. Dulu waktu sekolah, selain akan parasnya yang cantik, Ara dikenal sebagai tipe perempuan yang setia—tidak mudah tergoda rayuan para lelaki yang berusaha mendekatinya.
“Saya turun di depan sana aja,” ujar Ara menunjuk pinggir jalan di depan kawasan apartemennya.
“Udah malam, saya antar sampai lobi apartemen aja,” sahut Leo tak ingin menurunkan Ara di pinggir jalan yang sudah mulai sepi.
Leo juga punya kenalan yang tinggal di apartemen yang termasuk dalam salah satu apartemen terbaik di daerah Jakarta Selatan ini. Dari pinggir jalan raya menuju lobi apartemen itu lumayan juga jika jalan kaki, walau bangunannya terlihat di dekat jalan raya persis.
“Nggak apa-apa, saya bisa jalan kaki. Dekat, kok.”
Leo menggeleng dan tak lama mobilnya berbelok memasuki kawasan apartemen.
“Saya bertanggung jawab atas kamu malam ini. Kan manajer kamu udah nitipin kamu bareng saya. Jadi, saya ingin memastikan sampai kamu memasuki lobi dengan aman.”
Ara tak membantah lagi hingga mobil yang dikendarai Leo berhenti di depan lobi apartemennya.
“Terima kasih atas tumpangannya malam ini,” ujar Ara sembari melepas sabuk pengamannya.
Leo mengangguk.
“Hati-hati dan selamat beristirahat.”
Ara melirik sekilas, kemudian tersenyum tipis—nyaris tidak terlihat.
“Arabella… “
Leo memanggil nama perempuan itu ketika Ara hendak membuka pintu mobil.
“Percayalah, semua akan baik-baik aja setelah ini. Tuhan tidak selalu menjanjikan langit biru, tapi Dia akan selalu menghadirkan pelangi setelah badai berlalu.”
Ara mengernyit, kemudian mengangguk walau heran dengan ucapan yang dilontarkan lelaki yang belum lama dikenalnya itu.
“Semangat, Arabella.”
Lagi, Ara tersenyum tipis. Tak merespon dengan dengan satu kata pun.
Leo menatap punggung perempuan itu yang perlahan mulai menjauh masuk ke dalam lobi, hingga tak terlihat lagi olehnya, baru lah Leo melajukan mobilnya kembali. Leo tak tahu apa yang tengah dipikirkan Ara, namun Leo paham jika perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. Tadi perempuan itu ada beberapa kali seolah tak mendengar apa yang dirinya bicarakan. Lalu ketika menoleh sekilas, Leo mendapati perempuan itu yang sedang menyeka air matanya. Ara menangis dalam diam. Leo tak tahu seberat apa masalah yang menimpa Ara, atau bisa jadi karena perihal skandal yang sudah sebulan lebih berlalu. Rasanya Leo ingin sekali mengusapnya—memberikan ketenangan kepadanya, akan tetapi itu mustahil. Karena bagi Ara, dirinya tak lebih dari seseorang yang baru dikenal.
***
Setelah sebulan lamanya tidak bertemu, Ara berdecih ketika tiba-tiba saja Arash menghubunginya dan mengajak Ara bertemu pada keesokan harinya. Ke mana saja lelaki itu selama ini? Namun, Ara tetap mengiyakan ajakan tersebut. Ara ingin memperjelas semuanya. Ara tidak ingin kehidupan rumah tangganya dalam ketidakjelasan seperti ini.
Setelah cukup lama berpikir, Ara sudah mantap dengan keputusannya. Dia memilih untuk berpisah dari Arash. Selain karena tidak mau dimadu, tentunya perselingkuhan Arash tidak dapat dilupakan olehnya. Mungkin saja suatu saat dia akan bisa memaafkan, namun hal yang pernah dilaluinya tidak akan terlupakan begitu saja. Ara masih terbayang-bayang isi chat Arash yang menjijikkan. Bercanda dengan kata-katanya begitu vulgar, sangat tidak bisa ditoleransi. Ditambah lagi tekanan dari mertuanya. Ara benar-benar tidak sanggup lagi untuk bertahan.
Ara sudah menghubungi mamanya dan bercerita tentang dirinya yang sudah tidak sanggup lagi hidup bersama lelaki itu.
“Tuhan memang membenci perceraian, tapi jika hal itu bisa membuat kamu merasa lebih baik, lepaskan dari pada menderita. Kamu berhak mendapatkan pasangan—kehidupan rumah tangga yang bahagia. Jangan seperti mama.”
Ucapan sang mama beberapa hari lalu masih terngiang-ngiang oleh Ara.
Keesokan harinya, mereka berdua bertemu di apartemennya Beni. Ara yang tak ingin bertemu berdua saja dengan lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Tadinya, Arash meminta bertemu di rumah mereka atau di apartemennya, namun Ara menolak.
Ara pikir, Arash akan meminta maaf lalu mengakui kesalahannya. Ternyata, lelaki itu tidak melakukannya. Tekad Ara untuk berpisah darinya semakin bulat. Esok hari, dia akan mengurus berkas perceraian mereka. Ara sudah tak peduli lagi jika papanya tahu dan marah padanya nanti. Ara harap, dia bisa segera membawa mamanya keluar dari rumah sebelum papanya mengamuk padanya.
“Aku pikir selama sebulan lebih didiemin, kamu bakalan berubah. Nyatanya kamu masih sama aja. Selalu bikin masalah, ngungkit hal yang sama lagi dan lagi kayak sengaja banget cari kesalahan aku. Maunya kamu apa, sih? Udah aku bilang kalau dia itu dari dulu suka bercanda, sama siapa aja.”
“Aku mau cerai,” ucap Ara dengan ekspresi wajah datar.
“Yakin kamu?” tanya Arash dengan nada mengejek sembari bersidekap. “Kamu tahu kan, kalau papa kamu bakalan marah banget kalau kita sampe pisah?”
“Aku nggak peduli.”
“Oh, I see. Maksudnya biar kamu bisa bersenang-senang, lebih bebas di luar sana? Bisa mabok-mabokan pulang pagi, bermesraan dengan random cowok. Begitu mau kamu, hah?!”
“Terserah kamu mau bilang apa.” Ara sudah malas berdebat dengan Arash yang egois. Salah tapi tidak pernah mau mengakui kesalahannya. Malah memutar balikkan fakta, seolah Ara yang paling bersalah di sini.
“Emang kamu itu batu, ya? Susah dikasih tahunya. Nggak nurut, nggak percaya sama suami sendiri.”
Ara hanya diam tak menyahuti.
“Aku nyesal udah ngajakin kamu ketemu,” lanjut Arash lagi. “Bukannya menyadari kesalahan, malah semakin menjadi-jadi.”
“Besok aku akan urus berkasnya.”
“Kamu akan menyesal setelah melakukannya.”
Ara tertawa sumbang. “Nggak akan.”
“Benar-benar keras kepala,” dengus Arash. Lalu, lelaki bangkit berdiri. “Terserah kamu aja lah. Aku nggak bakalan maksa kalau memang itu maunya kamu, hidup bebas di luar sana tanpa aturan.”
Tangis Ara tumpah setelah kepergian lelaki itu. Beni langsung keluar dari kamarnya menghampiri perempuan itu. Dari tadi dirinya menahan emosi, namun dia menghargai Ara yang pastinya tidak ingin dirinya ikut campur secara langsung mengenai urusan rumah tangganya.
“Lo dengar apa aja yang dia bilang kan, Ben? Dia selalu aja nyalahin gue, sama sekali nggak menyadari kesalahannya.” Ara menyeka air matanya perlahan. “Dari kata-katanya barusan, udah kelihatan banget kalau dia nggak mau perjuangin gue. Mungkin selama ini, hanya gue yang berjuang sendirian. Gue capek, Ben… capek. Kenapa nasib gue begini amat?”