“Kenapa dia, Lau?”
***
“Datang, ya! Awas nggak!” ancam Laura seraya mengedip. Kalau bukan karena menghormati kodratnya sebagai makhluk manis bernama perempuan, sudah kukulum bibir tipisnya yang semerah ceri itu. Salahnya sendiri kenapa bertingkah menggemaskan.
Sejenak duniaku dipenuhi kembang api tahun baru, sampai-sampai tidak ‘ngeh’ sama sekali, padahal jelas jelas bagian depan invitation itu tertera nama asing. Belum selesai hingga di sana, kebodohan itu tergenapi dengan lengkung senyum yang tak henti henti memekar. Persis remaja puber yang berbunga bunga mau ditembak gebetan.
***
“Sayang?”
Seseorang dengan jas ‘cardinal’ sukses membuatku berdecak, maaf, lebih tepatnya mendesis. Seketika merasai blazer semi kulot yang sedang kukenakan, lantas menertawakan diri sendiri yang sungguh payah memahami betapa kejamnya seleksi alam.
Bagai terseret dalam syuting video clip adegan patah hati, tangan Laura ditarik lembut oleh lelaki tadi. Sementara tangan satunya lagi membentang, seolah memanggil si protagonis patah hati untuk membawanya pergi. Yang makin menyentakkan, lelaki itu, sudut bibirnya terangkat. Entah kenapa bagiku terasa seperti jari tengah yang diacungkan. Dasar hina!
***
“Ini gimana, Yo?” tanya Laura dua minggu sebelum kejutan besar itu menimpa.
Baru mau menjawab, bibir sialan ini sudah duluan mengembang. Padahal alarm bahaya dari kelenjar tiroid nyinyir berbunyi, sayang tak sempat kuindahkan.
“Ah, malah kayak orang gila senyam senyum cengengesan. Bagusan mana ni, Yo?" Laura akhirnya bergelayut manja. Kepalanya menggelendot di leherku. Memaksa si jakun berolahraga lebih dari biasanya.
“Sana! Nggak keramas kamu ya? Bau banget. Hueeeee." Lagakku sok imut. Sengaja biar …
Buk! Buk!
Rasanya seperti pijatan lembut di lengan. Bukan Laura namanya kalau tak tersentil gegara rambut. Baginya, bagian itu bahkan lebih diagungkan daripada yang ada di daerah peralihan sana.
Laura Adriana dan Dhyo Mahendra. Wuuuusssssh.
Kakiku bergerak cepat. Menekan pedal tong berwarna coklat di dekat meja wedding cake. Melempar sesuatu ke dalamnya.
Cium cium cium!!
Aku sudah memamerkan punggung, berniat berhenti menjadi orang bodoh. Namun, lagi-lagi …
Serasa katup antara serambi dan bilik di rongga d**a mencelos. Cairan merah segar bercampur. Bola mata mengabur. Nanar. Menolak namun tak mampu beralih. Tak mampu berkedip.
Dari altar sana, gadis dengan gaun putih itu sempat-sempatnya melambai, lalu menyilangkan ibu jari dan telunjuk.
Done. Sesebening berhasil menerjuni pipi setelah bertahan beberapa menit di dalam pusaran.
Sigap, aku berbalik, sebelum terjadi sesuatu yang lebih heboh daripada ciuman kedua pengantin.
Tak kuhiraukan lagi wajah Laura yang seolah mau memecah kerumunan, menggapai-gapai dari kejauhan.
***